- Randy Wirayudha
- 5 hari yang lalu
- 6 menit membaca
PULUHAN ribu orang yang berkerumun di Lapangan Santo Petrus, Vatikan pada Kamis (8/5/2025) petang waktu setempat bergemuruh saat mendengar bunyi lonceng dan melihat kepulan asap putih keluar dari cerobong Kapel Sistina. Tak berapa lama, Kardinal Protodiakon Dominique Mamberti muncul dari balkon Basilika Santo Petrus dan memproklamirkan, “Anuntio vobis gaudium magnum. Hebemus Papam!” (artinya, dengan senang hati saya umumkan pada Anda semua. Kita memiliki seorang Paus!).
Sekira 30 menit pasca-pengumuman oleh sang kardinal protodiakon, sosok yang paling ditunggu pun melangkah ke balkon basilika sembari tersenyum serta melambaikan tangan untuk menyapa ribuan orang yang menyambutnya gembira. Dialah Kardinal Robert Francis Prevost, yang terpilih sebagai Bapa Suci ke-267 dan memilih nama Leo XIV. Sepanjang sejarah, ia jadi Paus pertama yang lahir di Amerika Serikat meski selama beberapa dekade mengabdikan dirinya di Peru.
“Semoga damai menyertai Anda semua! Marilah tetap dengarkan kaum yang lemah namun selalu lantang seperti suara Paus Fransiskus yang telah memberkati Roma dan dunia pada pagi Paskah. Izinkan saya meneruskan berkat itu. Terima kasih Paus Fransiskus! Kepada Gereja Roma, sebuah sapa yang istimewa: Kita harus bersama-sama menjadi gereja misionaris, membangun jembatan, dialog, selalu terbuka menerima semua orang seperti di lapangan ini, terbuka untuk semua yang membutuhkan kepedulian kita, kehadiran kita, dialog, cinta kasih. Kepada Anda semua di Roma, Italia, di dunia, kami ingin menjadi gereja yang sinodal, berjalan dan selalu mencari kedamaian, kepedulian, keintiman, terutama kepada mereka yang menderita,” ujar Paus Leo XIV dilansir Vatican News, Kamis (8/5/2025).
Kardinal Prevost terpilih menjadi paus melalui konklaf yang bersejarah. Sebagaimana disitat France24, Rabu (7/5/2025), konklaf untuk mencari suksesor mendiang Paus Fransiskus yang dimulai sejak Rabu (7/5/2025) itu mengikutsertakan jumlah kardinal pemilik suara terbanyak sepanjang sejarah. Terdapat 133 kardinal yang berusia di bawah 80 tahun dari 69 negara yang mengikuti konklaf itu, masing-masing 52 kardinal dari Eropa, 17 kardinal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, 17 kardinal dari Afrika, 20 kardinal dari Amerika Utara, 4 kardinal dari Oseania, dan 23 kardinal dari Asia di mana salah satunya Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo asal Indonesia.
Sebelumnya, konklaf terbanyak diikuti masing-masing 115 kardinal pada Konklaf 2005 yang menghasilkan terpilihnya Kardinal Joseph Aloisius Ratzinger asal Jerman menjadi Paus Benediktus XVI, dan Konklaf 2013 yang memilih Kardinal Jorge Mario Bergoglio dari Argentina menjadi Paus Fransiskus. Konklaf 2025 ini juga diikuti 133 kardinal yang berasal dari 18 ordo keagamaan dan Kardinal Robert Francis Prevost yang lantas terpilih menjadi Paus Leo XIV adalah seorang Agustinian, sebutan rohaniwan yang berasal dari Ordo Santo Agustinus.
Lahir di Chicago, Amerika Serikat pada 14 September 1955 dari pasutri imigran Prancis-Italia, Louis Marius Prevost dan Mildred Martinez, Kardinal Prevost sudah bersentuhan dengan pendidikan rohani semasa sekolah menengah di seminari kecil. Ia membulatkan tekad menjadi rohaniwan seiring menjadi anggota Ordo Santo Agustinus pada September 1977. Sepanjang hidupannya sebagai misionaris Agustinian, Prevost mengabdi di Peru sejak 1985 sebelum kembali ke Amerika pada 1998. Pada 2014, Paus Fransiskus menugaskannya kembali ke Peru untuk menjadi Uskup Agung Chiclayo.
Prevost adalah satu dari 163 kardinal yang dinobatkan semasa Paus Fransiskus. Ia jadi salah satu kandidat terkuat di Konklaf 2025 mengingat pada 2023, Paus Fransiskus memberinya jabatan yang cukup disegani, Presiden Komisi Kepausan Amerika Latin dan Prefek Dikasteri Uskup. Maka bukan hal yang mengejutkan jika akhirnya Prevost-lah yang terpilih jadi suksesor Paus Fransiskus.
Inspirasi Paus Leo XIII
Walaupun Paus Fransiskus jadi mentornya dan seolah Kardinal Prevost “disiapkan” mendiang Paus Fransiskus sebagai penggantinya, bukan berarti sang anak didik akan serta-merta jadi sosok Bapa Suci yang progresif pula. Mengutip Time, Kamis (8/5/2025), Paus Leo XIV mengindikasikan akan jadi sosok yang centrist dan mengambil jalan sinodalitas antara kembali ke akar tradisi gereja namun tetap membuka diri terhadap perbedaan.
Hal itu tampak nyata dari pidato sambutannya saat menyapa publik untuk kali pertama dari balkon Basilika Santo Petrus selain dari penampilannya yang berbusana tradisional jubah merah berhias bulu cerpelai dan dibungkus selempang bersulam emas. Mendiang Paus Fransiskus menolak mengenakan busana serupa dan memilih busana simpel serba putih saat menyapa publik pasca-terpilih pada 13 Maret 2013 atas alasan komitmennya pada kesederhanaan.
Kardinal Prevost juga kemudian memilih nama “Leo” yang secara historis ingin menunjukkan kekuatan selama krisis yang juga mengindikasikan ia siap pada aneka tantangan yang akan dihadapi gereja selama gejolak global. Selain itu, dengan mengambil nama Leo XIV yang jadi “penerus” Leo XIII (1878-1903), ia juga diyakini siap untuk mengabdikan dirinya pada kalangan jelata dan kelas pekerja sebagaimana julukan Leo XIII sebagai “Paus Sosial” atau “Paus-nya Para Buruh”, terlepas Leo XIV berasal dari Amerika Serikat yang notabene negeri liberalis dan kapitalis.
Leo XIII lahir dengan nama Gioacchino Vincenzo Raffaele Luigi Pecci pada 2 Maret 1810 di Carpineto Romano, Italia sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara asal keluarga bangsawan pasangan Anna Francesca Prosperi-Buzzi dan Conte Domenico Ludivico Pecci. Menurut Richard Henry Clarke dalam The Life of His Holiness Pope Leo XIII: Together with Extracts from His Pastoral and Encyclicals, ayahnya juga masih punya keturunan keluarga Pecci asal Sienna yang kondang dengan sejarah rivalitas antara Republik Sienna dan Dinasti Medici di abad ke-16. Sang ayah pernah jadi perwira militer berpangkat kolonel di bawah Grande Armée-nya Prancis saat Napoleon Bonaparte bertakhta jadi penguasa Kerajaan Italia kurun 1805-1815.
“Keluarga (Pecci) itu terdiri dari lima anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak kelima (kakak Paus Leo XIII, red.) meninggal di usia 14 tahun semasa jadi pelajar di Roma. Walau selalu mencari kedamaian dalam hidup, sang ayah, entah karena keinginan sendiri atau mungkin karena mengikuti hukum wajib militernya Napoleon, menjalani profesi kemiliteran,” tulis Clarke.
Pecci remaja tak mengikuti jejak ayahnya. Ia memilih jalan agama dengan belajar di sekolah Yesuit di Viterbo. Di masa mudanya, ia juga belajar hukum agama dan teologi di Roma. Atas baktinya membantu Kardinal Giuseppe Antonio Sala untuk merawat para korban epidemi kolera, pada Februari 1837 Paus Gregorius XVI mengangkatnya menjadi prelat pribadinya meski Pecci yang baru berusia 27 tahun belum resmi menjadi pastor. Ia baru ditahbiskan jadi pastor sekaligus legatus kepausan di Benevento untuk melayani sekira 20 ribu umat di provinsi tersebut 10 bulan berselang oleh Kardinal Vicar Carlo Odescalchi.
“Ketika Pecci mengabdi di Spoleto lalu Perugia dengan melayani lebih dari 100 ribu penduduk, ia sering menerima kunjungan Paus Gregorius XVI ke sejumlah rumah sakit dan institusi pendidikan dan sang Bapa Suci acap bertanya dan meminta saran terhadap banyak hal tentang kondisi kesehatan masyarakat dan situasi perekonomian yang sarat korupsi. Pecci sering menyelidiki sendiri tindak-tanduk tidak sehat di pasar, seperti ada saja pedagang yang menjual roti dengan takaran di bawah standar. Tak jarang ia menyita roti-roti itu dan membagikannya ke orang-orang miskin,” ungkap Benno Kühne dalam Papst Leo XIII.
Dalam perjalanannya, Pecci tercatat juga pernah mengabdi di Belgia, Inggris. Ia kembali ke Perugia sebagai kardinal pada 1846. Pecci dikenal sebagai sosok yang begitu peduli pada para tunawisma dengan membuka beberapa panti sosial dan dapur umum, serta bank perkreditan untuk memudahkan kalangan miskin dan menengah mendapat pinjaman uang. Pecci juga figur yang murah hati dengan menyumbangkan hartanya bagi para korban bencana dan gejolak konflik akibat Risorgimento (Unifikasi Italia) pada 1848-1871.
Menyusul wafatnya Paus Pius IX, Pecci jadi kandidat dalam Konklaf 1878. Dalam tiga kali pemilihan yang diikuti 61 kardinal dan berlangsung pada 18-20 Februari 1878 itu, Kardinal Pecci terpilih setelah mendapat 44 suara.
“Pasca-pemilihan (konklaf), Pecci memilih nama Leo XIII sebagai penghormatan untuk Leo XII yang sempat menjadi paus ketika ia (Pecci) masih muda dan ketegasannya dia kagumi. Paus yang baru sosok cerdas yang gemar mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi sebelum ia bertindak,” tulis David I. Kertzer dalam The Popes Against the Jews: The Vatican’s Role in the Rise of Modern Anti-Semitism.
Sepanjang masa pengabdiannya sebagai Bapa Suci, Leo XIII mencoba menjembatani tradisi gereja dengan modernitas dunia. Di antaranya dengan membuka Arsip Rahasia Vatikan untuk kalangan peneliti dan akademisi. Di masanya pula Observatoroium Vatikan dibuka kembali pada 1891.
“Agar semua orang bisa melihat dengan jelas bahwa Gereja dan para gembalanya tidak menentang ilmu pengetahuan yang benar dan kokoh, baik yang bersifat manusiawi maupun Ilahi tetapi mereka merangkulnya, mendorongnya, dan mengembangkannya dengan pengabdian sebesar-besarnya,” ujar Paus Leo XIII, dikutip Sabino Maffeo dalam The Vatican Observatory: In the Service of Nine Popes.
Di panggung internasional, ia berupaya memelihara perdamaian dunia dan menjaga umat Katolik di Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat, hingga Filipina. Ia bak diplomat yang menjembatani dengan dialog-dialognya baik dengan Tsar Aleksandr II dan penerusnya Tsar Aleksandr III, Kanselir Otto von Bismarck dan Kaiser Wilhelm II, Kaisar Franz Joseph I, hingga Gubernur Jenderal William Howard Taft terkait isu-isu sosial, khususnya yang dialami umat Katolik di negeri-negeri itu.
Meski cenderung liberalis dan menghindari paham Marxisme naik daun sejak akhir abad ke-19, Paus Leo XIII tak pernah berpaling dari nasib buruh dan kelas pekerja. Dengan menerbitkan ensiklik Rerum Novarum pada Mei 1891, Paus Leo XIII mendorong para uskup dan para kepala negara untuk peduli pada hak-hak buruh agar mendapatkan upah yang setara sekaligus hak buruh untuk berserikat. Ini yang kemudian menjadi dasar doktrin sosial baru bagi Gereja Katolik.
Komitmennya pada pembaruan gereja bertahan hingga akhir hayatnya. Bahkan dalam wasiatnya sebelum meninggal, Leo XIII minta tidak dimakamkan di Basilika Santo Petrus sebagaimana para pendahulunya. Wasiatnya terpenuhi ketika ia wafat pada pada 20 Juli 1903 akibat pneumonia dan pendarahan paru-paru, ia jadi paus pertama yang dimakamkan di luar Vatikan, tepatnya di Basilika Santo Yohanes Lateran di Roma. Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025 menjadi paus kedua yang dimakamkan di luar Vatikan, yakni di Basilika Santa Maria Maggiore yang juga berada di kota Roma.*
Comments