- Petrik Matanasi
- 9 Jan 2023
- 2 menit membaca
Suatu hari pada Juli 1963, menjelang Magrib sekitar pukul 6 sore. Rumah panggung Siti Kadijah didatangi oleh anaknya yang telah lama berkelana di pedalaman hutan. Haderi bin Umar sudah seperti anak hilang selama lebih dari sepuluh tahun di pedalaman Kalimantan Selatan.
Haderi tinggal di rumah itusekitar dua pekan. Kedatangannya yang belum tentu setahun sekali dan entah kapan terjadi lagi, membuat keluarga besarnya berkumpul. Meski sebentar, pertemuan inilebih baik bagi mereka.
Tak sekadar silaturahmi, si anak hilang itu datang untuk berpamitan kepada Siti Kadijah. Seolah anak ini akan pergi lebih lama lagi dari yang sudah-sudah. Salah seorang cucu Kadijah pun ikut bertanya apa yang akan dilakukan pamannya.
“Pakacil, apa rencana Anda sekarang?” tanya si cucu Kadijah yang bernama Suliman Juhri. Pakacil dalam bahasa setempat berarti paman. Haderi bicara dengan tenang kepada Suliman dan anggota keluarga lainnya.
“Suliman, sepertinya sudah sampai waktunya bagiku kini, itu saja,” kata Haderi. Esok paginya,Haderi pergi ke desa Bamban, Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Baca juga: Ibnu Hadjar, Pejuang yang Kecewa
Katanya Haderi akan jadi penceramah di desa Bamban. Namun, siangnya polisi paramiliter Brigade Mobil (Brimob) menangkap Haderi. Haderi kemudian dibawa ke Jakarta. Begitu yang terekam dalam memori Suliman Juhri seperti dicatat Muhammad Iqbal dalam tesisnya,“Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT): Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, 1950–1963” tahun 2014. Haderi pun tak pernah kembali lagi.
Haderi alias Ibnu Hadjar, diingat Suliman, dengan baretnya, tali merahnya, serta dua pistol dipinggangnya. Di masa revolusi, Ibnu Hadjar yang bermental jagoan dan disegani adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia di Kalimantan. Namun, ia kemudian memimpin DI/TII melawan pemerintah pusat. Ia masuk hutan karena bersimpati kepada kawan-kawannya yang ditolak masuk TNI.
Perlawanan Ibnu Hadjar agak melemah jelang tahun 1960. Kala itu seluruh Kalimantan tak lagi dipegang Tentara dan Teritorium VI. Sudah ada empat Komando Daerah Militer (Kodam) di Kalimantan, yaitu Tanjungpura Kalimantan Barat, Mulawarman Balikpakan Kalimantan Timur, Tambun Bungai Kalimantan Tengah, dan Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan.
Baca juga: Detik-detik Terakhir S.M. Kartosoewirjo
Setelah menyerah, Ibnu Hadjar diadili di Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati pada 11 Maret 1965. Jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan dalam pasukan Hassan Basry tak dihargai dan tak menentukan nasibnya lagi. Sementara anak buahnya juga tidak mendapatkan apa yang mereka impikan. Bahkan, mereka dilarang kembali ke kampungnya karena dianggap berbahaya.
“Jadi, pengikut Ibnu Hadjar, setelah Ibnu Hadjar ditangkap, disuruh pindah. Dibawa ke daerah yang kami kenal di Banjarmasin sebagai Kelayan atau daerah Lintas,” kata Iqbal.
Desa Kelayan dianggap sebagai desa yang dekat dengan narkoba, kriminalitas, dan para preman sampai hari ini. Desa miskin dan terisolir dari kota Banjarmasin ini melahirkan kemiskinan di kalangan bekas pengikut Ibnu Hadjar. Meski reputasinya buruk, desa ini kerap dilirik menjelang Pemilu atau Pilkada mengingat banyaknya jumlah pemilih di sana.*
Comments