- M.F. Mukhti
- 23 Feb 2013
- 2 menit membaca
MYRRL McBride Sr dan banyak serdadu lain haus, lapar, dan lelah siang itu. Namun mereka harus terus berjalan sesuai perintah para serdadu Jepang yang menawan mereka. Lalu, “Orang-orang mulai terhuyung dan jatuh. Tak lama kemudian mereka ditembak atau ditusuk bayonet,” kenang McBride, yang selamat, dalam memoarnya Beyond the March of Death: Memoir of a Soldier′s Journey from Bataan to Nagasaki.
Sejak Jenderal Edward P King, komandan pasukan AS-Filipina di Semenanjung Bataan, menyerah kepada Jepang di bawah Jenderal Masaharu Homma pada 9 April 1942, sekira 50 ribu serdadu AS dan Filipina jadi tawanan Jepang. Keesokan harinya, Jepang memerintahkan mereka, yang sudah dibagi dalam beberapa kelompok, berjalan kaki menuju kota Tarlac, provinsi Tarlac, tempat Kamp O’Donnel berada –dikenal dengan istilah “Pawai Kematian Bataan” (Bataan Death March). Sebagian rombongan berjalan kaki ke San Fernando, provinsi Pamapanga.
Di perjalanan, Jepang tak memberi logistik. Para tawanan hanya diizinkan minum air di bekas kubangan kerbau. Yang tak kuat, sakit, atau mencoba melarikan diri, Jepang menghukum dengan tusukan bayonet, tebas leher, atau tembakan.
“Aku melihat Jepang menghujamkan bayonet kepada tawanan Amerika dan Filipina yang sedang terserang malaria namun tetap berusaha berdiri dalam barisan,” kenang tawanan bernama Letkol William E Dyess dalam memoarnya, Bataan Death March: A Survivor’s Account.
Di hari-hari lain, Dyess melihat seorang tawanan berpangkat kolonel dicambuki hingga wajahnya tak bisa dikenali. Atau seorang kapten yang dipenggal kepalanya tanpa tahu apa kesalahannya.
Sesampainya di Kamp O’Donnel, yang sebelumnya merupakan pangkalan militer AS, jumlah tawanan berkurang 7.000-10.000 orang. Mereka menghadapi kekejaman yang tak kalah mengerikan. Angka kematian mencapai 400 orang per hari. Setelah komandan kamp diganti, Jepang memindahkan tawanan ke kamp-kamp lain; tawanan asal militer AS dipindah ke Kamp Cabanatuan, sebagian tawanan asal Filipina dibebaskan bersyarat. Ketika ditutup pada awal 1943, setidaknya 26 ribu tawanan tewas di Kamp O’Donnell.
Kendati kondisinya sedikit lebih baik, para tawanan di Kamp Cabanatuan dan lainnya tetap melanjutkan kehidupan berat. Ketika posisinya melemah dalam perang, Jepang mengevakuasi mereka ke negerinya atau ke Manchuria. Di sana mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik atau tambang. Pasukan Sekutu akhirnya menyelamatkan mereka begitu perang usai. Jumlah yang hidup tak lebih dari sepertiganya.
Pengadilan Tokyo menghukum tentara Jepang yang terbukti bersalah. Jenderal Masaharu Homma, misalnya, dieksekusi oleh regu tembak di luar Manila pada 3 April 1946.
留言