top of page
Ekonomi

Bisnis Miras Masa Kolonial

Penjualan miras impor dan lokal laku keras di Hindia Belanda. Muncul pasar gelap miras untuk menyiasati aturan yang ketat.

Oleh :
9 Maret 2021
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Dua pekerja pabrik minuman keras pada 1910-an. (geheugenvannederland.nl).

“YANG Asli Paling Dicari Bir Pilsener Tjap Koentji” itulah potongan iklan bir di koran Soerabaijasch Handelsblad, 25 Februari 1891.


Bir buatan Jerman itu berjenama asli Becks Beer. Bir ini diimpor oleh perusahaan Van Duijm & Co. di Surabaya. Kala iklan ini beredar, bisnis miras di Hindia Belanda sedang bertumbuh pesat.


Miras impor membanjiri Hindia Belanda. “Banyak alkohol yang dibawa orang masuk ke Hindia ini,” tulis J. Kats dalam Bahaja Minoeman Keras Serta Daja Oepaja Mendjaoehinja. Jumlah impornya berlainan tiap tahun. Ada kira-kira 600.000 liter miras lebih banyak dibawa orang ke Hindia daripada pada 1891 dan 1893.


Beberapa jenis miras impor itu antara lain port, brandy, cognac, jenever, wisky, bir, sampanye, dan lemonade. Masuknya miras impor itu menambah khazanah permirasan di Hindia Belanda.


Sebelumnya orang-orang lokal telah lihai mengolah miras dengan nama sopi, pait, arak, arak obat, ciu, tuak, berem, badeg, dan sajeng. Miras-miras lokal itu dijual di bawah peraturan pemerintah Hindia Belanda. Tapi tidak semua bisnis miras diatur oleh pemerintah kolonial.


“Pemerintah hanya mengatur secara resmi ketentuan perizinan mendirikan pabrik arak... dan tempat-tempat tertentu yang diizinkan menjual miras seperti penginapan, kedai kopi dan minuman, dan yang sejenis dengan itu,” tulis Kasijanto Sastrodinomo dalam Industri Rumah Tangga di Sekitar Pabrik Penyulingan Arak di Beberapa Kota di Jawa Sekitar 1870–1925.


Kasijanto menambahkan, saat itu pemerintah kolonial belum memandang miras lokal sebagai salah satu sumber pendapatan. “Perkembangan yang penting bagi industri arak tampaknya dimulai pada 1870-an,” lanjut Kasijanto.


Pemerintah mulai memperhitungkan segi ekonomi dan sosial miras. Antara lain dengan menarik cukai impor miras sebesar f.40,00 per hektoliter untuk miras berkadar alkohol 50 persen.


Yusana Sasanti Dadtun, penulis buku Minuman Keras di Batavia Abad XIX, berpendapat serupa. “Pada masa tersebut pemerintah kolonial melakukan intervensi pada sistem produksi, distribusi, ekspor-impor, dan seluruh aktivitas yang berkaitan dengan minuman keras, terutama cukai,” tulis Yusana.


Keterlibatan pemerintah kolonial dalam bisnis miras membuat sejumlah pabrik miras lokal tutup. Sebab, mereka tak memenuhi persyaratan minimal untuk memproduksi miras. Sebagian lagi bergabung sehingga membentuk pabrik yang lebih besar. Pabrik miras lokal terletak di Batavia, Cirebon, Tegal, Semarang, Kebumen, Surabaya, dan Pasuruan.


Dari catatan Kasijanto, nilai produksi miras jenis arak di Hindia Belanda mencapai f.3,5 juta selama rentang 1874–1907. Batavia menyumbang sekira 80 persen nilai itu. “Dengan demikian jelas Batavia merupakan penghasil arak terbesar di daerah Jawa dan Madura,” tulis Kasijanto.


Selain mengurus miras lokal, pemerintah juga mengatur peredaran dan pendapatan dari miras impor. “Minuman keras Eropa terpaksa diimpor dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan akan minuman keras orang-orang Eropa sendiri dan mungkin beserta orang bumiputra relasi mereka,” tulis Kasijanto.


Pemerintah kolonial memperoleh banyak pendapatan dari cukai miras impor. Catatan Kasijanto menunjukkan hasil cukai miras impor untuk jenis brendi dan jenever serentang 1874–1894 secara umum meningkat.


Ada memang tahun-tahun ketika cukai itu menurun. Penurunan itu berpangkal dari masalah penyelundupan, pengoplosan, dan pemalsuan miras impor. Para pemalsu itu menjual miras impor kepada para priyayi anak negeri. “Yang doyan menyesap minuman keras impor palsu demi mengejar gengsi,” catat Yusana.


Tak hanya miras impor, pasar gelap untuk miras lokal juga ada. Pemerintah kolonial berupaya menindak tegas pelaku penyelendupan, pengoplosan, dan pemalsuan miras impor itu. Mereka merazia dan menangkap para pembuatnya. Sindikat perdagangan miras gelap itu melibatkan pula para petugas pemerintah kolonial seperti pabean pelabuhan.


Ahmad Sunjayadi dalam “Kebijakan Miras di Batavia Masa Kolonial” mencatat salah satu penggerebekan terhadap tempat pembuatan miras ilegal di Batavia pada Januari 1890. Semula petugas tak berhasil mendapatkan pembuatnya. Tapi setelah dicari-cari, ternyata pembuatnya bersembunyi di WC.


Menyikapi maraknya peredaran pasar gelap miras lokal dan impor, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan baru tentang sistem produksi miras, penjualan, pengelola, personil pengawas, dan perpajakannya. Peraturan ini lebih ketat daripada peraturan sebelumnya.


Hasilnya sangat memuaskan. Cukai miras impor dan lokal meningkat. Selama lima tahun pada awal pergantian abad (1909–13) pemerintah telah berhasil menghimpun cukai arak sebesar f.75.167,15, tidak termasuk yang dikumpulkan di luar Jawa yang jumlahnya ternyata cukup besar.


Tetapi peningkatan cukai miras impor dan lokal bukan berarti menutup celah perdagangan gelap miras. Praktik itu tetap ada dan berlangsung hingga 1910-an. Masa ini impor miras kian deras setelah dunia pariwisata Hindia Belanda mulai berkembang. Bir-bir disajikan dengan cara baru, ditambah es.


“Tentunya bir dingin tersebut mampu membasahkan kerongkongan sekaligus menghilangkan dahaga para turis yang kelelahan setelah berplesir di udara panas,” tulis Ahmad Sunjayadi dalam “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda” yang termuat dalam Titik Balik Historiografi Indonesia.


Melihat keadaan itu, para pencari keuntungan justru makin gencar dan lihai memasarkan miras ilegal. Karena harganya murah, miras ilegal laku keras. Akibatnya, penikmat miras kian banyak. Kekhawatiran pun muncul dari kalangan agamawan, pendidik, dan moralis. Mereka mendesak pemerintah kolonial membatasi peredaran miras.


Muhammadiyah bahkan meminta pemerintah kolonial memonopoli perdagangan miras seperti candu. Sebab, mereka terkejut ketika mengetahui para haji ikut-ikutan menjual dan mengonsumsi miras.


Pemerintah kolonial menjawab desakan itu dengan mendirikan Alcoholbestrijdings-commisie (Komisi Pemberantasan Alkohol). Komisi ini bertugas menyelidiki penyelewengan penjualan dan konsumsi alkohol masyarakat Hindia Belanda.


Meski komisi ini telah terbentuk, pemerintah kolonial tetap melegalkan peredaran dan konsumi miras di tempat-tempat tertentu seperti kedai dan warung minum.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page