Seputar Persoalan Eksil
SAYA memanggilnya Oom Nug. Nama lengkapnya Nunu Nugroho. Tapi saya ragu itu nama lengkap sesungguhnya. Bukan masalah untuk saya. Yang lebih menarik buat saya adalah kisah hidupnya: lahir sebagai anak dari kalangan priayi, ikut perang kemerdekaan di Yogyakarta, menggabungkan diri dengan gerakan kiri, bekerja sebagai wartawan Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan berakhir sebagai eksil di Belanda.
Oom Nug punya kemampuan menertawai diri sendiri, bahkan untuk kisah-kisah yang bagi kebanyakan orang terbilang heroik. Gambaran perang kemerdekaan yang penuh dengan kisah kepahlawanan dan patriotisme mendadak jadi cerita yang sangat manusiawi di tangannya. Suatu kali dia menceritakan kepada saya bagaimana reaksi tentara Indonesia ketika disergap pesawat tempur cocor merah milik Angkatan Udara Belanda. “Bubar semua, pada lari ketakutan,” ujarnya terkekeh. Padahal saat itu dia dan kompatriotnya ditugasi menjaga sebuah perbukitan di pinggiran Yogyakarta.
“Komandan saya namanya Sersan Mayor Kasiyan. Naik kuda. Kasih perintah sama kami untuk menjaga sebuah bukit. Tapi begitu ada pesawat cocor merah…” kata dia terdiam sejenak karena saya potong dengan pertanyaan.
“Nembakin pesawatnya, Oom?” kata saya menyela.
“Apa… ndak... malah lari semua, ya takut lah kita semua,” katanya terkekeh.
Lain waktu Oom Nug membagikan kisahnya saat tentara Belanda menyerbu dan membakar sebuah desa. Ketika pasukan Belanda telah meninggalkan desa dalam keadaan porak-poranda dan hangus terbakar, Oom Nug masuk ke desa itu bersama seorang kawan bernama Syam.
“Oom mau ngejar tentara Belandanya?”
“Yo ndak, saya mau cari makan. Waktu itu saya lihat banyak mayat bergelimpangan. Sedih juga. Terus saya lihat ada ayam. Kami tangkap ayam itu terus dibakar, buat makan.”
Syam yang dimaksud oleh Oom Nug adalah Syam Kamaruzzaman, belakangan menjadi sosok kunci dalam peristiwa G30S 1965 yang keberadaan dan peranannya masih sangat misterius. Sebelum peristiwa itu terjadi, Oom Nug bertugas sebagai koresponden Harian Rakjat di Jerman Timur. Dia kehilangan kewarganegaraan, hidup klayaban hingga ke Cina, sampai berujung ke Belanda sebagai pencari suaka.
Ketika usianya semakin senja, tak banyak ingatan tersisa kecuali beberapa pengalaman hidup yang sepertinya penting buatnya. Memori zaman revolusi kemerdekaan sepertinya melekat kuat dalam benaknya. Selain lancar bercerita tentang Sersan Mayor Kasiyan dan sisi lain jingoisme perang, Oom Nug sempat terlibat dalam memproduksi poster-poster propaganda kemerdekaan di bawah asuhan pelukis revolusioner Dullah.
Pria kelahiran 4 April 1925 itu wafat 15 Maret 2023 lalu di RS Flevo, Almere, Belanda, menyusul istrinya yang lebih dulu berpulang beberapa tahun sebelumnya. Tak ada pemberitaan di media massa mengenai kepergiannya. Tak ada perbincangan di media sosial mengenai dirinya. Praktis tak ada orang di zaman sekarang yang mengenalnya lagi.
Berbeda dari Oom Nug yang tak banyak berinteraksi dengan anak-anak muda dari Indonesia di Belanda, Sarmadji selalu menarik perhatian saya. Dia hidup melajang sampai akhir hayatnya. Untuk melampiaskan rasa rindunya pada tanah air, Sarmadji mengoleksi ribuan buku tentang Indonesia yang merentang mulai dari tema prasejarah, sejarah, kebudayaan sampai dengan politik kontemporer.
Dia tinggal sendiri di sebuah rumah berukuran 50 meter persegi yang terletak di Naaldwijkstraat, Amsterdam. Andai saja tak ada ribuan buku di sana, rumah itu sebetulnya cukup leluasa untuk seorang penghuni. Kecuali kamar mandi dan dapur, tak ada ruang kosong tanpa terisi tumpukan buku dan arsip. Buku juga bertumpuk di koridor penghubung antara pintu masuk dengan ruang utama, bahkan di atas ranjang yang menyisakan sedikit saja ruang seukuran tubuh untuk berbaring.
Koleksi bukunyalah yang menyelamatkan saya dari kejaran deadline. Pada suatu hari di bulan Oktober 2010, saya menerima panggilan telepon dari redaksi majalah Tempo, mengabarkan permintaan menulis kolom tentang Musso. Tempo berencana membuat laporan sisipan mengenai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tewas dalam peristiwa Madiun 1948 itu. Hanya ada tiga hari tenggat waktu untuk saya menyelesaikan kolom tersebut. Sementara jadwal kepulangan hanya tersisa dua hari lagi.
Dalam situasi mepet, saya harus bergegas mencari sumber-sumber penulisan, baik buku maupun arsip. Di saat berpikir kemana saya harus pergi, satu nama muncul di kepala: Oom Wardjo! Demikian saya memanggil Sarmadji, pria kelahiran Solo, 24 April 1931 itu. Tanpa buang waktu, saya meneleponnya dan mendapatkan jawaban yang melegakan. “Yo wis bung ke sini saja, nanti saya siapkan apa yang kamu butuhkan,” katanya di seberang telepon.
Saya bergegas ke rumahnya yang terletak tak jauh dari stasiun metro Henk Sneevlietweg di Amsterdam. Nama Henk Sneevliet digunakan menjadi nama stasiun itu pada 28 Mei 1997, mengabadikan tokoh kiri Belanda yang pernah tinggal di Surabaya dan Semarang pada 1913–1918. Sneevliet dieksekusi mati Nazi di Amersfoort pada 12 April 1942. Hanya sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun, pintu rumah berwarna putih krem sudah berada di hadapan saya.

Sesuai janjinya, setumpuk dokumen dan buku-buku untuk saya sudah terkumpul di meja. Semua berhubungan dengan Musso. Tak ada mesin fotokopi sehingga saya hanya bisa membaca dan mencatat informasi dari dokumen tersebut. Koleksi buku miliknya tak tersusun berdasarkan katalog sebagaimana lazimnya perpustakaan. Dia mengandalkan ingatan atas seluruh koleksi buku dan arsipnya.
Berbekal sumber-sumber yang disediakan oleh Oom Wardjo, saya menulis kolom pesanan Tempo dalam perjalanan Amsterdam ke Jakarta. Tenggat waktu terpenuhi. Kolom tentang sepak terjang Musso yang jarang diketahui publik itu terbit di majalah Tempo edisi November 2010. Saya bukan satu-satunya yang berutang jasa pada Oom Wardjo dan koleksi bukunya, banyak anak muda, baik yang sedang studi di Belanda maupun sekadar datang berkunjung, memanfaatkan koleksi pustakanya. Lantas bagaimana riwayat Oom Wardjo mengumpulkan berbagai dokumentasi dan buku-buku mengenai sejarah Indonesia itu?
Semua bermula dari peristiwa 1 Oktober 1965 di Jakarta. Saat peristiwa tersebut terjadi, dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa Universitas Pendidikan Guru di Beijing, Tiongkok. Beredar kabar telah terjadi kudeta terhadap Presiden Sukarno. Kabar lain menyebutkan kudeta telah digagalkan. Susul-menyusul kemudian dengan berita penangkapan atas simpatisan dan anggota PKI yang dituduh ada di belakang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat.
Perubahan politik terjadi drastis. Beberapa duta besar diganti mendadak, tak terkecuali Djawoto, pemimpin redaksi kantor berita Antara yang dilantik Presiden Sukarno sebagai duta besar untuk Tiongkok sejak 1964. Djawoto memilih tidak pulang ke Jakarta. Seorang perwira militer dikirim ke Beijing untuk menggantikan sementara posisinya.
Warga Indonesia yang ada di Tiongkok diwajibkan melapor ke kedutaan, tanpa terkecuali para mahasiswa termasuk Oom Wardjo. Pihak kedutaan mengajukan pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap situasi yang berkembang di Jakarta, termasuk dukungan mereka terhadap kepemimpinan baru di bawah Jenderal Soeharto. “Saya tetap pilih mendukung Presiden Sukarno, tapi risikonya kehilangan paspor. Ndak apa-apa,” ujarnya.
Tak hanya kehilangan kewarganegaraan, pilihan tetap setia kepada Sukarno menyebabkannya kehilangan pekerjaan sebagai pegawai negeri pada Biro Pemuda di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tanpa status kewarganegaraan, Wardjo menetap di Tiongkok, melanjutkan pendidikannya sampai selesai. Dia sempat menjadi saksi peristiwa penting dalam sejarah modern Tiongkok: Revolusi Besar Kebudayaan Proletar.
Di pengujung era 1970-an dia memutuskan untuk hijrah ke Belanda melalui Jerman. Setibanya di Belanda, melalui jasa baik seorang pengacara, dia mendapatkan kewarganegaraan Belanda. “Waktu di kantor polisi saya ditanya lahir di mana? Saya jawab lahir di Indonesia, terus polisinya bilang kok Indonesia? Nederlands Indie! Saya jawab… iyooo… aku manut (nurut),” katanya mengisahkan saat mengajukan izin tinggal di kantor polisi.
Sambil bekerja sebagai buruh pabrik kaca, Oom Wardjo mulai mengoleksi buku-buku mengenai Indonesia. Sebagai upaya untuk memahami apa yang terjadi di Indonesia pada 1965 yang berdampak pada kehidupannya. Kian lama, koleksi bukunya kian bertambah. Tak hanya seputar peristiwa 1965, tetapi juga merentang ke tema-tema lain. Kerinduannya terhadap tanah air dan pencarian jawaban atas semua peristiwa yang menimpa dirinya bisa terpenuhi. Hanya satu saja pertanyaan yang sampai akhir hayatnya tak pernah mendapat jawaban pasti, “Saya ini salahnya apa?” kata Oom Wardjo.
Pertanyaan serupa juga terdengar dari eksil-eksil lainnya: “Apa salah kami?” “Mengapa pemerintah mencabut kewarganegaraan kami?” “Kami tidak pernah berbuat salah pada negara, tapi mengapa kami diperlakukan seperti ini?” “Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua yang menimpa kami?”
Kebutuhan para korban untuk mengetahui kebenaran atas peristiwa di masa lalu itu tak juga kunjung terpenuhi melalui Instruksi Presiden Jokowi No. 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Penyelesaian non-yudisial lebih menitikberatkan pada pendekatan bantuan sosial untuk memulihkan hak sosial-ekonomi para korban yang selama ini terabaikan. Hak untuk mengetahui atas apa yang terjadi di masa lalu sepertinya masih harus menempuh jalan panjang, tak hanya bagi eksil 1965 tapi juga bagi keluarga korban dan penyintas 12 kasus yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh negara.
Kendati di ruang akademik sudah banyak studi mengenai peristiwa pelanggaran HAM berat, khususnya peristiwa 1965, namun gaung kebenaran ilmiah itu tak mampu menembus ruang ingatan publik yang masih erat dipengaruhi stigma. Penggunaan sentimen komunisme di dalam setiap kontes politik menunjukkan bahwa memori kolektif sebagian elite politik dan masyarakat belum bisa beranjak dari pengaruh doktrin narasi tunggal produk rezim Soeharto.
Sehingga dalam penuntasan persoalan 1965, khususnya eksil, ada semacam kesan kikuk dan penuh keraguan. Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengindikasikan hal itu. Dari ratusan orang eksil yang tersebar di berbagai negara, hanya 39 yang dinyatakan bukan sebagai pengkhianat negara. Pertanyaannya dari mana dasar label “pengkhianat negara” itu berasal? Apa dasar pemerintah melabel orang seperti Nugroho atau Sarmadji, yang tak termasuk ke dalam 39 orang tadi, sebagai pengkhianat negara?
Stigmatisasi membuat pikiran jadi tak adil. Penuh syak dan wasangka. Persis petugas imigrasi di bandara Amerika Serikat pascaperistiwa 11 September 2001 yang selalu menaruh kecurigaan pada mereka yang memiliki nama atau tampang Arab. Untung saja pemerintah era Sukarno memberikan amnesti dan abolisi umum terhadap mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII era 1950-an. Kalau tidak, tak bisa dibayangkan bagaimana stigmatisasi terhadap umat muslim akibat peristiwa tersebut membawa dampak besar untuk kehidupan kita di hari ini.
Tak mudah memang mengikis pengaruh narasi tunggal versi Orde Baru terhadap memori kolektif bangsa Indonesia. Apalagi narasi tunggal peristiwa 1965 itu menjadi sumber legitimasi kekuasaan Soeharto selama 30 tahun lebih. Paling tidak dua generasi yang lahir dan tumbuh di masa itu menerima pengajaran sejarah yang sama dengan sedikit peluang untuk menengok ke perspektif lain.
Jadi, andai kata pemerintah hari ini, atas nama penyelenggara negara di masa lalu, meminta maaf kepada seluruh warganya yang kata Gus Dur “klayaban” di luar negeri itu, bisa dimaknai keliru secara politik. Politically incorrect, begitu bahasa kerennya. Tentu saja tidak secara moral. Karena dengan jalan itu mestinya kita punya rujukan sikap politik yang jelas terhadap penegakkan keadilan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bukankah Indonesia bukan satu-satunya negara yang punya masalah dalam menangani kejahatan kemanusiaan? Ada Afrika Selatan yang sukses menegakkan keadilan dari masa-masa kelam rezim apartheid, Jerman yang berhasil mengatasi trauma masa lalu pasca Perang Dunia II atau Argentina yang melahirkan slogan “Nunca Mas” untuk tak mengulang lagi kejahatan negara atas warganya.
Sebagian dari kita memang gemar mengatakan “sing wis yo wis”, yang sudah ya sudahlah (berlalu). Masalahnya ini bukan sekadar perkara putus pacaran. Ini persoalan putus hubungan kewarganegaraan yang berakibat pada penderitaan banyak orang. Ada banyak pasangan suami istri terpaksa bercerai karena baik istri maupun suami terhalang pulang; keluarga tercerai berai membuat anak-anak hidup terlantar; orang tua yang tak pernah bisa melihat anak-anak mereka lagi atau anak-anak yang tak bisa menemui orang tua lagi, bahkan menziarahi kuburan kedua orang tuanya; cita-cita yang pupus dan banyak lagi kisah derita lainnya.
Wajar jika Sungkono, seorang eksil lain di Belanda, mengatakan kepada saya bahwa yang terpenting buatnya adalah jawaban kenapa semua itu bisa terjadi pada dirinya (juga pada diri eksil lainnya). Baginya, kompensasi ekonomi atau pemulihan kewarganegaraan tidak bisa menggantikan nilai jawaban atas pertanyaanya: mengapa ini bisa terjadi pada kami? Apa salah kami?
Maka, selain kata maaf dari negara, negara juga mestinya mendukung penulisan sejarah untuk mengungkap kebenaran peristiwa di masa lalu. Sehingga publik bisa mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, sementara negara menjamin tak bakal lagi ada pengulangan peristiwa yang sama di masa depan.*