top of page

Lebaran

Lebaran

MAAF adalah kata kunci yang paling sering diucapkan dalam perayaan lebaran. Dengan kata itu, orang-orang yang terpisahkan jarak berjumpa satu sama lain. Mereka yang merayakannya tergerak untuk berduyun-duyun pulang ke kampung halaman, menggenapi diri menjadi yang fitrah. Bagi umat muslim di Indonesia, lebaran adalah festival kultural tahunan yang paling meriah yang menyatukan segala perbedaan: golongan, bahasa, etnis, ras, dan bahkan perbedaan agama.


Saat lebaran mereka yang abangan, santri maupun priayi –meminjam tipologi antropolog Clifford Geertz– tanpa berat hati mengucapkan maaf, baik untuk segala kesalahan yang diperbuat antarmanusia maupun sekadar terucap sebagai bagian dari ritual merayakan lebaran. Semua terlihat seperti setara, tanpa sekat dan membaur tak berbatas. Konsep maaf yang terdengar teoretis seperti forgive but not forget atau forget but not forgive tak lagi dihiraukan. Pokoknya maaf deh.


Usai perayaan puncak lebaran yang terjadi pada tanggal 1 dan 2 Syawal, bukan berarti perayaan selesai. Sudah menjadi tradisi bagi orang Indonesia untuk berkumpul pada bulan Syawal, halalbihalal begitu istilah umumnya. Mungkin hanya umat muslim di Indonesia yang menjalankan tradisi ini di dunia. Rekan sekerja, alumni sekolah, keluarga besar menyelenggarakan halalbihalal, menyatukan orang apapun latar berlakang pekerjaan dan status sosialnya. Pendeknya, lebaran membuat skor kesalahan horisontal antarwarga negara jadi 0-0, kosong-kosong.


Selesai lebaran, perkara ada tawuran antarwarga kampung terjadi lagi, apalagi jelang pemilu seperti sekarang, juga jadi lain soal. Kehidupan kembali ke pertandingan meraih skor paling banyak. Manusia seperti kembali menjadi serigala, sebuah kondisi yang digambarkan Erich Fromm melalui tulisannya tentang apakah “manusia: serigala atau domba?” dalam bukunya The Heart of Man. Dalam situasi itu kata maaf mulai langka diucapkan, apalagi bagi para serigala yang tak keburu bilang maaf karena domba telanjur lewat kerongkongan masuk ke dalam perut. Memang demikian kenyataan hidup: kejam seperti gambaran ibu kota dalam film Ateng dan Iskak.


Persoalan kata maaf ini mulai jadi ribet ketika kita bawa ke level antara warga negara dengan negaranya di luar skema lebaran. Bukan apa-apa, antarwarga boleh jadi selesai setiap lebaran, tapi perkara yang dibikin negara ke warganya belum pernah diselesaikan dalam satu kali perayaan lebaran pun. Walaupun sudah ada iktikad, seperti yang ditunjukkan Presiden Jokowi sebagai kepala negara pada 11 Januari yang lalu: negara menyesal atas terjadinya sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Tak terdengar kata maaf di sana.


Banyak yang berharap walau bukan lebaran, kata maaf terucapkan oleh kepala negara kepada warganya yang jadi korban dari 12 kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Tapi pemerintah agaknya punya logika penyelesaiannya sendiri. Ketika Inpres No. 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat terbit, pendekatan pemerintah seperti ingin menuntaskan kasus ini melalui pendekatan bantuan sosial. Tak ada poin penulisan sejarah. Padahal kepala negara memastikan hal yang sama tak terulang. Pertanyaannya, bagaimana bisa yakin semua tak terulang sedangkan apa yang terjadi tak pernah diketahui secara pasti?


Mungkin juga para keluarga korban dan penyintas punya harapan kepala negara Indonesia akan meniru apa yang dilakukan kepala pemerintahan negara tetangga di bagian selatan yang bilang “sorry” kepada warga Aborigin atas apa yang orang kulit putih, para kolonialis Inggris di Australia, lakukan selama abad 19. Sejak 1998, kemudian Perdana Menteri Kevin Rudd menyampaikan maaf pada 2008, warga Australia merayakan “Sorry Day” pada 26 Mei setiap tahunnya. Dalam beberapa hal mungkin ini semacam lebaran antara negara dengan warganya.


Dalam model maaf antara negara dengan warganya tentulah bukan sekadar mohon maaf tanpa pernah tahu apa yang terjadi. Bukan maaf ala lebaran yang terucap tanpa harus punya salah. Bukan pula basa-basi demi ritual belaka. Kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM oleh negara terhadap warganya penting untuk diketahui agar tak pernah lagi terulang di masa yang akan datang.


Dua dekade sejak reformasi, rasa-rasanya baru dua orang pemimpin yang meminta maaf kepada warganya: pertama Gus Dur dan kedua Megawati Soekarnoputri. Gus Dur minta maaf atas nama NU atas apa yang dilakukan pada periode kekerasan 1965–1966. Sedangkan Megawati menghaturkan maaf atas apa yang terjadi di Aceh dan Papua semasa Orde Baru. Namun sayang kata maaf yang datang dari kepala negara itu tidak diikuti oleh langkah-langkah sistematis oleh negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu serta mendatangkan keadilan bagi para keluarga korban dan penyintas.


Tak heran kalau sastrawan kampiun model Pramoedya Ananta Toer sewot saat Gus Dur minta maaf. Ia bahkan menulis surat terbuka kepada Goenawan Mohamad yang menganjurkan agar Pram menerima maaf Gus Dur dan mengikuti langkah Nelson Mandela di Afrika Selatan.


“Saya bukan Nelson Mandela… Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya… Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya,” ujar Pramoedya dalam surat terbukanya sepekan setelah kolom Goenawan Mohamad terbit.


Dalam soal ini Pram benar. Indonesia tak bisa dibandingkan secara sejajar dengan Afrika Selatan di mana korban penindasan memenangkan pemilu dan mengantarkan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di sana. Proses rekonsiliasi yang didahului oleh proses pencarian kebenaran bahkan penegakan keadilan membutuhkan iktikad politik yang kuat. Dan itu hanya bisa datang dari kekuasaan yang sadar akan tugas sejarahnya untuk menambal cacat dari masa lalu, sehingga kata maaf terucap sambil terus mengingat kepahitan masa lalu agar tak terulang kembali.


Mungkin ini bedanya lebaran antarwarga dengan “lebaran” antara negara dengan warganya. Lebaran antarwarga terjadi bulan Syawal dan kalau bikin kesalahan lagi masih ada kesempatan bulan Syawal tahun berikutnya. Sedangkan “lebaran” negara kepada warganya mestinya hanya sekali terjadi dan memastikan kesalahan tak lagi terulang di masa yang akan datang.*

bottom of page