- Made Supriatma
- 2 Sep 2023
- 6 menit membaca
SUATU pagi bulan September yang dingin di Desa Freeville, di dekat kota Ithaca, New York bagian atas, saya berjumpa dengan Ben Anderson terakhir kali. Saya diundang oleh Cornell Southeast Asia Program (SEAP) untuk bicara soal pembantaian 1965. Pihak SEAP sebetulnya menyediakan hotel. Namun, saya memilih menghubungi Om Ben (begitu kami memanggilnya) dan meminta apakah saya boleh menumpang di rumahnya. Jawabannya sangat antusias,“Of course I will be delighted if you would like to stay at my old house. Ben Abel is very happy too, and probably we will talk and talk and talk.”
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani wixdev.historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.