- Petrik Matanasi
- 12 Mar
- 3 menit membaca
PRESIDEN Prabowo Subianto punya komentar terhadap Sentot Ali Basa Prawirodirjo, panglima andalan Pangeran Diponegoro. Menurutnya, Sentot teramat besar jasanya dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda.
“Diponegoro bersama Sentot Ali Basha menyadarkan rakyat Jawa bahwa semua orang Jawa adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan melawan penjajah,” kata Prabowo Subianto dalam Kepemimpinan Militer.
Tak bisa dipungkiri, Sentot punya jasa besar. Dia orang penting bagi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) di mana Sentot merupakan salah satu panglima andalannya.
“Selama perang itu ia telah berjuang dengan gagah berani dan sering terluka,” catat Peter Carey dalam Kuasa Ramalan.
Namun, penilaian Prabowo tentu bukan penilaian kritis-akademis. Penilaian kritis-akademis menempatkan seseorang sebagai mananusia lebih utuh, di mana orang tersebut tentu punya kekurangan ataupun kesalahan. Menurut Peter Carey, ada masa Sentot kuat dalam perlawanan tapi juga ada masa dia juga melemah. Ketika pasokan pangan pasukannya terganggu, sambung Peter, tawaran perundingan dengan Belanda pun dilakoni Sentot.
“Ketika pada akhirnya ia menyerah, hal itu terjadi berdasarkan syarat-syarat yang jelas menguntungkan. Belanda mengizinkan dia terus bersama dengan pasukan berkekuatan 500 orangnya yang dibiayai gubernur atau barisan,” tulis Peter Carey.
Barisan itu dicatat sumber Belanda sebagai Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo. De Javasche Courant tanggal 23 Agustus 1831 menyebut bahwa Barisan Alie Bassa yang terdiri dari 450 orang pada 15 Agustus 1831 naik kapal uap Van Der Capellen ke Batavia. Mereka berangkat dari Semarang.
Tahun berikutnya, Barisan Alie Bassa berada di Karawang, Mereka ditugaskan melawan orang-orang Tionghoa yang merusuh di Tanjungpura. Di antara anggota Barisan itu ada yang ditempatkan di bawah Mayor Andreas Victor Michiels (1797-1849), salah seorang veteran Perang Waterloo yang ikut mengalahkan Diponegoro.
Para prajurit Jawa anggota Barisan itu, kata Rotterdamsche Courant tanggal 6 Oktober 1832, sampai dipuji Mayor Michiels. Anggota Barisan itu telah membedakan diri mereka dengan menguntungkan kompeni Belanda. Secara personal, Michiels memuji Pangeran Soemo Negoro, Raden Tumenggung Prawirodipuro, dan Tumenggung Marto Poero.
Setelah sukses di Karawang pada 1832, Barisan itu berangkat ke Sumatra Barat untuk melawan Kaum Padri. Mereka tiba di Padang sekitar 1833.
Meski barisan itu bernaung di bawah tentara kolonial yang belakangan dikenal sebagai Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), Barisan Alie Bassa punya tata-aturan sendiri. Istilah kepangkatan misalnya, Barisan punya istilah yang bukan Barat. Jika dalam bahasa Belanda prajurit infanteri pangkat terendah disebut Fuselier, Barisan masih menggunakan istilah “Prajoerit”. Dalam Sumatra's Westkust van 1819 – 1849, Egbert Broer Kielstra menulis ada pangkat “Ngabehi”, yang lalu disetarakan dengan kopral; lalu, “Pandjie” (dibaca Panji) yang disetarakan menjadi sersan; “Tommonggong” (Tumenggung), disetarakan sebagai letnan. Jika sang tumengung sudah sepuh, dia dianggap letnan satu dan jika masih muda, disetarakan sebagai letnan dua. Raden Tomonggong lalu disejajarkan menjadi kapten. Seorang pangeran pun lalu disetarakan sebagai mayor.
Dengan sistem pangkat seperti itulah mereka menghadapi pasukan Paderi. Keadaan memburuk pada 1833. Beberapa daerah yang telah diduduki Belanda direbut lagi oleh orang-orang Padri. Bahkan, Sentot sempat dituduh sebagai biang kerok atas buruknya posisi Belanda itu.
“Oleh karena itu, Van den Bosch mengambil jalan keluar paling aman, dia dipersilakan mengaso ke Bengkulu, diberi tunjangan lebih dari cukup (juga untuk para pengikutnya), dan tetap hidup serba mewah seperti di Padang,” catat Rusli Amran dalam Cerita-cerita Lama dalam Lembaran Sejarah.
“Pengistirahatan” Sentot membuat anggota pasukannya tetap berada di Sumatra Barat. Awal 1833, Barisan Alie Bassa dibubarkan. Banyak bekas anggotanya kemudian dilebur ke dalam KNIL. Menurut Kielstra, dari bekas Barisan yang dilebur ke dalam KNIL pada pertengahan 1934 terdapat satu mayor, tiga kapten, dua letnan-satu, 20 letnan-dua, 44 sersan, 178 kopral, 375 fuselier. Selain itu, ada 16 pemain musik pemukul tambur dan peniup terompet.
Sementara, sebut Arsip Register Ridder Militaire Willemsorde 4 nomor 2719, Raden Tumenggung Prawirodipuro pada 14 Oktober 1833 dijadikan kapten infanteri dengan kontrak yang diberikan padanya berdasar persetujuan Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo. Selain dirinya, Pangeran Suryobrongto alias Soerio Bronto pun dijadikan mayor.
Para pengikut Sentot juga mendapatkan tunjungan dengan jumlah besar. Seperti ayah dan mertua Kapten Prawirodipuro.
Tanpa Sentot, beberapa bekas perwiranya di Barisan dianggap bertugas dengan baik ketika bertugas di KNIL sehingga mendapat bintang. Antara lain Kapten Prawirodipuro dan Mayor Suryobrongto, yang mendapat penghargaan tinggi Ridder Militaire Willemsorde kelas empat.
Belanda berhasil membawa pasukan Sentot yang pernah menjadi “tulang dan daging” pasukan Diponegoro itu jauh dari Jawa. Setelah di Sumatra Barat, Belanda memasukkan daging-daging bertulang itu ke dalam “kuali” besar bernama KNIL hingga Barisan Sentot itu ibarat “direndang”.*
Comentários