- Randy Wirayudha
- 6 Feb
- 6 menit membaca
Diperbarui: 15 Apr
SEBUAH beleid yang diskriminatif dan rasialis pada akhir 1959 memicu gejolak di kalangan masyarakat Tionghoa. Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 (PP 10/1959) tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing Diluar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan yang ditetapkan pada masa awal Demokrasi Terpimpin, 16 November 1959.
Dampak PP 10/1959 begitu terasa, khususnya bagi orang-orang Tionghoa yang belum memegang surat kewarganegaraan. Terbitnya PP tersebut mendorong lebih dari 100 ribu warga Tionghoa eksodus dari Indonesia. Mereka yang menolak pergi dan berstatus stateless harus siap menghadapi tekanan dan tindakan-tindakan represif aparat keamanan. Seperti yang terjadi pada dua perempuan Tionghoa di Cimahi medio Juli 197. Nyawa keduanya tuntas di ujung senapan personel Divisi Siliwangi hanya karena menolak meninggalkan rumahnya.
Gejolak tersebut tentu tak luput dari amatan Pramoedya Ananta Toer yang masih kuli tinta di suratkabar Bintang Timur. Kritik-kritiknya pun menyasar praktik diskriminatif tsebut.
“Pramoedya Ananta Toer mengkritik dan mengecam PP-10 yang dianggap rasialis. Ia menulis serangkaian artikel secara bersambung di Bintang Minggu (edisi minggu koran Bintang Timur),” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Pram tak hanya menuliskan kritik lewat artikel-artikelnya. Mengutip buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa: Pramoedya Ananta Toer, situasi itu juga mendorongnya membuat surat-menyurat dengan sejumlah penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia. Penggabungan artikel-artikel berisi kritik dan surat-menyuratnya itu lantas menghasilkan buku Hoakiau di Indonesia yang diterbitkan Bintang Press pada 1960.
Buku itu bukan karya pertama Pram yang menyinggung tentang etnis Tionghoa. Sudah sejak lama Pram menyisipkan karakter-karakter Tionghoa dalam karya-karya fiksinya, seperti dalam novel Perburuan. Novel itu ditulisknya selama dipenjara di Bukit Duri pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan baru diterbitkan Balai Pustaka pada 1950.
Novel lainnya yang juga melibatkan karakter peranakan Tionghoa beserta latar kehidupan singkatnya yakni Bukan Pasar Malam, terbitan Balai Pustaka tahun 1951. Kendati Pram menempatkan kritik terhadap etnis Tionghoa dalam karakter-karakter di novel itu, nuraninya berontak pada penguasa ketika beleid meresahkan di keluar. Terlebih Pram baru kembali dari China.

Argumentasi Berujung Penjara
PP 10/1959 bagi Pram merupakan bentuk diskriminasi sosial. Beleid itu tidak hanya memaksa orang-orang Tionghoa menutup usaha mereka tapi juga dilarang tinggal di wilayah Indonesia. Bagi yang bertahan, mereka terpaksa pindah dari pedalaman atau perkampungan ke perkotaan yang berujung pada terbatasnya ruang gerak mereka. Dalam kondisi yang penuh aroma rasisme itulah, Pram menulis Hoakiau di Indonesia dari sembilan artikelnya di Bintang Minggu.
David Reeve dalam Tetap Jadi Onghokham menulis, bahan-bahan argumentasi sejarah dan kritik dalam artikel-artikel itu dikumpulkan selama 12 hari untuk diterbitkan dalam Hoakiau di Indonesia. Pram menggunakan istilah “Hoakiau” untuk orang Tionghoa Indonesia dengan alasan bahwa terminologi baru diperlukan untuk keluar dari pemikiran tradisional. Kata Hoakiau sendiri berasal dari lema “Hua”, yang merupakan etnis terbesar di China, dan “kiau/qiao” yang artinya tinggal di luar negeri atau di negeri rantau.
“Tulisan ini diterbitkan sejak terjadinya gegeran Hoakiau di Indonesia. Ternyata kemudian bahwa tulisan-tulisan (di Bintang Minggu) tersebut telah dikutip, diterjemahkan, dan dimuat oleh harian-harian lain, tidak kurang dari 10 harian di seluruh Indonesia, baik secara kontinu ataupun tidak, sehingga mau tidak mau penyusun menarik perhatian umum,” tulis Pram di bagian “Perkenalan” dalam buku tersebut.
Dalam buku itu, Pram menguraikan gugatan dan argumentasinya terhadap etnis Tionghoa yang sudah datang, berdiam, beranak-pinak sejak sebelum republik berdiri. Sebagaimana dicatat Muhammad Muhibbuddin dalam Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara, Pram menguraikan sejarah orang Tionghoa datang ke Nusantara serta peristiwa-peristiwa dalam hubungan orang Tionghoa dengan kalangan bumiputera. Baik dalam kebudayaan, perekonomian, hingga perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang kajiannya didasarkan pada beberapa sumber sejarah seperti peristiwa Geger Pecinan (1740).
“(Orang-orang Tionghoa) bukanlah pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing,” sambung Pram dalam bukunya itu.
Pram tentu juga mengakui bahwa ada sisi-sisi negatif dari orang Tionghoa baik dulu maupun sekarang dalam konteks Indonesia. Pram menggunakan “metode” historis dengan mengkaji segala aspek masyarakat Tionghoa, bukan hanya dari surat-menyuratnya dengan sejumlah penulis Tionghoa yang ia temui kala berkunjung ke China tapi juga studi pustaka lewat buku-buku tentang sejarah Indonesia karya budayawan dan sejarawan Dr. Andries Teeuw atau Gertrudes Johannes Resink.
“Di antaranya (aspek negatif) adalah kegemaran orang Cina untuk melakukan ekspansi ke negara atau daerah lain. Perilaku orang Cina semacam ini, kata Pram, merupakan cermin dari mentalitas kolonial dan imperialis. Namun, mentalitas semacam ini ada di setiap bangsa. Karenanya, dalam pandangan Pram, aspek positif warga Cina di Indonesia masih lebih banyak bila dibandingkan sisi negatifnya,” tulis Muhibbuddin.
Namun yang utama dalam bukunya itu, Pram menegaskan kritiknya terhadap penguasa dan implementasi PP 10/1959 lewat operasi militer di Cimahi yang menimbulkan korban dan berhilir pada terganggunya hubungan Indonesia-China. Menurut Sumit Kumar Mandal dalam esai “Strangers who are not Foreign” yang terdapat dalam edisi terjemahan bahasa Inggris buku Pram, The Chinese in Indonesia, Pram menciptakan bahasa gugatan dan argumentasi sejarah yang lebih dari sekadar pembelaan sederhana terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Pram, sambungya, mengekspresikan perspektifnya bahwa sangat penting untuk memahami orang-orang Tionghoa sebagai kalangan minoritas agar mendapat gambaran yang lebih jernih tentang bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri.
“Hanya Kolonel Kosasih, panglima militer Jawa Barat (Divisi Siliwangi, red.) yang menjalankan perintah larangan presidensial (PP 10/1959) dengan mengusir paksa ratusan pedagang Tionghoa. Operasi Kolonel Kosasih ini mengganggu upaya Soekarno untuk mempertahankan hubungan diplomatik dengan China dan aksi provokatif sang kolonel membuat Kedutaan China di Jakarta mengintervensi membela mereka yang terusir,” tulis Mandal.
Meski Presiden Sukarno sempat membela sang panglima, lanjut Mandal, pemerintah akhirnya membuka opsi dwi-kewarganegaraan beberapa bulan pasca-dikeluarkannya PP 10/1959. Adapun hubungan diplomatik Indonesia-China mulai diperbaiki seiring kunjungan Menteri Luar Negeri China, Chen Yi, medio April 1961.
“Pramoedya mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya yang mendalam tentang arti modernitas di masa itu. Pramoedya menuliskan, bahwa sementara era modern membawa banyak manfaat bagi kemanusiaan, di sisi lain menjadi paradoks bahwa kemanusiaan itu sendiri berada dalam bahaya selama, ‘terdapat manusia yang tak ingin hidup sebagai manusia tetapi sebagai binatang’,” tambahnya.
Terbitnya Hoakiau di Indonesia pun menuai reaksi dari pemerintah. Buku itu tercatat jadi karya Pram pertama yang dilarang beredar di Indonesia. Pram sedang tour manca-negara ke Bombai (India), Kairo (Mesir), dan China kurun Juli-Agustus 1960 ketika mendengar Hoakiau di Indonesia dilarang pemerintah.
Maka sepulangnya ke tanah air, Pram dipanggil Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Ia diinterogasi staf Peperti Mayor Sudharmono (kelak Wakil Presiden RI ke-5 periode 1988-1993) dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta.
“Pramoedya menerima surat penahanan yang dikeluarkan (kepala staf Angkatan Darat) Jenderal A.H. Nasution, ironisnya orang yang sama pada 1958 mengapresiasi Pram lewat suratnya karena telah membantu Angkatan Darat dalam memadamkan pemberontakan di Sumatera Barat (pemberontakanPemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta, PRRI/Permesta),” lanjut Mandal.
Pram ditahan dengan dalih menjual Indonesia kepada China melalui bukunya itu. Setelah beberapa bulan mendekam di RTM Jakarta, pada Februari 1961 Pram dipindahkan ke Penjara Cipinang dengan tuduhan lain: merencakan pelarian atau membuat kerusuhan.
Kabar tentang penahanan Pram sampai ke mancanegara lewat perjuangan istrinya, Maemunah Thamrin, yang tengah hamil tua via protesnya di media-media massa. Sejalan dengannya, para aktivis Tionghoa di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) juga tak tinggal diam.
“Dalam sebuah rapat rutin pengurus harian Baperki, Thio Thiam Tjong memberitahukan Pramoedya ditahan. Kata-kata Thio Thiam Tjong seolah merupakan teguran bagi kami: ‘Masalah Hoakiau telah mengakibatkan penulisnya ditahan. Apakah kita akan diam saja? Apakah kita akan pura-pura tidak tahu? Kita ini seharusnya kan masih memiliki nurani,” kenang aktivis Baperki, Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno.
Oei Tjoe Tat pun jadi utusan Baperki untuk mengontak keluarga Pram demi memperjuangkan keadilan bagi Pram. Perjuangan itu tak sia-sia meski Pram baru dibebaskan pada akhir 1961 setelah setahun mendekam di RTM Jakarta, Penjara Cipinang, dan jadi tahanan rumah. Simpati dan perhatian Baperki lantas jadi penyambung kedekatannya dengan Pram. Baperki kemudian menawarkan Pram jadi dosen sejarah di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti) di bawah asuhan Baperki.
Jauh setelah itu, selepas Pram bebas dari Pulau Buru pada 1979, ia tetap memberi perhatian lebih pada kebudayaan Tionghoa, khususnya dalam kesastraan Melayu-Tionghoa. Dalam beberapa kesempatan, ia turut jadi tim editor atau tim penyusun dalam sejumlah karya dengan latar belakang masyarakat Tionghoa dengan lingua franca Melayu di masa kolonial, di antaranya Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982), Hikayat Siti Mariah (1987), dan Cerita dari Digul (2001).
“Dalam pengantarnya untuk Hikayat Siti Mariah (karangan Haji Moekti), Pramoedya menyebut golongan Tionghoa sebagai golongan yang penting bagi perkembangan sastra Melayu Lingua Franca. Penilaian itu disertai analisis mengenai posisi golongan tersebut dalam masyarakat Hindia Belanda yang menurut Pramoedya memungkinkan mereka untuk relatif merdeka dan leluasa dalam memproduksi teks berbahasa Melayu, dibandingkan golongan lain. Namum Pramoedya tidak menggunakan istilah ‘Melayu Tionghoa’, dan dalam tulisannya tidak terdapat usaha untuk membedakan antara teks Melayu Lingua Franca yang ditulis orang Tionghoa dengan yang ditulis pengarang lain,” tandas Katrin Bandel dalam Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas.*
Comments