- Martin Sitompul
- 26 Apr
- 4 menit membaca
REPUBLIK Rakyat Tiongkok (RRT) jadi kekuatan baru di Asia setelah Perang Dunia II. Namun, negara pimpinan Mao Zedong berjuluk “Negeri Tirai Bambu” itu juga tertutup terhadap dunia luar. Itulah sebabnya, ketika Konferensi Asia Afrika (KAA) dihelat pada 70 tahun silam, kehadiran delegasi RRT termasuk yang sangat ditunggu-tunggu publik dan pers Indonesia maupun asing.
Pemerintah RRT mengutus Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Zhou Enlai sebagai wakilnya dalam KAA. Sejak awal, sosok Zhou Enlai sudah mencuri perhatian. Harian Indonesia Raya, 18 April 1955, memberitakan kedatangan rombongan Zhou yang sudah ditunggu-tunggu sejak mendarat di Jakarta sehari sebelum konferensi berlangsung. Masyarakat Tionghoa di Jakarta bersama staf Kedutaan RRT bahkan sudah memadati Bandara Kemayoran guna menyambut Zhou Enlai.
“Rombongan masyarakat Tionghoa Jakarta yang menyambut sampai ke dekat tangga pesawat terbang yang membawa Chou En Lai amat besar,” lansir Indonesia Raya.
Persona Zhou Enlai memang menyimpan daya tarik tersendiri. Menurut Rosihan Anwar, jurnalis harian Pedoman yang turut meliput jalannya konferensi, reputasi Zhou Enlai sebagai diplomat yang kapabel, cerdik, dan tenang telah tersebar luas setelah kinerja diplomatik yang diraihnya pada Konferensi Jenewa mengenai penyelesaian soal Indo-Cina pada 1954. Sementara itu, menurut Roeslan Abdulgani, saat itu Sekjen KAA, dunia luar, khususnya Barat, antusias untuk mengetahui pandangan RRT tentang masalah dunia dari salah satu tokoh utamanya, yaitu PM Zhou Enlai.
Ketika KAA dibuka di Bandung pada 18 April 1955, potret Zhou Enlai menjadi sasaran utama bidikan lensa kamera para juru warta. Hari itu, Zhou Enlai menjadi bintang yang bersinar bersama PM Nehru dari India dan PM Gammal Abdul Nasser dari Mesir. Mereka berjalan kaki menyusuri lautan massa dengan mengenakan pakaian khas negeri masing-masing. Zhou tampak mengenakan pakaian jas tertutup ala Tiongkok. Dia berjalan dengan pengawalan para penjaga menuju Gedung Merdeka. Menurut Indonesia Raya, awalnya Zhou enggan dikawal.
“Tetapi waktu tersiar kabar, bahwa ada kemungkinan golongan Kuomintang mau mengadakan provokasi-provokasi, Zhou kesudahannya menerima pengawalan ini. Padahal kabar-kabar ini merupakan berita palsu, sedangkan alat-alat negara siap menghadapi segala kemungkinan,” demikian diwartakan Indonesia Raya, 23 April 1955. Kuomintang adalah Partai Nasionalis Tiongkok pimpinan Jenderal Chiang Kaisek yang bertentangan dengan Partai Komunis Tiongkok.
Sementara itu, warga Bandung terutama komunitas Tionghoa setempat mengelu-elukan Zhou Enlai. Namun, Zhoun Enlai bersikap kaku. Kendati sosoknya dinanti-nanti, majalah Star Weekly, 23 April 1955 menyebutkan Zhou Enlai tidak mau menoleh ke belakang dan terus masuk ke Gedung Merdeka. Beruntunglah mereka yang sabar menanti karena sejurus kemudian Zhou Enlai keluar sebentar. Kesempatan itu dipergunakan publik untuk mengamat-amatinya dari jarak dekat.
“Tak ada habis-habisnya orang membicarakan tentang alis mata Zhou yang tebal dan hitam serta jas tertutupnya,” Star Weekly.
Menurut Wildan Sena Utama, sejarawan yang menekuni KAA, Zhou Enlai bersama Nasser, Nehru, serta Presiden Sukarno jadi pusat perhatian rakyat, jurnalis, dan para pengamat di hari pembukaan KAA. Merekalah para model dalam teater bersejarah freedom walk (jalan kemerdekaan) tersebut. Spontanitas yang mereka tampilkan memproduksi citra visual yang kuat atas gambaran “orang besar" dari Asia dan Afrika yang tengah dielu-elukan rakyat Bandung dan menjadi ikonografi KAA di kemudian hari.
“Namun, yang paling mencolok adalah sambutan yang diberikan pers Tionghoa terhadap kedatangan bersejarah Zhou Enlai ke Bandung. Pemberitaan banyak sekali membicarakan apa yang dilakukan Zhou Enlai selama konferensi, termasuk menyoroti hal remeh-temeh mengenai penampilannya, seperti misalnya berita Star Weekly mengenai ketebalan alis Zhou Enlai,” catat Wildan dalam Konferensi Asia-Afrika: Asal-Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme.
Pada hari kedua, 19 April 1955, beberapa ketua delegasi menyampaikan pandangan mereka dalam sidang pleno terbuka. Menurut Roeslan Abdulgani, Zhou Enlai semula tidak mengagendakan dirinya untuk ikut berpidato. Delegasi RRT hanya menyampaikan kepada Sekretariat KAA sebuah teks tertulis dalam huruf Mandarin dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris untuk dianggap sebagai pidato Zhou Enlai.
“Namun, rupanya PM Zhou Enlai setelah mendengar pidato para ketua delegasi merasa perlu untuk memberikan tambahan secara lisan atas pidato tertulis yang tak terucapkan itu,” kenang Roeslan dalam Bandung Connection: Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Turut buka suaranya Zhoun Enlai disebut-sebut terpicu oleh pernyataan ketua delegasi lain, seperti Srilanka dan Irak, yang menyinggung komunisme sehingga menyudutkan posisi RRT. Beberapa negara peserta KAA memang antikomunisme. Beberapa lainnya meragukan itikad RRT berperilaku sebagai tetangga yang baik, merujuk apa yang terjadi antara RRT dengan Taiwan.
Ketika Zhou bersiap-siap untuk berpidato, seisi ruangan Gedung merdeka, seperti disaksikan Rosihan, tiba-tiba menjadi hening. Zhou dalam pakaian seragam Mao, diikuti oleh penerjemahnya yang juga berseragam dan bertopi pet, bangkit dari kursinya dengan langkah mantap berjalan menuju mimbar di depan. Ia bicara dalam bahasa Mandarin. Suaranya tinggi melengking. Selesai mengucapkan satu, dua kalimat, terjemahannya segera menyusul diucapkan dengan lafal bahasa Inggris logat Amerika karena penerjemahnya memang pernah hidup dan belajar di Amerika.
“Delegasi Cina datang kemari untuk mencari persatuan dan bukannya perselisihan. Kami, golongan komunis, tidak menutupi kenyataan bahwa kami percaya komunisme dan bahwa kami menganggap sosialisme sebagai suatu sistem yang baik. Tidaklah perlu pada konferensi ini diumumkan ideologi seorang dan sistem politik negaranya, meskipun perbedaan-perbedaan ada di antara kita,” kata Zhou Enlai dalam pidatonya yang terangkum dalam Himpunan Dokumen Konferensi Asia Afrika 18—24 April 1955.
Dalam pidatonya, Zhou mengajukan tiga persoalan. Pertama, soal isu komunisme. Zhou mengakui komunisme adalah ateis, tetapi di RRT terdapat bermacam agama, termasuk Buddha, Islam, Kristen yang penganutnya bebas beribadah. Kedua, mengenai sistem sosial dan perbedaan ideologi. Zhou mengusulkan agar lima prinsip koeksistensi damai dipakai sebagai dasar hubungan bertetangga di antara negara-negara Asia-Afrika. Ketiga, mengenai masalah subversi. Zhou menyangkal RRT menjalin hubungan subversif dengan negara-negara lain. Golongan minoritas Cina di Thailand, Indonesia, dan lainnya yang memiliki dwikewarganegaraan adalah warisan rezim lama Chiang Kaisek. Pemerintah RRT bertekad memecahkan masakah ini dengan cara damai.
Di akhir pidatonya, Zhou mengundang para delegasi berkunjung ke RRT untuk membuktikan kecurigaan mereka. “Kami menyambut para delegasi semua negara yang mengambil bagian dalam konferensi ini mengunjungi Cina kapan saja saudara suka. Kami tidak mempunyai tirai bambu, tetapi ada orang-orang yang menyebarkan suatu tirai asap di antara kita,” tutupnya.
Di sela-sela kunjungannya, Zhou Enlai menyempatkan diri bertemu dengan komunitas Tionghoa di Indonesia. Zhou juga melakukan perundingan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Mr. Sunaryo untuk menyelesaikan masalah dwikewarganageraan tiga juta orang Tionghoa di Indonesia. Perundingan itu berhasil dengan sukses. Demikianlah penampilan publik Zhou Enlai dalam perhelatan KAA telah menciptakan suatu kesan yang positif dalam catatan sejarah.
“Pidatonya telah memperkokoh reputasinya sebagai seorang diplomat yang cerdik licik (cunning) dan terampil (skillful). Ia telah meraih kemenangan diplomatiknya yang pertama di Konferensi Asia- Afrika Bandung,” catat Rosihan.*
Comments