- Randy Wirayudha
- 29 Apr
- 5 menit membaca
GEDUNG Rikugun-shō atau Kementerian Angkatan Darat (AD) dan Kementerian Perang Jepang yang berdiri gagah di Ichigaya, Tokyo, Jepang sibuk pagi itu, 29 April 1946. Namun bukan karena kesibukan tetek-bengek perang seperti tahun-tahun sebelumnya, melainkan sibuk mengadili para penjahat perang dengan terdakwanya antara lain mantan Perdana Menteri (PM) Hideki Tojo.
Sebagaimana Pengadilan Nürnberg (20 November 1945-1 Oktober 1946) yang dihelat –di Gedung Justizpalast yang dianggap sebagai simbol Nazi– untuk menghakimi para penjahat perang Jerman, Gedung Kementerian AD dipakai untuk menggelar International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau Pengadilan Tokyo karena juga dianggap sebagai simbol agresi militer Jepang semasa perang. Bedanya, Pengadilan Tokyo berlangsung lebih lama sekira 2,5 tahun (29 April 1946-12 Desember 1948).
Pengadilan Tokyo dibentuk berdasarkan Deklarasi Postdam (26 Juli 1945) dan Konferensi Moskow (16-26 Desember 1945) oleh negara-negara Sekutu yang kemudian “berembuk” untuk menentukan siapa saja para tersangka penjahat perang Jepang yang mesti diadili dan bagaimana mengadili mereka. Para tersangka sendiri sudah ditangkapi mulai 11 September 1945 berdasarkan perintah Panglima Sekutu di Front Pasifik Jenderal Douglas MacArthur.
Pengadilan Tokyo dipimpin sebuah panel yang diisi 11 hakim. Sembilan di antaranya dari negara-negara Sekutu yang ikut menandatangani Instrumen Kapitulasi Jepang (2 September 1945) dan dua hakim dari negeri yang baru merdeka, yakni Radhabinod Pal (India) dan Kolonel Delfín Jaranilla (Filipina).
Jenderal MacArthur juga “memastikan” Kaisar Hirohito untuk dikecualikan dari daftar terdakwa. Menurut Herbert P. Bix dalam Hirohito and the Making of Modern Japan, MacArthur menjamin keberlangsungan takhta Hirohito karena masih jadi simbol bangsa Jepang dan sosoknya dibutuhkan untuk melangsungkan reformasi pascaperang.
“Karena sang kaisar sebagai ‘simbol’ bangsa (Jepang) tidak dimintai pertanggungjawaban, hal ini menghalangi pemerintah dan rakyat untuk memikirkan kembali tanggung jawab mereka. Hirohito mempertahankan citra kaisar sebagai sosok yang tidak bersalah hingga akhir hayatnya,” ungkap Bix.
Maka, segelintir mantan pejabat politik dan perwira militer yang kemudian diseret ke Pengadilan Tokyo. Total terdapat 28 terdakwa, termasuk Tojo yang berstatus tertinggi setelah kaisar di masa perang lataran menjabat sabagai kepala staf AD maupun perdana menteri merangkap menteri persenjataan dan menteri Angkatan Darat.
Tojo dan 27 terdakwa lain mulai disidangkan dengan agenda pertamanya pembacaan 55 dakwaan terpisah yang dibebankan kepada 28 terdakwa pada 29 April 1946. Panel hakim memutuskan 55 dakwaan itu berada dalam kerangka kebrutalan dan kejahatan perang Jepang sepanjang Perang Pasifik (1941-1945) maupun sebelumnya, yakni sejak Invasi Manchuria (1931-1932). Tojo terlibat sebagai kepala Kempeitai (polisi militer) dan kemudian jadi kepala staf Tentara Kwantung di Manchuria.
Gagal Bunuh Diri, Tojo Berakhir di Tiang Gantung
Walau sudah turun dari posisinya sebagai PM pada 22 Juli 1944, Jenderal Tojo tetap jadi sasaran penangkapan Sekutu akibat perannya yang memimpin kabinet perang semasa 1941-1944. Tahu dirinya masuk daftar tersangka kejahatan perang, Tojo merencanakan untuk bunuh diri sebagaimana beberapa koleganya –seperti Menteri Perang Jenderal Korechika Anami, eks-kepala staf AD Jepang Marsekal Hajime Sugiyama, dan eks-Panglima Tentara Kwantung Jenderal Shigeru Honjō– seiring kapitulasi Jepang.
“Beberapa melakukan ritual seppuku dan yang lainnya bunuh diri dengan racun. Tojo sendiri sempat mengunci diri di kediamannya untuk merenung apakah ia harus mati atau tetap hidup dengan konsekuensi penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Ia bisa saja langsung bunuh diri sebagai pelarian namun ia kurang keberanian melakukannya,” tulis Mei Ju-ao dalam The Tokyo Trial and War Crimes in Asia.
Seiring pengumuman penangkapan terhadap 39 tersangka, pada 11 September 1945 kediaman Tojo digeruduk pasukan polisi militer Amerika. Tojo yang panik nekat mengambil pistol dan menembak dadanya tapi tembakannya tak mengenai jantung. Tojo pun dilarikan ke rumahsakit dan setelah pulih dipindahkan ke Penjara Sugamo bersama puluhan tersangka lain menjelang didakwa di Pengadilan Tokyo.
“Upaya penangkapan Tojo pada September 1945 yang berujung pada percobaan bunuh diri memicu kegelisahan di antara pejabat otoritas Jepang hingga akhirnya membuat Amerika mewakili SCAP (otoritas Sekutu, red) menyerahkan wewenang penangkapan terhadap para tersangka berikutnya kepada Chūō Renraku Kyoku (Biro Penghubung Pusat) yang kemudian memberi kewenangannya pada kepolisian Jepang,” ungkap Sandra Wilson dkk. dalam Japanese War Criminals: The Politics of Justice After the Second World War.
Dari sekitar 50 tersangka, akhirnya 28 di antaranya mendapatkan tuntutan. Dari 55 tuntutan yang dirumuskan panel hakim, Tojo sendiri mendapat tujuh tuntutan yang ia pelajari dan konsultasikan kepada tiga kuasa hukumnya semasa masa penahanannya di Penjara Sugamo. Tujuh tuntutannya adalah Tuntutan 1: konspirasi untuk mengobarkan perang terhadap negara-negara lain; Tuntutan 27: konspirasi menginvasi Manchuria dan China; Tuntutan 29: konspirasi mengobarkan perang terhadap Amerika Serikat dan negara-negara Sekutu; Tuntutan 31: konspirasi mengobarkan perang terhadap Persemakmuran Inggris; Tuntutan 32: kejahatan perang berupa pelanggaran hukum internasional terhadap Kerajaan Belanda; Tuntutan 33: kejahatan perang berupa pelanggaran hukum internasional terhadap Prancis; dan Tuntutan 36: kejahatan perang berupa pelanggaran hukum internasional terhadap Republik Rakyat Mongolia dan Uni Soviet.
“Sebelumnya para pengacara Jepang dengan tegas menolak membela Tojo di pengadilan, di mana akhirnya ada satu pengacara yang kurang berpengalaman, Ichiro Kiyose, menawarkan jasanya sebagai kuasa hukum, selain juga Markas Pendudukan (Sekutu) menyediakan dua kuasa hukum dari Amerika. Dari yang dipelajari setidaknya tidak ada bukti Tojo bertanggungjawab atas Tuntutan 36,” tulis M.J. Thurman dan Christine Sherman dalam War Crimes: Japan’s World War II Atrocities.
Panel hakim Pengadilan Tokyo sendiri baru mulai menggulirkan sesi-sesi pembukaan kasus-kasus dan pendakwaan pada 3 Mei 1946. Selama lebih dari 2 tahun Pengadilan Tokyo turut menghadirkan 419 saksi dan pengajuan 4.336 bukti yang diserahkan jaksa penuntut.
Tojo yang dikategorikan sebagai terdakwa penjahat perang “Kelas A” akhirnya diputus bersalah dalam tujuh tuntutan, kecuali Tuntutan 36. Dengan terbuktinya Tojo terhadap beragam kejahatan perang yang menyebabkan tewasnya lima juta jiwa sipil selama ia berkuasa di kemiliteran Jepang, pada 12 November 1948 panel hakim memvonis hukuman mati dengan eksekusi di tiang gantung. Dalam pidato penutupan sesi persidangannya, Tojo menerima vonis itu.
“Sudah menjadi konsekuensi kekalahan perang, mungkin perlu bagi saya untuk diadili agar keadaan saat itu dapat diperjelas dan menjamin perdamaian dunia di masa depan. Oleh karenanya dengan menghormati persidangan ini, saya bermaksud bicara jujur sejauh ingatan saya, sekalipun saat pihak yang kalah berdiri di hadapan pihak yang menang yang memilii kekuasaan atas dirinya hidup dan mati,” ujar Tojo dalam potongan pidatonya, dikutip David M. Crowe dalam War Crimes, Genocide, and Justice: A Global History.
Selain Tojo, enam terdakwa lain juga menerima vonis serupa. Mereka adalah kepala intelijen AD di negara boneka Manchukuo Jenderal Kenji Doihara, eks-PM Kōki Hirota, eks-Menteri Perang Jenderal Seishirō Itagaki, Panglima AD di Area Burma Jenderal Heitarō Kimura, dan Letjen Akiro Mutō yang merupakan eks-kepala staf AD ke-14 dan ikut bertanggungjawab atas Pembantaian Nanking (13 Desember 1937-28 Maret 1838) dan Pembantaian Manila (3 Februari-3 Maret 1945). Belasan terdakwa sisanya menerima vonis hukuman penjara dari yang paling ringan 7 tahun dan paling berat penjara seumur hidup.
Eksekusinya Tojo ditetapkan 23 Desember 1948. Dalam pernyataan terakhirnya sebelum menghadap ke tiang gantung, Tojo menyatakan permintaan maafnya atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan militer Jepang dan berharap otoritas Sekutu memberi ampunan terhadap rakyat Jepang yang juga menderita akibat serangan-serangan udara dan utamanya dua kali dijatuhi bom atom.
“Tepat pukul 1.30 dini hari pada 23 Desember 1948, Jenderal Hideki Tojo wafat di tiang gantung. Jenderal MacArthur menolak permintaan janda Jenderal Tojo (Katsuko Ito, red.) yang menuntut jenazahnya. Jasadnya dikremasi dan abunya dilarung (di perairan Yokohama),” tandas Courtney Browne dalam biografi Tojo: The Last Banzai.*
Comments