top of page
Kultur

Fiksi Menggugat Fakta Resmi

Tragedi berdarah 30 September 1965 telah melahirkan banyak karya sastra. Fiksi yang berusaha menggugat fakta resmi yang monoversi.

Oleh :
13 September 2012
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diskusi bertajuk “G30S dalam Sastra Indonesia” di Salihara

  • Aryono
  • 14 Sep 2012
  • 3 menit membaca

Foto: Aryono


DALAM diskusi bertajuk “G30S dalam Sastra Indonesia” di Salihara, Jakarta Selatan, 12 September 2012,  kritikus sastra Wicaksono Adi membahas novel-novel berlatar peristiwa tragedi 30 September 1965. Sedangkan sastrawan Eka Kurniawan khusus membedah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang telah diadaptasi ke layar lebar berjudul Sang Penari (2011).


Wicaksono memulai dengan novel Kalathida (2007) karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam novel tersebut dijumpai deskripsi yang didukung oleh kolase kliping berita, kebanyakan dari suratkabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha perihal “fakta-fakta” peristiwa G30S. Kolase tersebut adalah sumber rujukan rezim Orde Baru untuk membuat sejarah resmi yang monoversi mengenai peristiwa G30S.


“Dalam novel ini ‘fakta-fakta’ itu digunakan sebagai penanda waktu berlangsungnya cerita sekaligus untuk dikonfrontir  dengan ‘fakta-fakta lain’, sehingga kemudian tampak bahwa ‘fakta-fakta resmi’ itu hanya fiksi belaka,” ujar Wicaksono. Bahkan, novel ini dengan jantan menegaskan bahwa “fakta-fakta” resmi itu hanya kebohongan belaka: “Berapa lama kami semua mendapatkan pelajaran sejarah yang ternyata hanya bisa dibaca sebagai pelajaran cara berbohong?”


Pada akhir dekade 1960-an, muncul beberapa cerita pendek mengenai peristiwa 1965 di majalah Horison dan Sastra, antara lain ditulis oleh Satyagraha Hoerip, Gerson Poyk, Usamah, Umar Kayam, Martin Aleida, Ki Panjikusmin, dan lain-lain. Sementara pada dekade 1970-an nyaris tak ada publikasi (ilmiah dan sastra) mengenai topik ini. Baru pada dasawarsa 1980-an muncul prosa seperti trilogi Ronggeng Dukuh Paruk  (Ahmad Tohari), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Mencoba Tidak Menyerah –semula judulnya Aku Bukan Komunis, peraih hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1977 (Yudhistira Ardi Nugraha), Selat Bali dan Tembang Jalak Bali (Putu Oka Sukanta), Anak Tanahair (Ajip Rosidi), dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Pada dasawarsa 1990-an, muncul banyak memoar dari mantan tahanan politik seperti Carmel Budiarjo, Omar Dhani, Kolonel Abdul Latief, Oei Tjoe Tat, dan lain-lain.


Setelah tahun 2000 semakin semarak novel, cerita pendek, memoar, dan kajian ilmiah mengenai peristiwa 1965.  Novel teranyar yang memberi sudut pandang baru dalam tema G30S adalah Blues Merbabu dan 65 karya Gitanyali. Kedua novel ini, dalam penilaian Wicaksono, memiliki proses sublimasi, “peristiwa penuh trauma tahun 1965 dibongkar, dikeluarkan dari beban sejarah kelamnya. Dalam kedua novel tersebut, si tokoh tidak larut dengan dosa warisannya melainkan turut larut dalam budaya modern nan konsumtif.”


Beberapa novel yang muncul pada 1980-an, banyak mengetengahkan tokoh cerita korban “tak berdosa”. Yaitu orang-orang yang tidak tahu-menahu mengenai komunisme dan PKI. Ini berbeda dengan novel yang tokoh ceritanya “para penyeberang”, yaitu yang menyeberang dari dunia priyayi-feodal menuju dunia luas yang dihuni makhluk-makhluk revolusioner, seperti cerpen Bawuk dan novel Para Priyayai karya Umar Kayam, Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleinda, dan tokoh-tokoh dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun tokoh cerita korban "tak berdosa" itu orang-orang biasa atau rakyat kecil yang lugu dan polos. "Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah salah satu contoh terbaik jenis prosa semacam ini," tandas Wicaksono.


Di situ, kita menjumpai gambaran yang pelik mengenai hubungan antara tradisi ronggeng dalam kehidupan rakyat di sebuah kampung miskin dengan pergumulan politik di tingkat paling bawah. "Tokoh Srintil yang mempersembahkan dirinya pada dunia ronggeng tergiling dalam khaos politik yang datang seperti kutukan, terempas dalam kekerasan seksual kaum lelaki ‘pembelinya’ sebagai personifikasi kuasa dalam bentuk yang paling banal,” tegas Wicaksono. “Srintil tidak sanggup bertahan dan akhirnya menjadi gila.”


Menurut Eka, semua kegetiran yang dialami Srintil merupakan bagian dari garis hidup yang harus dilaluinya. Ia harus pasrah dan nrimo. “Sikap orang-orang Dukuh Paruk barangkali cermin sikap mayoritas orang, baik didorong ketakutan ataupun tidak. Dengan cara pandang seperti itu, pembinasaan manusia atas manusia lain bisa terjadi dengan cepat, dan mereka menerimanya seolah itu kersaning zaman. Mereka hanya menjalani pakem hidup, memerankan peran yang sudah ditimpakan kepada mereka sebagai nasib,” ujar Eka.

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page