- Amanda Rachmadita
- 5 hari yang lalu
- 4 menit membaca
PROSES pemilihan paus baru yang populer disebut konklaf telah selesai diselenggarakan di Kapel Sistina, Vatikan, pada Kamis (8/5/2025) waktu setempat. Mulai digelar sejak Rabu (7/5), prosesi tertutup itu dihadiri 133 kardinal dari seluruh dunia. Hasilnya, Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat terpilih sebagai paus ke-267. Ia akan menggunakan nama Paus Leo XIV dan menjadi paus pertama dari Negeri Paman Sam.
William J. Collinge menulis dalam Historical Dictionary of Catholicism, konklaf diadakan antara 15 dan 20 hari setelah kematian seorang paus. Para kardinal yang memberikan suara memasuki ruangan yang terkunci (oleh karena itu dinamakan conclave), yang saat ini diselenggarakan di Kapel Sistina, Vatikan. Kardinal-kardinal tersebut diberi penginapan di dekat lokasi pemilihan, di mana mereka akan memberikan suara empat kali sehari setelah hari pertama.
“Jika seorang kandidat mendapatkan dua pertiga suara mayoritas, ia akan ditanya apakah dirinya bersedia untuk menerima hasil pemungutan suara itu. Jika ia menerima, ia akan menjadi paus. Surat suara kemudian dibakar dengan bahan kimia yang menimbulkan asap putih, yang menjadi tanda bahwa paus baru telah terpilih,” tulis Collinge.
Konklaf diperkirakan telah dilakukan sejak akhir abad ke-13. Menurut Greg Daugherty dalam “Why Does the Vatican Use Smoke to Announce a New Pope?” termuat di History.com, 2 Mei 2025, proses pemilihan ini mulanya dimaksudkan untuk mempercepat proses penentuan paus baru, mengingat para kardinal di tahun 1271 membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk memilih pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang baru.
Sementara itu, gumpalan asap yang terlihat di udara merupakan hasil pembakaran kertas suara para kardinal yang telah dihitung. Frederic J. Baumgartner mencatat dalam Behind Locked Doors: A History of the Papal Elections, informasi awal terkait pembakaran kertas suara para kardinal yang ikut serta dalam konklaf muncul pada 1417. Namun, ketika itu gumpalan asap dari proses pembakaran kertas suara belum dianggap sebagai tanda tertentu dalam proses pemilihan paus baru.
“Karya monumental Ludwig von Pastor tentang kepausan tidak menyebutkan adanya asap dalam 43 konklaf dari tahun 1417 hingga 1775 yang ia bahas, seringkali dengan sangat rinci. Ketika itu, gemuruh senjata Castel S. Angelo dan dentang lonceng kota memproklamirkan kepada orang-orang Roma bahwa paus yang baru telah terpilih,” tulis Baumgartner.
Ketika pelaksanaan konklaf dipindahkan ke Vatican Palace, surat suara dibakar dalam tungku kecil, tetapi karena asapnya merusak lukisan dinding di Kapel Sistina, sebuah tungku khusus berbentuk piramida diperkenalkan pada awal tahun 1600-an untuk mengurangi asap dari pembakaran tersebut. Pada saat itu tidak ada cerobong asap di bagian luar, yang baru ditambahkan pada abad ke-18.
“Dengan berlakunya peraturan di masa Gregorius XIV pada 1621, yang melarang pemujaan dan aklamasi serta mewajibkan dua kali pemilihan dalam sehari, jumlah asap dari surat suara yang dibakar bersama dengan lilin dan obor akan jauh lebih banyak, terutama selama konklaf yang berlangsung lama setelah tahun 1650,” jelas Baumgartner.
Proses pembakaran kertas suara selama konklaf sendiri meliputi sebuah proses yang cukup unik. Tiga petugas yang disebut scrutineer dipilih secara acak setiap hari dari para kardinal yang berkumpul. Tugas mereka adalah menghitung, membacakan, dan mencatat setiap suara. Setelah selesai, mereka, bersama dengan pihak berwenang lain mengawasi pembakaran kertas suara.
“Pembakaran kertas suara ini tidak hanya menghasilkan asap yang kemudian menjadi tanda yang dinanti oleh orang-orang, tetapi juga untuk memastikan bahwa suara masing-masing kardinal akan tetap menjadi rahasia,” tulis Daugherty.
Menariknya, catatan-catatan mengenai proses konklaf yang disusun hingga abad ke-18 banyak yang membahas proses pembakaran kertas suara, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa asap dari pembakaran tersebut menjadi tanda bagi mereka yang menunggu hasil pemilihan itu. Kemungkinan besar hingga saat itu penembakan meriam masih menjadi tanda untuk mengumumkan bahwa seorang paus telah terpilih.
Dengan demikian, gumpalan asap sebagai tanda terpilihnya seorang paus merupakan inovasi baru dalam sejarah konklaf. Hasil penelusuran Baumgartner menunjukkan bahwa asap mulai dianggap sebagai tanda penting pada abad ke-19 ketika pemilihan Leo XII.
“Ada sebuah kesalahpahaman bahwa setelah paus dipilih, asap tidak akan muncul. Sesungguhnya, asap tetap dihasilkan ketika seorang paus dipilih, untuk menjaga kerahasiaan suara... Dari tiga kejadian asap dalam konklaf tahun 1823, yang pertama terlihat jelas, yang ketiga hampir tidak terlihat. Sementara yang kedua tidak, karena terjadi pada malam hari. Asap yang muncul pada kejadian ketiga secara keliru meyakinkan orang-orang bahwa konklaf belum mencapai hasil yang sepakat, tetapi mereka yang tahu lebih banyak tidak mudah disesatkan dan bertahan di luar lokasi konklaf untuk mengetahui hasilnya. Mereka memiliki pegangannya sendiri yang lebih meyakinkan, yaitu jika ketika asap muncul, para kardinal segera meninggalkan kapel, maka hasil konklaf belum sepakat, sedangkan bila mereka tinggal lebih lama di dalam kapel, artinya paus baru telah terpilih,” jelas Baumgartner.
Setidaknya hingga awal abad ke-20, kemunculan asap yang mengepul dari cerobong asap Kapel Sistina masih dianggap sebagai tanda bahwa proses konklaf belum menemukan kata sepakat.
Pemilihan pertama di mana munculnya asap putih dengan jelas terjadi pada 1914. Kemungkinan besar hal ini dilakukan untuk memenuhi mandat Pius X yang meminta agar semua kertas suara dibakar sehingga menghasilkan lebih banyak asap putih yang benar-benar terlihat.
Pada dua hari pertama konklaf 1922, pembakaran kertas suara menghasilkan asap putih selama beberapa waktu sebelum berubah menjadi hitam. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat. Kejadian serupa terjadi tahun 1939 ketika asap putih berubah menjadi hitam saat air disiramkan ke api. Kejadian kembali terulang tahun 1963 sehingga mendorong penggunaan bahan kimia tambahan untuk membuat warna asap menjadi lebih jelas.
“Para peneliti dari McGill University melaporkan pada 2017 bahwa asap hitam dibuat dengan ‘campuran kalium perklorat, belerang, antrasena –bahan kimia yang ditemukan dalam tar batubara’, sementara asap putih melibatkan ‘campuran kalium klorat, laktosa, dan sedikit getah pinus yang dikenal dengan nama Greek pitch’,” tulis Daugherty.
Kendati menjadi tanda seorang paus baru telah terpilih, gumpalan asap putih bukan satu-satunya penentu dalam konklaf. Vatikan juga menginformasikan kepada dunia bahwa para kardinal telah mengambil keputusan dalam menentukan paus baru dengan membunyikan lonceng, serta pernyataan lisan dari balkon Basilika Santo Petrus yang berbunyi “Habemus papam,” yang berarti “Kami memiliki seorang paus”.*
Comments