top of page
Politik

Bertempur dengan Isi Kepala dan Bergerak dengan Madilog

“Madilog” karya Tan Malaka tidak hanya menularkan cara berpikir dan paradigma dalam melihat realitas tapi juga bergerak menjemput perubahan.

Oleh :
24 Februari 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diskusi publik “Mengenal Sosok Tan Malaka dari Pisau Analisa Materialisme, Dialektika, dan Logika” di Unisma Bekasi (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Diskusi publik “Mengenal Sosok Tan Malaka dari Pisau Analisa Materialisme, Dialektika, dan Logika” di Unisma Bekasi. (Randy Wirayudha/Historia.ID).


IBRAHIM Simabua Datuk Sutan Malaka alias Tan Malaka mewariskan Madilog yang ia tulis pada 1943 dan dianggap magnum opus dari sekian karyanya. Gagasan akan materialisme, dialektika, dan logika yang jadi akronim karyanya itu masih dipelajari, dibaca, dan bahkan jadi inspirasi generasi muda sampai sekarang. 


Menurut co-founder Malaka Project, Cania Citta, Ir. Sukarno dan beberapa pendiri bangsa lainnya mewariskan gagasan dan nilai-nilai lain yang akhirnya turut membentuk wajah dari bangsa Indonesia. Sementara, Tan Malaka tak hanya memberikan gagasan-gagasan tapi juga cara berpikir untuk mengeluarkan ide-ide lain sekaligus jadi inspirasi untuk bergerak dalam setiap sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 


“Tan Malaka membawa mindset, paradigma, pola pikir berdasarkan bukti dalam melihat realitas, berdasarkan logika yang benar dan kemudian dialektika: memahami perubahan dari segala sesuatu yang ada yang membentuk kehidupan kita,” ujar Cania dalam diskusi publik bertajuk “Mengenal Sosok Tan Malaka dari Pisau Analisa Materialisme, Dialektika, dan Logika” dalam gelaran Haul Pejuang Legendaris Ibrahim Datuk Tan Malaka di ruang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam 45 (FISIP Unisma) Bekasi, Jumat (21/2/2025) malam. 


Madilog bereferensikan teorema-teorema Aristoteles, materialisme Ludwig Andreas von Feuerbach, cara berpikir ilmiah dan positivisme logis Karl Marx, dan metode berpikir dialektika Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Tan Malaka tak serta-serta mengimplementasikannya mentah-mentah namun dirumuskan lagi sebagai sebuah pemikiran, dasar teori, dan cita-cita perjuangannya sebelum republik lahir. 


Menurut Harry Albert Poeze, sejarawan ahli Tan Malaka, dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1925-1945, Madilog ditulis di Kalibata, Batavia (kini Jakarta) kurun Juli 1942-Maret 1943. Ketika itu Tan menyamar sebagai tukang jahit dengan nama samaran Iljas Hussein untuk berkelit dari pengawasan Jepang. 


“Yang luar biasa dia menulis (Madilog) ini di tahun 1943 juga sudah bicara tentang perubahan iklim dan teknologi. Dalam pengertian materialisme, dialektika, logika, menurut dia pertentangan dalam pikiran adalah bayangan dalam otak kita atau terjemahan dalam pemikiran kita tentang pertentangan alam dengan benda,” timpal aktivis 1998 Niko Adrian dalam diskusi terbuka tersebut. 


Sedangkan peneliti Asia Pacific Research Network Olisias Gultom melihat Tan Malaka dalam Madilog-nya ibarat membangun jembatan. Jembatan tersebut mempermudah pemahaman dan rumusan relasi alam, sosial, manusia, dan struktur kekuasaan. 


“Dia menjelaskan logika tapi di sisi lain juga menjelaskan dialektika. Kita kadang terbalik-balik karena logika kita mistika, berlogika pada sesuatu yang tidak punya dasar. Kita harus berhadapan dengan proses dialektika yang membuat kita jadi berantakan pemahamannya. Di dalam Madilog kita harus kembali ke basis berpikirnya, membedakan antara logika di mana dan dialektika di mana. Itu yang kadang-kadang kalau kita bisa selesaikan akan mudah kita memahaminya,” tutur Olisias. 


Memang, sambung Cania, Tan Malaka dalam Madilog cenderung membahas logika mistika ketika bicara soal logika. Tetapi pada dasarnya penguraian tentang logika mistika yang “menjajah” isi kepala masyarakat di masanya masih begitu relate karena itu jadi antitesis dari berpikir secara ilmiah dan berbasis bukti sehingga mengganggu proses berpikir hingga berujung irasionalitas. 


“Karena perang bukan hanya di medan pertempuran tapi mengubah isi kepala kita juga pertempuran ketika isi kepala itu jadi penjara buat kita. Itu yang dilihat Tan Malaka. Tidak hanya soal kolonialis yang datang ke sini dan menjajah kita tapi juga ada di dalam diri kita sendiri yang jadi penjajah yang disebut Tan Malaka sebagai logika mistika,” tambahnya. 


Hari ini, lanjut Cania, sebenarnya situasi negeri dihadapkan pada penjajahan pikiran dalam bentuk yang lain dan mengganggu proses berpikir hingga menjadi irasional. Itu bi dilihat hari-hari ini ketika ada kebijakan atau pembangunan yang tidak bisa disetop oleh alasan apapun meski jelas-jelas merugikan karena adanya irasionalitas hanya karena ego belaka. 


“Ada kecenderungan irasional di maa ketika seseorang di posisi kepemimpinan itu punya legacy dia. Dia memandang, ‘ini legacy saya.’ Dia punya attachment terhadap legacy-nya. Akhirnya ketika kenyataan itu tidak bisa diwujudkan, dia enggak bisa terima. Pada titik tertentu itu sudah irasional. Jadi perhitungan-perhitungan rasional dan data yang ada enggak akan bisa membantah itu. Itu yang kita lihat di banyak problem dalam pembuatan kebijakan (pemerintah) kita walaupun merusak banyak hal,” jelas Cania lagi. 


Tan Malaka juga menginspirasi untuk tidak hanya menengok faktor eksternal seperti sistem dan struktur kekuasaan hingga kebijakan-kebijakan tapi juga internal locus of control atau lokus kendali diri. Satu di antaranya dengan mengoreksi paradigma dan cara berpikir itu tadi sehingga bisa melihat realitasnya secara berimbang. 


“Tan Malaka mengkritisi secara seimbang bahwa secara eksternal ada penjahahan, ada kebijakan yang harus dilawan, bahwa kita harus merdeka, bahwa sistem yang ada harus diubah, dan seterusnya tapi ada unsur internal yang harus dikritik. Tentu saja kita bisa mengkritik sistem tapi kemudian kita juga harus berpikir apa yang kita bisa lakukan untuk memperbaiki keadaan. Tidak hanya bisa meminta kekuasaan datang secara cuma-cuma karena power harus direbut, Kalau kita mau punya power atas keadilan, kesejahteraan, kita harus punya usaha juga untuk memperjuangkan itu,” lanjutnya. 


Hal itu diamini Olisias. Aneka kebijakan yang dianggap irasional dalam pikiran itu sudah semestinya direspons tidak melulu dengan “pertempuran pikiran” tapi juga perbuatan karena melihat ketidakadilan dan kondisi negeri yang dianggap tidak berdasarkan konstitusi dan aturan hukum. Kendati tidak secara langsung, setidaknya itu yang terjadi belakangan ini, di mana massa mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil turun ke jalan untuk berunjuk rasa secara besar-besaran, baik saat momen seruan “Peringatan Darurat” medio Agustus 2024 maupun “Indonesia Gelap” kurun 17-21 Februari 2025. 


“Dalam melantun (membaca) materialisme, ide bisa menghasilkan ide yang lain. Tapi bayangkan yang terjadi adalah mimpi. Itu bahaya. Contoh, saya lapar, maka saya mencari makan. Itu sebuah bentuk gerakan riil dan menjadi antitesa rasa lapar itu. Lalu bagaimana kita melihat sosial-politik sekarang? Kita perhatikan gerak materialnya. Milestone yang perlu diingat adalah (Reformasi) 1998 dan buahnya itu hari ini sebagai proses dialektis. Suka enggak suka, liberalisasi sampai proses demokrasi membentuk hari ini sehingga ketika kita mau melakukan perubahan, perubahan itu juga harus yang riil. Bukan idenya yang kita lempar lantas berharap akan bergulir dan melahirkan perubahan. Itu yang menurut saya bagaimana menerjemahkan dan menggunakan Madilog sebagai metode berpikir, metode bergerak, metode melakukan sesuatu sehingga proses itu akan terus bergulir,” tukas Olisias.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page