- Randy Wirayudha
- 22 Apr
- 6 menit membaca
MEMPERINGATI Hari Bumi Sedunia yang ke-55 hari ini, Selasa (22/4/2025), Earth Day Network sebagai organisasi pelopor gerakan dan perayaannya mengampanyekan tema “Our Power, Our Planet”. Dalam laman resminya, organisasi mengajak masyarakat sekolong langit untuk aware terhadap isu-isu lingkungan dan turut mengadvokasi penggunaan energi terbarukan.
Di tingkat nasional, beberapa pihak di sejumlah wilayah turut memperingatinya dengan gerakan menanam pohon. Di antaranya adalah kolaborasi tim akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat dan University of Montreal di Taman Biodiversitas Hutan Hujan Tropis Lembah Bukit Manjai, Banjar, Kalimantan Selatan. Mengutip Antara, Senin (21/4/2025), aksi nyata itu dilakukan pada Minggu (20/4/2025) dengan menanam 100 bibit pohon ulin. Tumbuhan langka itu punya peran penting dalam penyerapan karbon dioksida (CO2).
Hal serupa juga dilakoni Direktorat Pesantren Kementerian Agama. Seperti dilansir laman resminya, Kementerian Agama menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengampanyekan gerakan “Bumiku Hijau” dengan melangsungkan program “1 Mahasantri 1 Pohon”. Dengan semakin banyak gerakan menanam pohon diharapkan makin banyak penyerapan karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca besar dan turut memengaruhi krisis iklim.
Hari Bumi itu sendiri mulai diperingati sejak 22 April 1970. Gerakannya bermula dari gagasan aktivis John McConnell dalam Konferensi UNESCO (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) tahun 1969 di San Francisco, Amerika Serikat yang kemudian diteruskan senator Gaylord Nelson yang menginisiasi diskusi-diskusi publik soal isu-isu lingkungan di sejumlah kampus dan SMA berskala nasional pada 22 April 1970. Tanggal itu kemudian dijadikan permulaan peringatan Hari Bumi Sedunia. Namun tanggal itu berbarengan dengan peringatan 100 tahun kelahiran tokoh komunisme Vladimir Lenin.
“Sehingga saat itu (organisasi perempuan) Daughters of the American Revolution menganggap Hari Bumi adalah kampanye subversif; seorang anggota senat dari Georgia juga berkampanye untuk menarik perhatian bahwa faktanya Hari Bumi jatuh di hari ulang tahun Lenin; seorang presiden American Coal Association juga memperingatkan gerakan lingkungan itu bisa teradikalisasi untuk melemahkan Amerika Serikat dengan menyangkal kebutuhan mineral dan sumber energi lainnya,” tulis John McCormick dalam Reclaiming Paradise: The Global Enviromental Movement.
Ancaman Kepunahan Massal Keenam
Gerakan penanaman pohon menjadi satu langkah kecil untuk setidaknya memperlambat proses perubahan iklim yang berpotensi menjadi krisis iklim. Pasalnya, dari waktu ke waktu level oksigen (O2) di atmosfer bumi terus menurun. Padahal, butuh waktu panjang untuk menghasilkan oksigen.
Menurut bukti-bukti geologis, bumi sudah berusia sekitar 4,5 miliar tahun sementara oksigen yang diperlukan untuk hidup semua organisme mulai eksis sekitar 2,35 miliar tahun lalu. Menurut pakar geologi Universitas Stanford, Jonathan L. Payne, para peneliti baru bisa menentukan ukuran kuantitatif itu dari bukti-bukti lapisan tanah, batu, hingga beberapa mineral pada awal 2000-an.
“Jadi oksigen di permukaan bumi, alasan kita memiliki oksigen di atmosfer adalah biologi. Kebanyakan oksigen diproduksi oleh tumbuhan hijau yang biasa kita lihat dan oleh ganggang yang berfotosintesis di lautan. Pada dasarnya semua tumbuhan dan ganggang yang berfotosintesis memiliki sesuatu dalam sel-selnya yang disebut kloroplas, yakni organel yang melakukan fotosintesis dan menyerap karbon dioksida menggunakan cahaya dan kemudian memproduksi oksigen,” terang Payne dalam siniar “Endgame: How to Prevent Mass Extinction from Happening (Again)” di kanal Youtube Gita Wirjawan, 3 April 2025.
Payne melanjutkan, di antara bermacam bakteri, yang merupakan organisme paling awal di bumi, ada yang berfotosintesis namun tidak menghasilkan oksigen. Namun pada masa sekitar 2,35 miliar tahun lalu, oksigen yang eksis masih sekitar 1:100 ribu jumlahnya jika dibandingkan sekarang sehingga belum mendukung adanya kehidupan hewan-hewan purba.
“Kemungkinan masih sangat rendah (level oksigen) bagi kita untuk bisa dihirup. Jika Anda punya mesin waktu dan kembali ke masa itu, memang ada oksigen namun Anda akan mati lemas. Walau di sisi lain perkiraan ini menimbulkan perdebatan atau adu argumentasi juga jika melihat evolusi hewan dari masa 2,3 miliar tahun lalu saat kita pertamakali memiliki oksigen,” tambahnya.
Perubahan berskala masif atau Peristiwa Oksidasi Besar baru terjadi pada masa Neoprotezoikum (1 miliar-541 juta tahun lalu). Level oksigen saat itu tercatat sudah 1:5 dari saat ini. Lalu pada masa Paleozoikum (420 juta tahun lalu), dengan kadar oksigen di atmosfer sudah hampir serupa dengan sekarang. Atmosfer yang kian kaya oksigen melepaskan sulfur dan zat besi dari bebatuan melalui perubahan cuaca dan elemen-elemen tersebut memungkinkan adanya spesies-spesies baru yang metabolismenya memerlukan unsur-unsur ini sebagai oksida atau senyawa kimianya.
“Sederhananya jika Anda punya logam besi, itu akan berkarat jika terkena air karena akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan oksida besi dan itulah yang disebut karat. Selama 2,5 miliar tahun pertama tidak ada karat di bumi. Kemudian perubahan terjadi. Anda mendapatkan mineral oksida besi dari tanah,” lanjut Payne.
Kehidupan akhirnya tercipta berikut evolusi beraneka ragam fauna dan manusia purba di dalamnya hingga eksisnya Homo sapiens (manusia modern) seperti sekarang. Namun, kemudian banyak peristiwa yang membuat keanekaragaman hayati di bumi dari waktu ke waktu mengalami kepunahan massal. Di antaranya Peristiwa “Big Five” Kepunahan Massal dalam perspektif geologi, yakni pada periode Ordovisium Akhir (sekitar 445 juta tahun lalu), Devon Akhir (372 tahun lalu), Permian-Trias (252 juta tahun lalu), Trias-Jura (201,4 juta tahun lalu), dan Kapur-Paleogen (66 juta tahun lalu).
Menurut D.A. Harper dkk. dalam artikel “End Ordovician extinctions: A coincidence of causes” di Jurnal Gondwana Research terbitan Mei 2014, kepunahan massal periode Ordovisium Akhir disebabkan faktor-faktor pemanasan global yang kemudian menyebabkan pergeseran gletser dan pendinginan suhu bumi. Sekira 85 persen dari semua spesies makhluk hidup musnah dibuatnya. lalu, kepunahan massal periode Devon Akhir disebabkan kombinasi faktor pendinginan global, anoksia di lautan, serta aktivitas vulkanik. Sekira 70 persen spesies di bumi musnah dibuatnya.
Adapun kepunahan massal periode Permian-Trias disebabkan oleh aktivitas vulkanik masif di Perangkap Siberia. Ini memusnahkan sekitar 81 persen spesies laut dan 70 persen spesies di daratan. Sedangkan kepunahan massal periode Trias-Jura yang memusnahkan sekitar 75 persen dari semua spesies juga diakibatkan oleh masifnya aktivitas letusan gunun berapi di Central Atlantic Magmatic Province (kini Samudera Atlantik Tengah, barat laut Afrika, timur laut Eropa, dan sebelah tenggara Amerika Utara). Sama halnya dengan kepunahan massal Kapur-Paleogen yang banyak memusnahkan spesies dinosaurus, di mana 75 persen keanekaragaman hayati punah. Bedanya kepunahan ini merupakan dampak jatuhnya asteroid dari luar angkasa.
“Yang terakhir pada 66 juta tahun lalu di akhir Periode Kapur dan mungkin kita mengenalnya dengan kejadian kepunahan dinosaurus namun sebenarnya juga berefek besar pada sistem (biodiversitas) laut. Walau dalam menentukan (kepunahan) mana yang paling besar, tergantung bagaimana Anda mengukurnya, entah dari ukuran besaran persen spesies yang punah, dari bagaimana perbandingan perbedaan ekosistem sebelum dan setelahnya, atau dari ukuran seberapa lama pemulihan yang dibutuhkan,” jelas Payne.
Seiring waktu, sisa-sisa keanekaragaman hayati yang punah itu menjadi sumber energi fosil setelah terkubur dengan tekanan lapisan tanah dan proses pemanasan, mulai dari batubara, minyak bumi, hingga gas bumi. Energi fosil itu digunakan lalu manusia sejak ribuan tahun lalu, mulai dari Peradaban China hingga Peradaban Romawi. Tapi semakin masif penggunaannya sejak Revolusi Industri telah memengaruhi biodiversitas dan memicu perubahan iklim. Pada 2024 saja, menurut catatan Badan Antariksa Amerika NASA dan World Meteorological Organization, emisi gas karbon sudah begitu tinggi hingga membuat suhu bumi 1 derajat celcius lebih hangat sejak akhir abad ke-19.
“Catatan-catatan geologis sudah mengungkapkan banyak hal. Di antaranya bahwa kepunahan massal pernah terjadi dan perubahan iklim juga terjadi. Tidak ada alasan bagi kita bersantai dan berpikir bahwa ini takkan terjadi lagi. Ketika kita melihat kejadian-kejadian kepunahan massal ini, kepulihan membutuhkan waktu ratusan ribu tahun, kadang jutaan tahun. Seperti di Periode Permian, pemulihan biodiversitasnya lebih lama, membutuhkan jutaan tahun,” imbuhnya.
Keprihatinan pada kondisi lingkungan itu lalu menggerakkan sejumlah negara untuk bertindak mengubah mitigasi, adaptasi, dan mendanai usaha-usaha solusi krisis iklim. Hasil terpentingnya, Paris Accord Paris pada 2016. Sekitar 196 negara menyetujuinya, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Namun, itu dianggap belum cukup. Menurut pakar primata dan konservasi fauna Inggris, Dr. Jane Goodall, kepunahan massal keenam masih berpotensi terjadi lantaran beberapa pertandanya sudah terjadi: kepunahan sejumlah spesies hewan dan hilangnya hutan-hutan yang jadi paru-paru dunia.
“Kita sudah berada di tengah-tengah kepunahan besar keenam. Lebih banyak yang bisa kita lakukan untuk merestorasi alam dan melindungi hutan-hutan yang masih ada, akan lebih baik. Pepohonan butuh waktu untuk mencapai ukuran tertentu sebelum bisa bekerja. Upaya-upaya penanaman pohon tentu sangat membantu untuk menyerap karbon dioksida. Kita masih punya waktu untuk mulai memperlambat perubahan iklim dan hilangnya biodiversitas,” ujar Dr. Goodall kepada BBC, 17 November 2024.
Namun, masih banyak hambatan yang mesti dilalui. Salah satunya, pada 20 Januari 2025 Presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik Amerika dari Paris Accord. Hal itu dikhawatirkan akan “menularkan” negara-negara lain. Trump bahkan menyatakan, perubahan iklim yang terjadi adalah hoaks belaka.
“Kita harus mengakui masalah emisi CO2 dan mengatasinya jika Anda peduli pada anak, cucu, dan para keturunan kuta. Saya masih optimis meski ada beberapa pihak yang berupaya melakukan upaya-upaya penyangkalan. Pada akhirnya proses-proses alamiah akan mengambilalih iklim lagi walau tidak akan terjadi dalam masa hidup kita. Iklim akan pulih walau prosesnya tidak akan cukup cepat sehingga kita akan mudah membayangkan para keturunan kita akan tinggal di planet yang berbeda dari yang kita tinggali sekarang,” tukas Payne.*
Komentar