- Petrik Matanasi
- 22 jam yang lalu
- 3 menit membaca
SEBELUM banyak orang Jawa mendatanginya, daerah ini sudah bernama Gedong Tataan. Sejak 1905, nama Gedong Tataan mulai disebut-sebut di koran-koran Hindia Belanda karena adanya kolonisatie (kolonisasi) atau kini disebut transmigrasi, dengan para pelakunya disebut kolonis.
Setelah Trias Politik mulai dianut, pemerintah Hindia Belanda terpikir untuk membangun “koloni” Jawa di Lampung. Transmigrasi sendiri bagian dari Politik Etis yang –penerapannya bertolak dari Trias Politik– dijalankan pemerintah kolonial. Jawa sudah terlalu penuh dengan perkebunan, industri, dan ladang sehingga persawahan untuk rakyat harus dicari lagi.
Persiapan pembukaan “koloni” dilakukan sebelum pendatang dari Jawa tiba. Pada 1904, Gedong Tataan dipilih sebagai daerah sasaran. Soerabaijasch Handelsblad tanggal 14 Mei 1907 menulis, sejak 12 Mei 1905 dua mantri dari Jawatan Pengairan dan ahli ukur dikirim ke sana untuk memeriksa. Mereka memetakan daerah yang hendak dijadikan ladang dan permukiman. Setelah keluar kajian yang dilakukan HG Heijting, mantan asisten residen Sukabumi, pemerintah mengeluarkan Goverment Besluit 19 Oktober 1905 nomor 46.
Aturan pemerintah kolonial itu menjadi dasar didatangkannya orang-orang dari Jawa setelah itu. Mereka akan ditempatkan di daerah Paal 17 dan Paal 27 dari arah Telukbetung.
Jumlah petani yang didatangkan antara 155 hingga 200 orang. Dengan biaya pemerintah kolonial, upaya pemindahan dilakukan sejak April 1905 lalu pada November 1905 mereka didatangkan. Tidak sekaligus, namun secara bergelombang dengan kelompok pionir di awal. Algemen Handelsblad tanggal 8 Desember 1906 menyebut mereka berasal dari daerah Kedu sebagai percobaan. Gedong Tataan adalah tujuan mereka.
Sementara, warga Bagelen dan Pariangan agak diragukan untuk bisa dipindahkan karena masalah biaya. Koran De Sumatra Post tanggal 2 Januari 1919 menyebut, awalnya cukup sulit membujuk keluarga dari Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, untuk ikut program tersebut.
Rencana yang beredar di tahun 1907, sebut Soerabaijasch Handelsblad tanggal 14 Mei 1907, program transmigrasi itu akan membangun daerah antara Teluk Betung dan Teluk Semangka. Pemerintah berencana hendak menyiapkan 12.000 bangunan, yang diperuntukkan bagi ribuan keluarga terkait proyek tersebut. Jadi, gelombang pertama saja berisi 200-an petani asal Jawa ditambah keluarga yang mengikuti mereka. Pejabat Belanda yang mengawasi daerah tersebut berkedudukan di Telukbetung, yakni A. Coomans.
Gelombang pertama itu kemudian disusul gelombang-gelombang berikutnya. Setelah 14 tahun berjalan, pemerintah menganggap proyek transmigrasinya itu sukses. De Sumatra Post tanggal 2 Januari 1919 memberitakan bahwa program itu “memunculkan harapan untuk berhasil.” Pada 1917 telah ada sekitar 50 keluarga Jawa di Gedong Tataan yang pindah secara sukarela.
Di sana, para petani Jawa itu membuka hutan untuk ladang atau bahkan sawah. Lantaran irigasi untuk persawahan telah dipersiapkan pemerintah sejak awal, dalam waktu puluhan tahun pun sawah-sawah banyak terlihat di Gedong Tataan dan sekitarnya.
Sebagaimana dikutip Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 9 Maret 1936, Inspektur Pertanian Dr. H. Loos menyebut dari 380.000 jiwa penduduk di Lampung, 100.000 di antaranya pendatang dari Jawa karena program “kolonisasi” itu. Jadi, di tahun 1936 itu lebih dari seperempat penduduk Lampung adalah orang Jawa.
Selain di daerah yang kini menjadi provinsi Lampung, daerah yang kini menjadi Provinsi Sumatra Selatan dan Bengkulu juga diujicoba menjadi daerah “kolonisasi” alias transmigrasi. Namun, Lampung tetap yang utama dan Gedong Tataan yang jadi “bintangnya” karena kerap menjadi sorotan.
Pada akhirnya, “kolonisasi” alias transmigrasi melahirkan desa-desa baru di Lampung setelah abad ke-20. Menurut Kian Amboro dkk. dalam Metro Tempo Dulu, Sejarah Metro era Kolonisasi 1935-1942, desa pertama yang lahir karena “kolonisasi” itu adalah Bagelen. Namanya sama dengan nama kecamatan di Purworejo, yang juga menjadi daerah asal transmigran. Sebuah museum transmigrasi kemudian berdiri di sana. Selain Bagelen, ada pula desa bernama Wiyono.
Gedong Tataan sekarang adalah sebuah kecamatan penting, sebab sebagai pusat pemerintahan di Kabupaten Pesawaran. Di barat Gedong Tataan, terdapat kabupaten baru yang lahir karena “kolonisasi” juga, yakni Kabupaten Pringsewu. Namanya juga berbahasa Jawa, yang artinya bambu seribu.*
Comments