- Randy Wirayudha
- 1 hari yang lalu
- 5 menit membaca
DEMONSTRASI besar-besaran mahasiswa dan berbagai elemen masyakarakat sipil sejak 4 Mei 1998 berikut bentrokan dengan aparat yang berujung kerusuhan, menjalar ke kota-kota besar tanah air, termasuk Yogyakarta. Bedanya, di Yogyakarta tak menimbulkan ekses kekerasan anti-Tionghoa seperti yang juga terjadi di Jakarta, Makassar, Medan, atau Solo.
Etnis Tionghoa seketika jadi sasaran amuk massa hanya karena kesenjangan kehidupan ekonomi dengan kalangan bumiputera di banyak kota. Ada yang lewat penganiayaan, rudapaksa, ataupun pembunuhan.
Di Yogyakarta, hal itu tak terjadi kendati ada beleid diskriminatif terhadap mereka, yakni Instruksi Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) No. K898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi. Menurut Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia, etnis Tionghoa tak mengalami kekerasan karena mereka sudah cukup lama berbaur dengan kalangan bumiputera sehingga mereka bisa beradaptasi dan mempertahankan gaya hidup sederhana dan jauh dari kehidupan yang eksklusif. Di sisi lain, Walikota Yogyakarta R. Widagdo menghimbau agar masyarakat selalu waspada dan menahan diri jika terdapat provokasi-provokasi dari pihak luar agar apa yang terjadi di Jakarta dan Solo tidak menular ke Yogyakarta.
“Di samping itu, peran Sultan Yogyakarta dianggap penting dalam mencegah terjadinya kerusuhan anti-Tionghoa di kota ini pada tahun 1998,” tulis Samsu.
Sultan Hamengku Buwono X saat itu “menahan diri” terhadap gejolak politik dan sosial yang ada. Sebab, penguasa Keraton Ngayogyahadiningrat itu masih berstatus ketua Golkar Provinsi DIY yang merupakan partai penguasa di rezim Orde Baru. Gubernur DIY sendiri kala itu dijabat Paku Alam VIII.
Kendati begitu, bentrokan massa dengan aparat tetap tak terhindarkan. Seperti yang terjadi di Jalan Gejayan hingga DPRD Yogyakarta di Jalan Malioboro mulai 5 Mei 1998. Belasan ribu massa mahasiswa bergerak dari kampus Universitas Sanata Dharma yang menggelar mimbar bebas kemudian berlanjut dengan aksi long march. Aksi itu sempat tertahan pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman hingga terjadi bentrokan dan aksi bakar-bakaran seiring senja menjelang.
Esoknya, aksi unjuk rasa berlanjut dengan massa yang lebih besar. Selain dari massa mahasiswa Universitas Sanata Dharma, massa mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (IKIP Yogyakarta, kini Universitas Negeri Yogyakarta/UNY), dan Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) turut bergabung. Bentrokan dan saling kejar terjadi dengan aparat kepolisian yang berujung penangkapan sekitar 30 mahasiswa.
Pada 8 Mei 1998, aparat sudah menjaga ketat sejak di gerbang kampus UGM. Aksi mahasiswa yang digelar pun memantik perkelahian dengan aparat. Bahkan terjadi saling serang antara aparat dengan mahasiswa. Lemparan-lemparan batu dan bom molotov mahasiswa dihadapi water cannon dan gas air mata aparat. Bentrokan besar itu tak hanya merusak banyak fasilitas publik di Jalan Gejayan tapi juga menimbulkan korban tewas seorang pengunjuk rasa, Moses Gatotkaca, alumnus Sekolah Tinggi Akprind. Seiring membesarnya aksi di Jakarta, membesar pula aksi di Yogyakarta pada 14 Mei yang juga berakhir kerusuhan.
“Sebelumnya Sultan lebih banyak diam, tidak pernah secara terbuka mendukung gerakan Reformasi yang disuarakan mahasiswa, masyarakat sipil, dan media yang mendesak Sultan supaya bergabung. Barulah pada pertengahan Mei 1998 Sultan mulai berubah. Pada 14 Mei Sultan HB X dan Ratu GKR Hemas mengunjungi Rumah Sakit Panti Rapih dan Bethesda, tempat korban penembakan yang dilakukan aparat sehari sebelumnya dirawat. Sebagai seorang pengusaha pemilik properti di beberapa lokasi di kota, Sultan sangat berkepentingan dengan keamanan di dalam kota,” imbuh Samsu.
Pisowanan Ageng dan Deklarasi Ciganjur
Sikap Keraton yang –masih dihormati masyarakat DIY– paling ditunggu-tunggu massa gerakan Reformasi akhirnya datang juga. Sultan HB X mulai tergerak untuk turut serta turun ke jalan. Setidaknya dua kali Sultan HB X datang ke lokasi aksi di Jalan Solo sekaligus mengingatkan massa agar menjalankan aksi secara damai dan menghindari provokasi-provokasi anarkis.
“Sultan Hamengku Buwono X turun ke jalan, berkeliling kota Yogyakarta menggunakan kendaraan jip terbuka. Sultan mengundang rakyat Yogyakarta untuk berbondong-bondong ke Alun-Alun Utara depan keraton pada 20 Mei 1998. Sultan menyatakan terbuka menerima Pisowanan Agung kepada segenap rakyat Yogya,” ungkap R. Toto Sugiharto dalam Biografi Politik Habibie: Dari Malari sampai Reformasi.
Pisowanan merupakan tradisi Jawa yang tak hanya eksis di Yogyakarta tapi juga di kerajaan-kerajaan di Jawa sejak masa silam. Menurut Arwan Tuti Artha dalam Langkah Raja Jawa Menuju Istana: Laku Spiritual Sultan, pisowanan adalah tradisi di mana para bawahan raja sowan atau datang menghadap ke keraton untuk melaporkan peristiwa-peristiwa penting yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Di masa modern, tradisi pisowanan berubah. Tidak lagi para bawahan raja yang datang mengadu kepada sultan tapi juga kalangan rakyat. Maka Sultan HB X menggelar Pisowanan Ageng –yang juga turut dihadiri Paku Alam VIII–di Alun-Alun Utara Keraton pada 20 Mei 1998 dalam rangka meredam situasi, mendengarkan aspirasi rakyat, dan turut menyuarakan orasinya.
Alun-Alun Utara Keraton pun sesak dengan lautan manusia. Sekitar satu juta orang memenuhi lapangan berumput, trotoar di sekeliling alun-alun, dan jalan-jalan di sekitarnya. Setelah menikmati hiburan rakyat, massa pun bergemuruh saat menyambut kehadiran Sultan HB X yang menyampaikan orasinya.
“Saudara-saudaraku, rakyat Yogyakarta yang patriotik. Jika merefleksikan sejarah perjuangan bangsa, makna yang pantas kita petik sekarang ini adalah: kembali pada semangat kejuangan Yogyakarta yang dijiwai asa kerakyatan dan laku prasaja. Agar demikian, generasi muda calon pemimpin bangsa tetap setia pada semangat kerakyatan dan kesederhanaan itu, yang memang, merupakan akar budaya yang sebenar-benarnya,” ujar Sultan HB X memulai orasinya, dikutip Awan.
Sultan juga mengungkit soal moral para pejabat yang anti-kritik terhadap aspirasi rakyat. Jika rakyat menyampaikan keresahannya, ujarnya, tidaklah patut dibalas dengan tindak kekerasan aparat sebagai alat penguasa sehingga menimbulkan krisis moral yang memicu krisis kepercayaan di tengah-tengah masyarakat.
“Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat, dan juga dengan Maklumat 5 September 1945 (oleh Sultan HB IX), rakyat Yogyakarta mendukung Proklamasi dan berpihak kepada Republik. Maka, adalah panggilan sejarah jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung gerakan reformasi nasional bersama kekuatan reformasi yang lain,” lanjut Sultan HB X.
Sultan pun menutup orasinya dengan menyampaikan Maklumat Sri Sultan Hamengkubuwana X dan KGPAA Paku Alam VIII. Empat poin dalam maklumat itu meliputi ajakan agar segenap komponen masyarakat Yogyakarta memperkuat gerakan Reformasi yang memihak rakyat, ajakan kepada aparat ABRI (kini TNI dan Polri) untuk melindungi rakyat yang hendak mewujudkan Reformasi, ajakan semua lapisan masyarakat Yogyakarta untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta menghindari tindakan anarkis, dan imbauan untuk segenap rakyat mendoakan keselamatan negara dan bangsa di masa genting itu.
Sehari pasca-Pisowanan Ageng di Yogyakarta, gejolak politik mencapai klimaksnya di ibukota Jakarta yang berjarak 570 kilometer. Tepat pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru selama 32 tahun memutuskan mundur dari jabatannya. Di hari yang sama, Bacharuddin Jusuf Habibie dilantik sebagai presiden RI ke-3 sekaligus memulai lembaran era Reformasi.
Akan tetapi, kemudian Presiden Habibie pun mendapat tekanan untuk segera menggelar pemilihan umum (pemilu). Sementara, tokoh-tokoh Reformasi mulai mewacanakan konsolidasi kekuatan sebagai bargaining power kepada Presiden Habibie. Meski masih menjadi kader Golkar, Sultan HB X tetap tokoh yang disegani dan turut membaur. Statusnya sejak 3 Oktober 1998 sudah resmi menjadi gubernur DIY pasca-wafatnya Paku Alam VIII pada 11 September 1998.
Konsolidasi itu terjadi di Ciganjur, Jakarta Selatan yang diinisiasi Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Selain Sultan HB X mewakili kalangan Golkar yang dianggap “bersih”, turut hadir Amien Rais dengan basis massa Muhammadiyahnya, Megawati Soekarnoputri mewakili Partai Demokrasi Indonesia, dan tuan rumah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang di belakangnya berdiri barisan Nahdlatul Ulama (NU).
“Kebutuhan akan kerjasama dan konsolidasi kekuatan oposisi itu diperlukan dalam rangka memperkuat tekanan publik dan posisi tawar dalam berhadapan dengan Presiden Habibie yang dianggap sebagai reproduksi Orde Baru di satu pihak, dan DPR dan MPR yang seutuhnya masih produk pemilu terakhir rezim Soeharto di pihak lain,” tulis Diana Fawzia dkk. dalam Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi.
Pertemuan keempat tokoh itu menghasilkan Deklarasi Ciganjur. Delapan butir deklarasi itu pada dasarnya menggelorakan penyegeraan pemilu yang jujur dan adil dengan pelaksana independen, menghapus dwifungsi ABRI, memberantas KKN, dan desakan pembubaran PAM Swakarsa dari Sidang Istimewa MPR 1998.
“Kemudian pada 1 Agustus 2000, Sultan menjadi mediator dan fasilitator pertemuan Gus Dur, Amien Rais, dan Megawati sebagai tokoh-tokoh Deklarasi Ciganjur dengan Akbar Tandjung di Keraton Yogyakarta. Dari pertemuan ini, lahirhah Kesepakatan Yogyakarta . Pada 29 Juni 2001, Sultan menggalang Deklarasi Yogyakarta bersama Gubernur se-Jawa, Bali, dan Lampung yang isinya kesepakatan bersama agar rakyat di Jawa, Bali, dan Lampung tidak ikut terseret pertikaian politik,” tandas Arwan.*
Comments