top of page

Sejarah Indonesia

Sejarah Kampung Timur Di Balikpapan

Sejarah Kampung Timur di Balikpapan

Sejarah Kampung Timur terkait erat dengan orang Timor di Balikpapan dan kerusuhan antaretnis yang menyertainya.

11 Mei 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kilang minyak BPM di Balikpapan (Tropenmuseum/wikimedia.commons)

Kampung Timur di Balikpapan kini merupakan daerah ramai. Makin banyak rumah dibangun di sekitar kolam kangkung di kampung itu. Daerah itu bukanlah daerah pinggiran lagi seperti di tahun 1950-an.


Nama Kampung Timur sendiri terkait erat dengan kerusuhan berdarah yang disebabkan bentrok antaretnis di Balikpapan. Kejadiannya berlangsung tak lama setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949.


Usai KMB, semestinya keamanan jauh lebih kondusif. Sebab, tidak ada lagi permusuhan antara anggota tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dengan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan, KNIL dan TNI berusaha memperbaiki keadaan, antara lain lewat Misi Militer Belanda (MMB).



Namun, di Kampung Timur di pinggiran Balikpapan, suasananya berbeda. Keamanan yang mestinya menjadi keniscayaan, justru sirna. Kerusuhan antaretsnis pecah sebagai kelanjutan dari insiden yang terjadi di pusat kota Balikpapan.


Kerusuhan itu dipicu sebuah insiden yang terjadi di perusahaan minyak –yang beroperasi sejak lama di Balikpapan– Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Suatu hari, seorang buruh BPM –mempekerjakan banyak buruh dari Jawa, Manado, Timor, dan daerah lain di Indonesia– asal Indonesia Timor ditemukan tewas akibat tikaman di halaman BPM. Pelakunya orang tak dikenal.



Orang-orang Timor pun marah. Setelah itu, bentrokan antara orang Timor dengan orang etnis lain pecah di segala penjuru kota. Pada 13 Januari 1950, De locomotief edisi 23 Januari 1950 memberitakan, sekitar pukul 16.00 sekelompok orang Timor bersenjata menyerang orang-orang yang sedang mengantri.


Serangan tanggal 13 Januari itu lalu berkembang menjadi bentrok antaretnis selama tiga hari di Balikpapan. Konflik kemudian meluas ke berbagai penjuru kampung yang terhitung daerah pinggiran.


Kerusuhan itu juga membuat orang Timor ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sampai ke daerah pinggiran.


Suyatini, penduduk kampung Timur berusia 64 tahun, masih ingat cerita tentang kerusuhan itu yang didengarnya saat masih cilik. Menurutnya, salah satu keluarga Timor ada yang melarikan diri ke daerah pinggiran yang dulunya terdapat rawa-rawa dekat kampung Suyatini. Keluarga itu kemudian nahas lantaran terlihat oleh warga kampung.



“Dikejar-kejar sama orang kampung, sembunyi. Di situ ada pohon besar itu kan,” ujar Suyatini mengisahkan keluarga Timor itu dikejar warga karena tidak diketahui asalnya, kepada Historia.

Keluarga pengungsi itu akhirnya ditangkap dan diikat. Warga lalu membuat sebuah lubang.

“(Keluarga itu, red.) Diikat, dibuatkan lubang, ditanam hidup-hidup,” aku Suyatini.


Keluarga itu akhirnya tewas di tangan warga. Tindakan main hakim para warga itu digerakkan oleh ketakutan karena mereka juga terancam oleh orang Timor bersenjata yang sedang mengamuk di dalam kota Balikpapan.  


Pertempuran tiga hari itu, diberitakan De Locomotief edisi 23 Januari 1950, menewaskan 24 orang dan membuat 114 orang lainnya menjadi cacat atau luka-luka. Ada yang menduga jumlah korban tewas dan terluka itu mencapai 500 orang. Selain itu, 330 rumah hancur.


Aparat KNIL dan TNI pun melucuti semua polisi yang berasal dari Timor, yang kebanyakan membawa senjata api otomatis sepanjang kerusuhan sejak 13 Januari 1950. Seluruh orang Timor kemudian diisolasi agar tidak menjadi sasaran kemarahan warga Balikpapan yang lain.



Setelah berhasil diamankan TNI dan KNIL, orang-orang Timor itu kemudian dipulangkan ke daerah asal mereka. Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 26 Januari 1950 menyebutkan,  orang-orang Timur itu diangkut menggunakan beberapa kapal. Kapal Patra mengangkut 662 pengungsi, kapal Riouwtiba menangkut 256 pengungsi. Ketika mereka singgah di Makassar, para pengungsi itu diinapkan di Benteng Fort Rotterdam, tak jauh dari pelabuhan.


Di Makassar, Menteri Sosial Negara Indonesia Timur Izaac Heru Doko menyesalkan kejadian yang terjadi di Balikpapan itu. Heru Doko kebetulan berasal dari daerah Keresidenan Timor.


Kendati keadaan kota Balikpapan kemudian berangsur pulih dari kerusuhan antaretnis tersebut, kota pesisir itu kekurangan polisi setelah para polisi asal Timor dipulangkan ke daerah asal mereka. Untuk menutupi kekurangan itu, 100 orang dari Balikpapan direkrut untuk bertugas polisi sementara. Selain itu, satu peleton Polisi Istimewa alias Brigade Mobil (Brimob) didatangkan dari Jakarta ke Balikpapan. Kawasan tempat terbunuhnya dan penguburan orang-orang Timor itu kemudian dinamai Kampung Timur.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
Amarta Pavilion: Witness to the End of a Reign

Amarta Pavilion: Witness to the End of a Reign

This recounts the story of the pavilion designed by Sukarno, which bore silent witness to the March 11, 1966 Decree (Supersemar). It was also one of Bung Karno's three “exile” homes in his final days.
bottom of page