- Petrik Matanasi
- 28 Apr
- 3 menit membaca
KOTA Bukittinggi di Sumatra Barat dikenal antara lain karena tokoh proklamator Bung Hatta. Di sanalah sang proklamator yang juga berjuluk Bapak Koperasi itu dilahirkan.
“Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki gunung Merapi dan gunung Singgalang dan di sebelah utaranya kelihatan pula melingkung cabang-cabang Bukit Barisan,” kata Bung Hatta dalam Memoirs.
Namun, Bung Hatta bukan satu-satunya faktor yang membuat Bukittinggi terkenal. Peran bukittinggi sebagai ibukota Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di masa revolusi kemerdekaan juga penting.
Sejatinya, Bukittinggi telah dikenal sejak lama. Tak hanya karena pemandangan alamnya yang indah atau pendidikannya di masa lalu juga maju, tapi juga karena perdagangannya. Bung Hatta sendiri terlahir dari keluarga pedagang.
Orang Minangkabau sejak dulu dikenal sebagai etnis pedagang. Kota-kota di Sumatra maupun kota-kota di Jawa atau kota-kota di banyak daerah lain jadi tanah rantau mereka. Para perantau Minang berasal dari berbagai daerah Sumatra Barat. Salah satunya Bukittinggi, yang lahir dan tumbuh karena perdagangan.
“Cikal bakal kota Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Negeri Kurai,” catat Zulqayyim dalam buku Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia.
Pasar itu, sambung Zulqayyim, mula-mula diadakan di hari Sabtu. Setelah ramai, maka di hari Rabu pun diadakan pula. Oleh karena pasar itu berada di salah satu bukit tertinggi, yang dalam bahasa setempat disebut bukik nan tatinggi, lama-kelamaan pasar itu disebut Bukittinggi.
Seiring perjalanan waktu, pasar di bukit itu terus membesar hingga membentuk sebuah daerah hingga ramai didatangi para pedagang. Daerah Bukittinggi akhirnya menjadi daerah penting. Maka ketika Perang Padri (1803-1837) meletus, Bukittinggi termasuk medan pertempuran. Tentara Belanda yang unggul secara militer akhirnya berhasil menduduki Bukittinggi dan mengusir kaum Padri yang menjadi musuhnya.
Kapten Johann Heinrich Carl Bauer (1789-1836) lalu mendirikan benteng di sana. Koran Sumatra Bode tanggal 24 November 1925 menyebut, Kapten Bauer mula-mula membangun sebuah benteng, bernama Sterrenschans, di sebuah bukit tepi timur Karbouwengat. Di Sungai Landir, sisi barat Karbouwengat, Kapten Bauer mengalahkan salah satu kelompok tempur pasukan Padri.
Kapten Bauer bertugas di Sumatra sedari 1823 hingga 1826 dan dari 1831 hingga 1836 sebagai perwira KNIL. Ia pernah menjabat sebagai kepala Opsir Militer Daerah Agam. Dari penugasan pertamanya (1823-1826), dia mendapatkan bintang Ridder Militaire Willemsorde kelas empat karena dianggap berjasa.
Dalam tugas keduanya, dia sudah berpangkat letnan kolonel. Pada saat itulah dia kembali bertempur dan mengalahkan kaum Padri pada 1837. Pemimpin terpenting Padri, Tuanku Imam Bonjol, bahkan berhasil ditangkap lalu dibuang ke Manado.
Bukittinggi pun benar-benar dikuasai Belanda sejak itu. Setelah itu, Belanda mulai membangun kota. Mereka namai kotanya dengan nama yang berbau Belanda, yakni Fort de Kock. Ada yang menyebut nama De Kock untuk kota itu diambil dari nama komandan militer yang menangkap Pangeran Diponegoro, Jenderal Hendrik Merkus de Kock (1779-1845).
Sementara itu, buku Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal Era Otonomi Daerah menyebut nama De Kock berasal dari Kapten Willem de Kock yang gugur dalam Perang Padri. Terlepas dari perbedaan yang ada, yang pasti Fort de Kock menjadi nama Bukittinggi pada zaman Hindia Belanda.
“Pada tahun 1826, Kapten Bauer mendirikan benteng di Bukittinggi dan diberi nama ‘Fort de Kock’. Ia adalah Kepala Opsir Militer Belanda di daerah dataran tinggi Agam. Benteng itu didirikan di atas bukit yang paling tinggi, yaitu Bukit Jirek (941 m) dan terletak sekitar 800 m sebelah barat Pakan Kurai. Sejak itu Bukittinggi secara resmi dinamakan ‘Fort de Kock’ oleh pemerintah Belanda. Meskipun demikian, masyarakat Minangkabau tetap menamakannya Bukittinggi,” tulis Zikri Fadila dalam Penerbitan Minangkabau Masa Kolonial: Sejarah Penerbitan Buku di Fort de Kock (Bukittinggi), 1901-1942.
Setelah Bukittinggi menjadi kota, Belanda mendirikan sekolah di sana. Yang terkenal adalah Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar elite tujuh tahun yang menjadi tempat Bung Hatta bersekolah. Lalu, ada sekolah setingkat SMP yang disebut Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang salah satu alumnusnya kelak jadi jenderal TNI, Kanido Rachman Masjhur (1919-1985). Juga yang sebuah sekolah guru di Bukittingi yang disebut Kweekschool, belakangan menjadi SMAN 2 Bukittinggi. Salah satu founding fathers yang jadi Pahlawan Nasional, yakni Tan Malaka, dan Jenderal TNI bernama Abdul Haris Nasution pernah bersekolah di Kweekschool itu.
Sekolah-sekolah itu bermutu tinggi di zaman Hindia Belanda. Ketika perguruan tinggi hanya ada di Batavia semasa Hindia Belanda, Fort de Kock atau Bukittinggi bisa dibilang sebagai Kota Pelajar.*
Comentários