- Randy Wirayudha
- 19 Jan
- 6 menit membaca
Uji coba pembagian susu gratis di sekolah-sekolah di Kabupaten Banyumas, 2024. (pertanian.go.id/banyumaskab.go.id).
SUSU hingga kini masih dianggap komoditas mewah. Maka wajar bila program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto sejak 6 Januari 2025 akhirnya tak lagi dilengkapi susu.
Meski susu jadi bagian dari janji dalam kampanye, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengungkapkan susu tak wajib masuk dalam menu MBG karena pasokan susu belum merata di berbagai daerah. Pun Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana, juga mengungkapkan alasan bahwa tidak adanya susu agar program MBG tak memicu meroketnya impor susu.
Menanggapi hal itu, guru besar bidang gizi masyarakat dan sumber daya keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ali Khomsan menyatakan susu bukanlah menu wajib untuk menyempurnakan pemenuhan gizi anak-anak. Meski punya nutrisi yang baik, penyediaan susu tak sesuai dengan anggaran terbatas.
“Sekarang kita punya [program] Makan Bergizi Gratis, susu pun akhirnya dikeluarkan dari situ karena dananya tinggal Rp10 ribu dari Rp15 ribu sehingga Istana menyatakan kita hanya bisa memberikan susu seminggu sekali. Jadi tidak apa-apa sepanjang bisa dilakukan, semisal diberikan sekali seminggu. Tentu memasukkan susu tetap jadi hal yang sangat baik,” ujarnya yang ditemui Historia.ID di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB, 7 Januari 2025.
Anggapan bahwa susu jadi penyempura kebutuhan gizi berawal dari program “Empat Sehat Lima Sempurna” yang dicetuskan “Bapak Gizi Nasional” Prof. Poorwo Soedarmo pada 1952. Kini, imbauan pemerintah soal susu jadi penyempurna itu sudah digantikan dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
“Pencetusnya mungkin melihat yang bisa minum susu itu hanya penjajah Belanda dan kemudian muncul seolah-olah susu bisa menyempurnakan makanan yang kita konsumsi. Pengenalan susu menjadi penting saat itu karena daya beli masyarakat juga rendah sehingga susu selalu dianggap sebagai komoditas mahal yang tak terbeli kalau tidak dibantu. Makanya sudah ada yang dibantu oleh UNICEF (Badan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada waktu zaman Bung Karno,” sambung Ali.

Program bantuan UNICEF dan FAO itu datang pada 1954. Menurut buku Almanak Pertanian: 1954, UNICEF mengucurkan dana bantuan kepada pemerintah Indonesia sebesar 190 ribu dolar yang kemudian dipergunakan untuk membangun pabrik susu pertama, NV Saridele, di Yogyakarta. Kelak, NV Saridele jadi produsen susu SGM.
Inisiatif pendirian NV Saridele bermula dari Menteri Kesehatan Mayjen (Purn.) Prof. Dr. Satrio. Pabrik susu itu berusaha memenuhi pasokan susu alternatif dari bahan kacang kedelai, “Saridele”, yang dianggap nilai nutrisinya sepadan dengan susu hewani yang saat itu masih jadi komoditas mewah.
“Susu kedelai itu kalau dilihat protein dan lemaknya hampir sama tapi kualitas kalsiumnya berbeda, di mana kalsium dari susu sapi perah itu lebih baik daripada yang berasal dari nabati ya,” terang Ali.
Hanya saja, Ali menekankan daya beli masyarakat masih kurang dalam hal konsumsi susu. Terlebih jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga yang perbandingan konsumsi susunya sudah mencukupi kebutuhan gizi. Mengutip Teknologi Pengolahan Susu karya Sri Usmiati dan Abubakar, konsumsi susu di Thailand, Malaysia, dan Singapura sudah mencapai 30 liter per kapita per tahun.
“Kalau kita lihat India juga enggak terlalu makmur tapi (konsumsinya) sudah di atas 145 liter. Kalau kita (Indonesia) mungkin 16-20 liter,” tukas Ali.
Oleh karena itu, terlepas dari susu bukan menu wajib sebagai penyempurna, susu tetap dibutuhkan dalam pemenuhan gizi. Maka program bantuan makanan bergizi di masa Orde Baru memasukkan susu sebagai prioritas.

Di Balik Program Bagi-bagi Susu
Susu hewani jadi bagian dari program perbaikan gizi di masa Orde Baru. Hal itu dimungkinkan karena berkembangnya industri pengolahan susu (IPS) dan adanya payung hukum perlindungan pemasok susu sapi perah lokal dari pemerintah pada 1983.
“Pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi yang mewajibkan IPS untuk menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Proporsi penyerapan susu segar dalam negeri ditetapkan sebagai bentuk rasio susu yaitu perbandingan antara pemakaian susu segar dalam negeri dan susu impor yang harus dibuktikan dalam bentuk ‘bukti serap’ (BUSEP) untuk melindungi peternak dalam negeri dari persaingan terhadap susu impor,” tambah Sri Usmiati dan Abubakar.
Pada 1985, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1985 (Inpres No. 2/1985) untuk memperkuat kebijakan SKB Tiga Menteri 1983. Menurut Pria Sembada, Guillaume Duteurtre, dan Charles-Henri Moulin dalam artikel “Livestock policy in Indonesia: Case of the dairy subsector” di jurnal Livestock Policy tahun 2020, inpres tersebut diterbitkan untuk mendorong produksi para peternak domestik dan meningkatkan konsumsi susu dengan harga yang terjangkau.
Pemerintahan Orde Baru juga mulai memperhatikan isu kekurangan konsumsi susu sejak 1980. Di tahun ini dikeluarkan pilot project bagi-bagi susu melalui Panitia Tetap Program Bantuan Susu Bagi Anak Sekolah (Pantap PBSA). Proyek tersebut dijalankan bersama antara Dharma Wanita, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Menurut buku Dharma Wanita dalam Pembangunan Nasional, susu yang dibagikan Pantap PBSA dalam program tersebut yakni susu sapi dalam kemasan tetra pak/kardus bernama “Susu Sekolah”. Susu tersebut sumbangan MEE melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) mulai 1980. Pada 1983, bantuan susu MEE meningkat hingga 1.990 ton. Bantuannya digencarkan seiring pemberian Susu Sekolah tiga kali seminggu untuk sekira sejuta anak di tujuh provinsi.
“Tapi kalau susu dibagikan ke anak-anak, susunya sering dibawa pulang ke rumah, enggak diminum di sekolah. Jadi setelah diteliti lagi, susu yang diberikan di sekolah berupa susu kotak, banyak anak yang tidak menghabiskan. Disisakan separuh, dibawa pulang dan oleh ibunya dikasihkan ke adiknya yang masih bayi,” kata pakar gizi Prof. Dr. Soekirman dalam program “Dialog Sejarah: Program Perbaikan Gizi dan 1001 Masalahnya” di akun Youtube Historia.ID, Senin (30/9/2024).
Padahal, menurut kepala Bidang Kesehadan dan Gizi Bappenas periode 1983-1988 dan deputi menteri Bidang Sosial Budaya (1988-1993) itu, bayi lebih membutuhkan asupan air susu ibu (ASI) ketimbang Susu Sekolah. Terlebih, susu yang dibawa pulang itu juga pasti terkontaminasi bakteri. Ditambah harga susu yang masih jauh dari terjangkau bagi mayoritas keluarga, membuat proyek itu tak berlanjut pasca tahun 1988.

Namun, susu kemudian tidak masuk dalam program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang resmi digulirkan pada 1996. Susu digantikan bahan makanan lain dalam hal pemenuhan protein.
“Karena perbaikan gizi tidak berarti hanya dikasih makan, dikasih susu, bukan itu. Telur, ikan, kan sudah sama dengan susu sebagai unsur protein,” imbuhnya.
Program PMT-AS kembali diperkuat pasca-keluarnya Inpres No. 1 Tahun 1997. Inpres dikeluarkan untuk mendukung Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dengan tambahan makanan, baik untuk para siswa sekolah negeri maupun swasta di 11 provinsi.
“Apa yang diberikan kudapan. Ada yang dikasih lemper, bala-bala, ada yang dikasih buras dan itu diberikan tiga kali seminggu oleh pemerintah, dalam hal ini Bappenas. Yang mengelola PMT-AS ini ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) sekitar sekolah masing-masing. Mereka yang memasak, mereka yang mencari bahan baku dan mereka memperoleh insentif secukupnya pada waktu itu. Yang ditekankan jangan menggunakan barang impor,” lanjut Prof. Ali.
Namun, “Geger 1998” membuat program tersebut mandek. Selain masih terdampak krisis ekonomi, imbuh Prof. Ali, dampak otonomi daerah membuat program PMT-AS terputus.
“Kemudian tahun 1998 muncul otonomi daerah. Itu kan duitnya (anggaran) masuk kabupaten. Lalu pejabat bupati menganggap ini perlu atau enggak. Kalau tidak perlu maka berhenti. Akhirnya berhenti betulan. Padahal program itu sudah berjalan hampir 5 tahun dikelola Bappenas,” terang Prof. Ali.
Susu baru kembali masuk dalam program perbaikan gizi anak di periode pertama masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Programnya mirip dengan program Pantap PBSA pada 1980-an, di mana program untuk menjangkau gizi sekira 400 ribu siswa di 2.500 sekolah itu disokong bantuan asing. Kali ini donaturnya United States Departement of Agriculture (USDA).
“Pada era SBY kita mendapat bantuan lagi dari Amerika yang disebut dengan USDA. Itu membantu susu anak sekolah berupa susu (kemasan) tetra pak yang diberikan seminggu tiga kali dan itu kalau enggak salah dilakukan di enam provinsi,” jelasnya.
Menurut Bambang Haryadi dalam Citra Indonesia: Hubungan dan Kerjasama Indonesia di Kawasan Amerika dan Eropa, selaku penghasil susu terbesar Amerika Serikat saat itu menyalurkan bantuan program kesehatan melalui proyek susu sekolah ke negara-negara berkembang. Indonesia termasuk.
“Program ini diakui [Duta Besar Amerika untuk RI Robert] Gelbard untuk semua sekolah di Indonesia. Dari Departemen Pendidikan Nasional diperoleh informasi melalui Program Usaha Kesehatan Sekolah bekerjasama dengan Yayasan Bina Putra Sejahtera berprakarsa untuk meningkatkan nilai gizi siswa melalui pemberian susu dari USDA. Program tersebut sebagai salah satu percontohan dalam pemberian bantuan gizi dalam rangka ‘Global Food for Education’,” tulis Bambang.
Namun, program tersebut tak berumur panjang. Setelahnya hingga kini, tidak ada kelanjutan dari program bagi-bagi susu.
“Memang pada intinya program itu berangkat dari program bantuan dan tidak bisa meng-cover seluruh Nusantara yang sangat luas. Anak-anak usia sekolah sangat banyak sehingga pilot project tadi tentu diharapkan ada follow up-nya tapi ternyata pemerintah kita kemampuannya terbatas dan komitmen-komitmen policy makers dari situ tidak cukup kuat untuk melanjutkan,” tandas Prof. Ali.*
Comments