top of page
Agama

Meninjau Kembali Temuan Naskah Pegon Tertua di Jawa

Temuan naskah pegon yang diklaim sebagai tertua di Jawa dipertanyakan. Ahli filologi menyebut naskah ini dari abad ke-20 bukan abad ke-14.

Oleh :
23 April 2021
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi peneliti sedang meneliti naskah kuno. (Alba_alioth/Shutterstock).


Naskah pegon temuan Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 2019 diklaim sebagai yang tertua karena peneliti membaca angka tahun 1347 sebagai tahun Masehi.


Masyhudi Muhtar, peneliti bidang arkeologi Islam di Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan, pada bagian akhir naskah terdapat kalimat puji-pujian dan memohon pertolongan kepada Allah. Puji-pujian itu ditulis dalam bahasa Arab. Di bawahnya terdapat angka Arab yang dibaca 1347 (bihamdillah wa‘aunihi sanah 1347 M), yang di bawahnya terdapat huruf mim.


Mim dalam bahasa Arab itu meladiyah, artinya kelahiran, yang dimaksud di sini adalah kelahiran Nabi Isa AS, maka angka tahun ini diambil dari angka tahun Masehi,” kata Masyhudi dalam diskusi daring berjudul “Beberapa Jejak Peradaban Asing di Jawa”, Kamis, 15 April 2021.


Klaim itu dibantah para ahli filologi. Salah satunya oleh Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah yang juga pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa). Menurutnya, pembacaan angka tahun Masehi itu tak berdasar. Tanda mim dalam kolofon atau bagian akhir manuskrip Islam bukanlah berarti Masehi. Tanda itu berarti akhir sebuah teks.


“Saya sangat yakin tak ada satupun literatur yang mengatakan mim artinya Masehi,” kata Oman yang dihubungi Historia.id melalui sambungan telepon.


Dalam manuskrip, huruf mim artinya tamma. Letaknya di bagian kolofon naskah artinya selesai atau akhir dari sebuah teks. Sementara di dalam ilmu hadis, huruf mim berarti Matan, artinya teks utama, bukan teks komentar (syarh). Dalam tradisi hadis, mim juga terkadang berarti majhul, artinya hadis itu sanadnya tak diketahui.


“Kadang tertulis ta dan mim, dibaca tamma, yang menunjukkan akhir sebuah teks atau kolofon. Dalam tradisi manuskrip menandakan akhir manuskrip. Sama sekali bukan menunjukkan Masehi,” jelas Oman.


Oman menjelaskan, ada dua kemungkinan pembacaan angka tahun pada manuskrip beraksara pegon temuan Balai Arkeologi Yogyakarta itu. Pertama, berdasarkan tahun Jawa. Kedua, berdasarkan tarikh Hijriah, yakni angka tahun 1347 yang apabila dikonversi ke Masehi merujuk pada 1928.


“Tahun Jawa itu dimulai dengan angka 1555 atau sama dengan 1633 [awal abad ke-17], jadi tidak mungkin juga angka 1347 itu angka Jawa. Jadi kemungkinan terbesarnya tahun Hijriah,” kata Oman.


Sejauh ini, kata Oman, manuskrip Islam selalu menggunakan angka tahun Hijriah. Tahun Masehi baru ada pada era kolonial. Itu pun kebanyakan dalam arsip kolonial. “Tapi kalau dalam manuskrip Islam di Jawa, Melayu, Sunda, Aceh, Bugis, atau lainnya selalu pakai tahun Hijriah,” lanjut Oman.


Pun soal penggunaan kertas. Oman menjelaskan, kertas daluwang yang menjadi bahan manuskrip beraksara pegon itu masih diproduksi dan dipakai hingga awal abad ke-20. Jadi, masih masuk akal kalau manuskrip itu berasal dari awal abad ke-20.


“Namun, penelitian lebih saksama perlu dilakukan untuk memastikannya, dengan melibatkan para filolog dan kodikolog di bidangnya,” ujar Oman.


Yang Tertua Abad ke-17


Sementara dari sisi tradisi aksaranya, manuskrip ini juga tak mungkin dibuat pada abad ke-14. Pasalnya kala itu tradisi penulisan di Nusantara masih menggunakan aksara Kawi.


“Dalam beberapa penelitian mutakhir huruf pegon, yaitu huruf Arab dengan bahasa Jawa, itu yang paling tua dari abad ke-17,” jelas Oman.


Hasil kajian dosen IAIN Surakarta, yaitu Ismail Yahya (dosen Fakultas Syariah), Farkhan (dosen Fakultas Syariah) dan Abdul Kholiq Hasan (dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah) menunjukkan bahwa manuskrip Masa’il at-Ta‘lim karya ‘Abdullah Ba Fadl Al-Hadrami (W. 918 H/1529 M) diterjemahkan ke dalam aksara pegon pada abad ke-17 M.


Naskah Masa’il at-Ta‘lim diketahui ditulis pada abad ke-17 M berdasarkan bukti angka dan huruf di dalam penanggalan di dalam naskah. Huruf pegon dalam naskah ini pun sekaligus merupakan bentuk tertua yang masih bisa ditemukan.


“Bentuk huruf Pegon pada abad ke-17 tidak terdapat perbedaan yang mencolok dengan penulisan pegon dewasa ini,” tulis laman resmi Fakultas Syariah IAIN Surakarta.


Sebagaimana disebutkan Oman, tradisi keberagamaan Islam di Nusantara memang telah menguat pada abad ke-13 dan ke-14. Namun, kala itu dakwah masih melalui metode lisan.


“Tradisi menulis belum kuat, barulah pada abad ke-15, misalnya ada Hikayat Raja Raja Pasai dan Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu,” jelas Oman. “Itu pun di Sumatra, di Aceh. Di Jawa malah agak belakangan.” 


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page