top of page
Urban

Persekusi Kampung Tugu di Awal Kemerdekaan

Orang-orang Kampung Tugu diganggu gerombolan yang disebut ektrimis oleh Belanda di masa awal kemerdekaan Indonesia.

7 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kelompok Krontjong Toegoe sedang berlatih. Mereka pelestari keroncong yang turun-temurun mendiami Kampung Tugu, tempat leluhur mereka mengalami kesulitan di masa revolusi. (Bisri/Historia.ID).

KAMPUNG Tugu di Jakarta Utara sohor karena keroncongnya. Itu terkait erat dengan penghuni awalnya yang merupakan orang-orang Mardijker. Golongan mantan budak era Portugis itu dimerdekakan oleh kongsi dagang Belanda Oost-Indische Compagnie (VOC).


Di era Hindia Belanda, daerah Tugu masih belum padat dan tetap dihuni keturunan para Mardijker. Selain permukiman, Kampung Tugu juga masih banyak hamparan sawah, kebun pisang, dan kelapa. Nijmaagsch Dagblad tanggal 22 Januari 1946 memberitakan: penduduknya hidup dari bercocok tanam, berburu, membuat alat musik seperti keroncong (yang diduga berasal dari Portugis) dan suling bambu. Para pemudanya sehari-hari bekerja di Tandjong Priok di pelabuhan atau perusahaan mobil.


Para penduduk Tugu beragama Kristen sehingga banyak yang menyebut Tugu termasuk salah satu kampung Kristen tertua di Jakarta. Para penduduk Tugu biasanya pergi ke Gereja Tugu tiap hari Minggu. Gereja mereka juga menjadi tempat belajar bagi anak-anak setempat. Di sana, musik keroncong terus terpelihara.


Sekitar tahun 1890, Kampung Tugu kedatangan seorang guru agama asal Ambon dari marga Tomasoa. Selain dari Ambon, guru agama di sana juga berasal dari Manado.


“Ayah saya, yang ditugaskan di Toegoe oleh misi tersebut sekitar tahun 1890 sebagai seorang guru muda Ambon, telah berhasil mengembangkan bakat musik bawaan umat Kristen Toegoe melalui latihan menyanyi dan suling sedemikian rupa sehingga terbentuklah sebuah orkestra suling, yang sejak saat itu mengiringi nyanyian gereja,” aku nyonya L van de Watering, putri Tomasoa, dikutip Nijmaagsch Dagblad.


Persamaan agama dan hobi bermusik membuat orang Tugu dianggap dekat dengan Belanda. Hal itu menjadi petaka buat mereka di zaman pendudukan Jepang dan berlanjut ketika Perang Kemerdekaan (1945-1949). Tentara pendudukan Jepang sangat berhati-hati kepada golongan orang Kristen. Oleh karenanya biasanya mereka menganggap orang Tugu bagian dari orang Belanda yang menjadi musuh tentara Jepang.


“Pada masa pendudukan Jepang dan pergolakan sesudahnya penduduk asli Tugu diancam oleh gerombolan,” catat Adolf Heuken dalam Tempat-tempat bersejarah di Jakarta.


Gerombolan yang dimaksud Heuken merupakan orang-orang yang dicap ekstrimis oleh Belanda. Mereka membabi-buta setelah tentara Sekutu –yang diboncengi aparat NICA dan serdadu KNIL-nya– memaksakan diri mendaratkan pasukannya di kota-kota pelabuhan di Indonesia. Mereka dulunya hanyalah rakyat jelata yang tidak mendapatkan apa-apa ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda berkuasa. Mereka hanyalah orang-orang kelas bawah yang jumlahnya banyak dan tidak berpendidikan (karena sekolah yang dibangun Belanda hanya untuk golongan elit). Mereka sama sekali tidak paham politik ala orang Eropa. Maka perbuatan yang mereka lakukan hanya digerakkan oleh kebencian, tanpa akal sehat.


Gangguan kepada warga Kampung Tugu, menurut Nijmaagsch Dagblad tanggal 22 Januari 1946, terjadi setelah tentara Sekutu menyerang Bekasi. Penyerangan itu sebagai pembalasan atas pembuhunan awak pesawat Dakota milik militer Inggris yang jatuh di Rawa Gatel oleh para pejuang Indonesia.


“Para ekstremis telah memberikan penduduk desa pilihan untuk menjadi Muslim atau dihukum mati,” aku salah satu warga Tugu yang yang mengalami bahaya itu, seperti diberitakan Het Dagblad edisi 18 Januari 1946.


Ancaman yang diterima warga Tugu itu jelas menimbulkan ketakutan. Namun, mereka tak hanya diancam. Penduduk Tugu juga mengalami penjarahan.


Namun, mereka kemudian beruntung karena diselamatkan. Golongan yang tampil sebagai penyelamat mereka dalah para serdadu tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) yang tinggal di bekas tangsi Batalyon Infanteri KNIL ke-10 (Batalyon X) di Kwini, Jakarta Pusat.


Orang-orang Tugu itu kemudian dievakuasi KNIL ke daerah Gambir (yang di zaman Hindia Belanda disebut Waltevreden). Seperti diberitakan Nijmaagsch Dagblad edisi 22 Januari 1946, mereka kemudian diberikan pengobatan. Kala itu wabah malaria dan disentri menjangkiti mereka. Masa sulit ekonomi pasca-perang membuat penduduk Tugu kekurangan makanan. Biasanya mereka memakan apiapi (sejenis buah racun yang membakar) yang harus mereka kumpulkan berjam-jam dari pantai. Buahnya direbus, lalu direndam dalam air dingin selama empat hari untuk menghilangkan partikel beracun, baru aman dimakan. Bukan hanya makanan, mereka juga kekurangan pakaian.


Maka dievakuasinya para penduduk Tugu ke Gambir membuat mereka sementara waktu bisa tinggal dengan aman. Di Gambir, Mereka ditempatkan di Willemskerk yang belakangan dikenal sebagai Gereja Imanuel. Letaknya di seberang Stasiun Gambir.*

Comentários

Avaliado com 0 de 5 estrelas.
Ainda sem avaliações

Adicione uma avaliação

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

Bangunan Misterius di Bawah Stasiun Bekasi

Berada di bawah timbunan tanah, sisa bangunan misterius di Stasiun Bekasi terkuak saat dilangsungkannya proyek DDT. Dugaan bermunculan.

bg-gray.jpg

Menara Sukarno di Pakistan

Kisah salah satu landmark kota di Pakistan yang menjadi simbol persahabatan erat Pakistan-Indonesia.

bg-gray.jpg

Demam Sepeda 1990-an

Sebelum banyak pesepeda kebut-kebutan. Orang memilih bersepeda santai di kota dan menjelajah kampung. Ini pesan Kasino kepada pesepeda.

KEGIATAN

bottom of page