- Petrik Matanasi
- 24 Apr
- 3 menit membaca
PERANG antara balatentara Jepang melawan KNIL akhirnya pecah pada awal 1942. Balatentara Jepang tampil sebagai pemenangnya. Para serdadu KNIL yang pribumi pun menanggung akibatnya. Kopral Kemis salah satunya. Setelah KNIL kalah dan bubar, Kemis kembali ke kampungnya. Dia menjalani hidup yang sulit di zaman pendudukan Jepang.
Namun setelah Jepang kalah perang pada 1945 pun, hidup Kemis masih tetap “Senin-Kamis”. Indonesia merdeka yang menyusul kekalahan Jepang menguatkan kebencian terhadap Belanda. Kemis mengalami kesulitan lagi karena dirinya pernah bergabung dengan KNIL yang menjadi alat penindasan penguasa Hindia Belanda terhadap pribumi.
“Orang-orang di kampung saya tidak lagi menerima hal itu. Di sana keadaannya makin sulit, sampai akhirnya saya tidak dapat tinggal di sana lagi,” aku Kemis bin Panus dalam koran Het Parool, 28 April 1990.
Kemis pun merencanakan pergi dari kampungnya guna mencari aman. Semula dia menganggap Jakarta tempat yang aman dibandingkan kampungnya yang bakal membuatnya mati konyol. Maka, dia ke Jakarta.
Selama di Jakarta, Kemis masuk menjadi anggota Pemuda Pelopor, yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Pilihan itu mungkin dianggapnya yang paling aman sebab penduduk di berbagai tempat antusias mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Terlebih, pada 1945 itu tentara Belanda belum kuat, yang memegang kendali masih tentara Inggris-India selaku wakil Sekutu.
Namun, hidup Kemis seakan masih tetap “Senin-Kamis”. Entah bagaimana ceritanya,
Kemis tertangkap otoritas tentara Belanda setelah September 1945. Dia lalu ditahan sekitar enam bulan. Setelah bebas pun, Kemis masih sering ditanyai meski tak sampai wajib lapor.
“Bagaimana Anda ingin melanjutkan perjuangan? Apakah Anda ingin bergabung kembali dengan pihak Indonesia? Atau Anda ingin kembali ke Belanda? Karena jika Anda ingin tahu, di sini kami punya semua informasi tentang Anda, semua informasi dari saat Anda berada di KNIL selama perang dengan Jepang... dan apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya otoritas Belanda.
“Biar saya pikirkan dulu,” jawab Kemis.
“Tunggu sebentar! Dengarkan! Jika kamu kembali dan menjadi pelopor lagi, kamu akan ditembak!” kata orang-orang Belanda yang membuat Kemis kaget.
“Ya, tunggu sebentar,” kata Kemis yang harus berpikir cepat.
Meski tak ingin jadi pengkhianat dengan ikut tentara Belanda, Kemis merasa kematian tidak akan ada gunanya jika ia tetap berdiri di barisan Kiblik karena dia belum berbuat apa-apa. Dasar pemikiran itulah yang membuatnya terpaksa memutuskan untuk rela direkrut lagi di tangsi batalyon KNIL di Jagamonyet, Jakarta pada Maret 1946.
Sekira tujuh bulan kemudian, serdadu Kemis diugaskan ke Bogor. Daerah yang tidak jauh dari kampung halamannya itu cukup dia kuasai. Pada 3 Oktober, Kemis berada di dalam rombongan truk pengangkut senjata yang –dipimpin dibawah pimpinan Letnan Valk– sedang berada di Ciampea, pinggiran barat kota Bogor, ketia muncul tembakan dari pihak tentara Republik Indonesia. Rombongan pun terhenti.
Serdadu-serdadu Belanda yang berada dalam truk-truk pun langsung ke luar truk untuk mengambil posisi berlindung di mana di antaranya tanpa membawa senjata yang masih berada di truk. Mereka sebenarnya tak punya tempat berlindung yang aman dari serangan musuh.
“Aku ada di truk pertama. Karena aku waktu itu pembawa amunisi,” aku Kemis.
Kemis jadi satu-satunya serdadu yang tidak ikut berlindung. Dia masih berada di atas truk. Di sanalah Kemis lalu mendengar suara Letnan Valk yang mengeluarkan sebuah perintah: tembak! Kemis pun menembak dengan senapan mesin Colt 41, hingga peluru yang tersedia di dekat senapan mesin itu habis.
Setelah tak bisa menembak lagi karena kehabisan peluru, Kemis segera berpikir cepat. Dia tak ingin mati ditusuk bayonet lantaran baginya mati tertembak timah panas masih lebih baik. Kemis tak mau menunggu musuh sehingga nekat segera melompat dari bak truk.
“Maju terus!” teriak Kemis meskipun tak ada orang di dalam truk kecuali dirinya.
Kemis tampak seperti orang gila sungguhan. Dia terus berteriak. “Kolom satu di sebelah kanan, kolom dua di sebelah kiri! Serang!” katanya.
Para gerilyawan Indonesia pun melarikan diri. Mereka mengira tentara Belanda akan keluar dari truk-truk itu. Serangan gerilyawan Indonesia pun mereda dan kemudian sirna.
Gertakan-tipuan Kemis itu amat mujarab. Selain senjata-senjata di dalam truk menjadi aman, para serdadu Belanda yang lain menjadi jauh dari resiko kematian.
“Pada tahun 1946 dia menonjolkan dirinya selama serangan oleh gerilyawan Indonesia terhadap konvoi amunisi Belanda. Pertama, Kemis bin Panus menerobos pengepungan sendirian; dia kemudian berhasil membebaskan kolom tersebut,” catat B Lulofs di De Telegraaf, 20 Maret 1982.
Atas kecerdikan dan keberaniannya dalam pertempuran 3 Oktober 1946 di Ciampea itu, Kemis mendapat apresiasi positif. Selain mendapat kenaikan pangkat luar biasa menjadi kopral, dia mendapat bintang Ridders Militaire Willemsorde Kelas 4.
“[Dia] membedakan dirinya dalam pertempuran dengan tindakan keberanian, kebijakan dan kesetiaan yang luar biasa,” kata arsip Ridders Militaire Willemsorde Kelas 4 (RMWO 4e) nomor 5588.*
תגובות