top of page
Urban

Menjejaki Kawasan Elite Hasil Perbudakan via De Horst hingga Huis Doorn

Huis Doorn, properti elite yang pernah ditinggali keluarga Audrey Hepburn dan Kaiser Wilhelm II, dibangun dari pemerasan kekayaan negeri jajahan. 

20 April 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Huis Doorn, salah satu properti elit dekat Driebergen dengan patung Kaiser Wilhelm II di halamannya. (huisdoorn.nl).

JAUH dari hikuk-pikuk kota besar, kawasan Driebergen-Rijsenburg di Kota Utrechtse Heuvelrug, Provinsi Utrecht, Belanda terbilang teduh dengan banyak taman bunga hingga hutan. Areal permukiman elitenya dibangun ala country estate khas Inggris. Kawasan tersebut banyak dilintasi pesepeda, salah satunya seniman Eric Taal alias Max Cremer. 


Sosok tambun berambut ikal kelabu dengan wajah dipenuhi jenggot dan kumis itu mengaku hobi bersepeda laiknya penduduk Utrechtse Heuvelrug. Bedanya, ia memasang gerobak di depan sepedanya dan tak jarang membawa biji kopi serta alat giling kecilnya untuk bisa menyeduh kopi saat beristirahat. Maklum, kawasan Driebergen-Rijsenburg juga kondang punya ratusan trek sepeda landai maupun menanjak. Mengutip laman AllTrails, jalur yang terpanjang adalah Fietsroute Sporen op de Heuvelrug yang membentang hingga 56,2 kilometer dengan elevasi mencapai 498 meter. 


Sembari bersepeda, Max yang mengagumi lanskap setiap rutenya seringkali mendokumentasikan sejumlah area estate elite di beberapa jalur yang punya keterkaitan historis kelam dengan perbudakan dan kolonialisme. Begitu “pengantar” Max untuk berbagi pengalamannya. Ia datang bersama sang ayah, Cees Taal, dan seorang warga Belanda lainnya yang keluarganya dahulu juga pernah punya properti di kawasan itu. 


“Bangunan properti itu semuanya berada di dekat stasiun (Driebergen-Zeist dibangun 1843, red.). Stasiun itu sangat penting dan bisa dibilang juga dibangun dari hasil tanam paksa (cultuurstelsel 1830-1870) yang menghasilkan uang untuk negara dan proyek-proyek infrastruktur dibangun dengan uang itu,” terang Max dalam bahasa Belanda –yang penerjemahannya dibantu oleh rekan jurnalis Arjan Onderdenwinjgaard– kala bertandang ke kantor redaksi Historia.ID di Jakarta pada Rabu, 16 April 2025. Max yang datang bersama ayahnya, Cees Taal, dan Pieter van Scherpenberg, pria yang keluarganya dulu juga pernah punya properti di kawasan itu. 


Menurutnya, era kolonial dengan masa perbudakan di dalamnya (abad ke-17 hingga ke-19) tidak diajarkan dalam buku-buku pelajaran di masa Max bersekolah. Era tersebut hanya disebutkan sebagai “masa keemasan Belanda”, sementara soal kepahitan perbudakan dan kolonialisme di negeri-negeri jajahan tidak disertakan. Padahal, keuntungan hasil perbudakan dan kolonialisme besar sumbangannya bagi pembangunan di berbagai kota Belanda, tidak hanya di Driebergen.


Kekayaan itu didapat dari masa perbudakan yang dilakukan WIC (Kongsi Dagang Hindia Barat) di wilayah-wilayah Amerika Tengah-Karibia dan Afrika maupun VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di wilayah-wilayah Asia, termasuk Hindia Belanda (kini Indonesia). Ketika sistem perbudakan dihapus Belanda pada 1863, kekayaan diperoleh dari kolonialisme. 


Rasa penasaran Max akan properti-properti elite itu perlahan terjawab berkat beberapa arsip dan dokumen milik beberapa keluarga orang kaya lama itu. Yang terpenting dari keluarga Insinger yang arsip-arsip keluarganya telah diserahkan ke lembaga arsip negara di Amsterdam. 


“Ada keluarga Insinger dan Insinger Stichting (Yayasan Insinger) dan mereka mulai membuka cerita tentang sejarahnya. Itu jarang terjadi karena banyak (keturunan) keluarga di sana tidak mau tahu atau tidak mau orang lain tahu sejarah keluarga mereka dan yayasan (Insinger) sangat terbuka,” tambahnya.


Dari penelusuran arsipnya, Max diungkapkan bahwa rumah-rumah mewah di area itu mulai berdiri di masa perbudakan dan makin berkembang pada abad ke-19. Cerita-cerita kelam di baliknya selama ini tersembunyi dari kebanyakan orang Belanda, termasuk Max. Rumah-rumah itu dibangun dari kekayaan yang didapat para pedagang dan pengusaha mulai dari yang bergerak di bidang perkebunan hingga yang berinvestasi dengan membeli saham di perusahaan-perusahaan dagang, perusahaan-perusahaan ekspor-impor, hingga perusahaan perkebunan yang beroperasi di negeri-negeri jajahan. 


“Keluarga Insinger, contohnya, yang kekayaan mereka dari bank dagang dengan cabang-cabang, termasuk di Jawa. Setelah perbudakan dilarang, para pemilik budak mendapat kompensasi dari pemerintah. Keluarga Insinger punya banyak budak dan makin kaya setelah perbudakan dilarang. Mereka dan keluarga lain membangun rumah-rumah (mewah) itu bukan untuk tempat tinggal tapi estate peristirahatan. Mereka juga buka taman-taman dan kebun-kebun kecil hanya untuk memamerkan beberapa contoh tanaman nanas, kopi, teh, kepada para tamu mereka,” jelas Max. 


Hal itu mendorong Max bersama Cees berperjalanan ke Indonesia. Sebab, dari banyak cerita yang didapatkannya, hanya perspektif orang-orang Indonesia yang belum ia dapatkan terkait cerita tersebut. Maka ia pun mengagendakan riset dan dokumentasi di beberapa daerah, termasuk di Lebak, Banten. 


Kebetulan, Max dan Cees bertemu dengan Pieter yang datang dari Deventer dan sebelumnya melancong ke Jawa Timur. Selain berziarah ke makam salah satu leluhurnya di Peneleh, Surabaya, Pieter juga ingin melihat sisa-sisa perkebunan leluhurnya di Sumber Nongko dan Bumiayu yang dekat kota Malang untuk riset penulisan novel yang sedang digarapnya.


Leluhur Pieter sempat punya estate De Horst di Driebergen. Rumah mewah kawasan elite itu dibangun pada abad ke-19 dari hasil keuntungan perkebunan-perkebunan itu. 


“Ada dua generasi dari keluarga saya yang datang ke Hindia. Yang pertama August van Scherpenberg pada 1840. Ia jadi mitra dari sebuah perusahaan dagang berbasis di Batavia (kini Jakarta) yang impor komoditas teh, kopi, gula, dll. dari banyak perkebunan di Bumiayu dan Sumber Nongko,” ujar Pieter. 


Generasi kedua adalah Frans Ferdinand van Scherpenberg, lulusan Universitas Leiden yang datang ke Jawa sekitar tahun 1876. Bedanya, Frans datang bukan meneruskan tradisi dagang keluarganya, melainkan menjadi pegawai kolonial sebagai jaksa di sebuah landraad di Jawa Timur. 


“Ia termasuk orang Belanda yang ‘dibuang’ ke Jawa karena punya utang besar akibat judi saat masa kuliah di Leiden. Oleh keluarganya ia disuruh ke Jawa dan jadi jaksa landraad. Dia mati muda ketika usianya 25 tahun dan dimakamkan di Peneleh. Tidak ada yang tahu penyebabnya dan rekam medisnya tapi menurut cerita dari keluarga besar saya, Frans Ferdinand sudah punya penyakit sifilis sejak dari Belanda,” tukasnya. 

Max Cremer (kiri) dan Pieter van Scherpenberg. (Randy Wirayudha/Historia.ID).
Max Cremer (kiri) dan Pieter van Scherpenberg. (Randy Wirayudha/Historia.ID).

Riwayat Huis Doorn

De Horst hanya satu dari sekian estate yang dibangun pada abad ke-19. Sekira lima kilometer ke arah barat darinya, terdapat sebuah rumah beken karena pernah jadi kediaman ibu kandung aktris Hollywood Audrey Hepburn dan kemudian jadi kediaman pengasingan Kaiser Jerman Wilhelm II, yakni Huis Doorn. 


“Bangunannya seperti kastil. Dulu ada keluarga (pemilik) yang dapat kekayaan dari saham kongsi dagang dari Jawa atau Afrika. Sekarang menjadi museum,” sambung Max. 


Jauh sebelum Huis Doorn berdiri, lokasinya pada abad ke-13 pernah dibangun sebuah rumah. Seiring perjalanan waktu, di abad ke-19 diperluas jadi sebuah estate


“Huis Doorn terletak di tengah-tengah sebuah pedesaan tua dan dekat area hutan sekitar 20 kilometer sebelah selatan (kota) Utrecht. Sebuah rumah bertembok seperti benteng dibangun di lokasi itu pada 1322 setelah bangunan (rumah kayu) sebelumnya rusak karena kebakaran,” tulis Jorge Guillermo dalam Dutch Houses and Castles.


Menurut katalog Masterplan Park Huis Doorn (2015) yang disusun sebuah pusat riset dan agensi perencanaan tata kota Stichting in Arcadië, bangunan yang rusak tersebut adalah sebuah rumah yang dibangun seorang pemimpin katedral, Adolf van Waldeck. Bangunan di situs itu beberapa kali mengalami kerusakan dan renovasi. Kepemilikannya pun beberapa kali pula berpindah, mulai dari pemimpin katedral Hendrik van Mierlaer pada 1347, Reynier van Golsteyn (1635), hingga Wendela Eleonora ten Hove (1792). Wendela kemudian merenovasi dan memperluas areanya menjadi estate sekitar tahun 1800.


Mevrouw Wendela pernah dianggap sebagai perempuan terkaya di Amsterdam setelah dipinang Willem Munter pada 1769. Willem keluarganya meraup kekayaan dari perbudakan dan kolonialisme di Suriname. Mertuanya, Andries Munter, merupakan direktur Geoctroyeerde Sociëteit van Suriname periode 1743-1770. Kongsi dagang saingan WIC itu tidak hanya pernah terlibat dalam hal keamanan dan pengelolaan perkebunan tapi juga perdagangan budak di Suriname. 


Selepas Willem Munter wafat pada 1776, Mevrouw Wendela menikah lagi dengan lelaki kaya lain, Jan Carel Godin, pada 1780. Keluarga besar Godin meraup kekayaannya dari investasi perdagangan bersama VOC dan WIC. Kebetulan, keluarga besar suaminya, Antoinette Charlotte Godin, juga memiliki estate lain di kawasan yang sama, De Leeuwenburg. 


Pada akhir abad ke-19, Huis Doorn jadi kediaman anggota dewan kota Doorn, Frans Labouchère. Kemudian pada 1902, Huis Doorn dibeli Baroness Wilhelmina Cornelia van Heemstra-De Beaufort. Ia adalah istri aristokrat Baron Aarnoud van Heemstra yang pernah menjabat sebagai gubernur jenderal Suriname (1921-1928). Huis Doorn dijadikan rumah peristirahatan musim panas. Salah satu cucu dari keluarga besar Baron van Heemstra yang sering menghabiskan masa kecilnya di estate mewah itu adalah Baroness Ella van Heemstra. 


Ella van Heemstra tak lain adalah ibu kandung dari aktris beken Hollywood Audrey Hepburn yang punya nama lahir Audrey Kathleen Ruston. Audrey adalah anak tunggal Ella van Heemstra dari pernikahan keduanya dengan Joseph Victor Anthony Hepburn-Ruston, seorang diplomat Inggris di kantor konsulat Semarang. Meski keduanya menikah di Batavia pada 1926, Audrey lahir di Brussels, Belgia pada 4 Mei 1929. 


Pada 16 Agustus 1919, properti seluas 60 hektare tersebut dibeli Kaiser Wilhelm II dari keluarga van Heemstra dengan harga sekitar 1,5 juta gulden. Wilhelm II menempatinya sebagian kediaman pengasingan pasca-turun takhta sebagai penguasa terakhir Kekaisaran Jerman dari Dinasti Hohenzollern. Itupun setelah diizinkan Ratu Belanda Wilhelmina dan dibeli melalui perantara sebuah agen properti Belanda. 


“Agen properti estate Belanda yang mengatur pembeliannya. Alasannya karena sang kaisar khawatir pemerintahan baru Jerman menyita aset-asetnya sehingga membuat pembelian itu tak bisa terlaksana. Setelah Doorn dibeli, Ratu Wilhelmina menjanjikan sang kaisar bahwa ia diperbolehkan tinggal di tempat itu,” ungkap William Schabas dalam The Trial of the Kaiser.


Inggris dan beberapa negara Sekutu sempat ingin menyeret Wilhelm II ke pengadilan di London. Ia dicap penjahat perang karena dianggap biang keladi Perang Dunia I (1914-1918). Meski begitu, Ratu Wilhelmina menolak tuntutan ekstradisi Wilhelm II dan tetap mengizinkannya tinggal di Doorn walau sang ratu tak pernah menemuinya hingga wafatnya Wilhelm II pada 4 Juni 1941.


Pasca-Perang Dunia II (1939-1945), pemerintah Belanda menjadikan Huis Doorn sebagai aset sitaan. Ia kemudian dijadikan museum. 


“Salah satu hasil dari Traktat Versailles (28 Juni 1919) adalah rencana untuk mengekstradisi dan menahan Wilhelm untuk kemudian dibawa ke pengadilan yang dipimpin lima hakim dari negara-negara Sekutu. Tetapi itu tak pernah terjadi karena selain tuntutan Sekutu lemah dalam dasar hukum, pemerintah Belanda menolak tuntutan Sekutu. Ratu Wilhelmina dari Belanda dan Raja Albert dari Belgia juga menolak Wilhelm dijadikan penjahat perang,” tandas Christopher M. Clark dalam Kaiser Wilhelm II: Profiles in Power.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit

Wabah penyakit yang merebak di Batavia menewaskan ribuan orang. Tak hanya penduduk biasa, dua gubernur jenderal juga turut menjadi korban.

bg-gray.jpg

Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza

RS Al-Quds dan RS Indonesia berhenti beroperasi. Menyisakan RS Al-Shifa yang bertahan di kota Gaza.

bg-gray.jpg

Sejarah Jalan Propaganda di Roma

Sebuah jalan dan bangunan di salah satu sudut kota Roma, Italia. Sarat makna dan nilai historis.

KEGIATAN

bottom of page