- Martin Sitompul
- 19 Sep 2020
- 4 menit membaca
PERPLONCOAN lazim dialami oleh mahasiswa baru di perguruan tinggi. Bahasa formalnya orientasi studi dan pengengalan kampus atau kerap disebut ospek. Kegiatan itu sudah jadi rutinitas ketika memasuki tahun ajaran baru. Namun, sederet stigma miring melekat kala mendengar kata “diplonco”. Mulai dari senioritas, intimidasi, hingga kekerasan kerap terjadi dalam perploncoan.
Itulah yang terjadi baru-baru ini di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Walaupun pada masa pandemi seperti sekarang, perploncoan tetap dilaksanakan secara daring. Dalam sekejap, kegiatan itu menjadi sorotan publik lantaran terlihat beberapa senior membentaki juniornya. Aksi bentak-bentak itu muncul di media sosial, jadi viral, dan menuai banyak kecaman.
Merentang ke belakang, perploncoan memang sudah menjadi tradisi dari masa-masa. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa terkemuka itupun pernah merasakannya. Dalam catatan hariannya Soe Hok Gie menuangkan pengalamannya diplonco bahkan dirundung oleh seniornya.
Mahasiswa Jurusan Sejarah
Pengumuman ujian selesai. Setelah menyandang predikat lulus, Soe Hok Gie pun resmi menjadi alumnus SMA Kanisius. Gie kemudian mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.
Semula Soe Hok Gie diterima di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jakarta (kini UNJ). Tapi, dia mencoba peruntungan juga di Universitas Indonesia. Pilihan pertamanya jurusan psikologi tapi gagal. Soe Hok Gie diterima pada pilihan kedua, yaitu jurusan sejarah. Resmilah Soe Hok Gie jadi mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UI angkatan 1961. Kampusnya masih di Rawamangun. Sebelum mulai kuliah, diadakan masa perploncoan dari tanggal 27 September sampai 1 Oktober.
“Ketika baru diplonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami dan dimaki-maki,” catat Soe Hok Gie tanggal 20 Oktober 1961 dalam catatan hariannya yang dibukukan Catatan Seorang Demonstran.
Soe Hok Gie menyaksikan dirinya dan kawan-kawan seangkatan diperlakukan seperti binatang. Berbagai risakan terlontar dari lisan senior. Misalnya, “jelek lu”, “muka lu lihat dulu”, “gigi lu kuning”, dan sebagainya.
Pada awalnya, Soe Hok Gie menganggap perploncoan itu sia-sia belaka tiada guna. Tetapi kemudian dia melihat sisi positifnya. Khususnya bagi "anak-anak borjuis" atau yang mereka tidak bepikiran dewasa.
Ketika diplonco, Soe Hok Gie mengingat salah satu kawannya bernama Nurul Komari. Dia mendapat kesan bahwa kawannya itu seorang “anak mami” karena sangat tergantung dengan ibunya. Dalam perploncoan, dia menangis karena dimaki-maki.
“Di sinilah adanya unsur positif dari perploncoan, setidak-tidaknya kita dicoba (biar cuma lima hari), untuk menghadapi situasi nyata atas beban sendiri,” kata Soe Hok Gie. Seorang anak, lanjutnya, mau tidak mau menjadi dewasa. Dia harus berani dan sadar untuk melepaskan diri dari pelindungnya, dalam hal ini orang tuanya.
Menurut Soe Hok Gie, dalam perploncoan ada dua jenis manusia. Sebagian berani menghadapi kenyataaan dengan bersikap sesuai. Dia termasuk dalam golongan ini. Waktu diplonco, Soe Hok Gie ketawa-ketawa saja sehingga ada seniornya yang bilang kalau dia senang diplonco. Sebagian lagi marah-marah dan mendendam. Dalam keadaan demikian, perploncoan ibarat malapetaka bagi mereka. Mereka adalah orang-orang konyol, demikian tulis Soe Hok Gie dalam catatannya.
Dalam perploncoan, Soe Hok Gie mendapat kawan-kawan senior yang menjadi akrab. (Richard Zakaria) Leirissa (sejarah tingkat II) seorang yang baik hati dan mau membimbing. Ong Hok Ham (sejarah tingkat II) seorang yang pandai dan berkata supaya Soe Hok Gie merasakan hidup kemahasiswaan yang sedalam-dalamnya. Di kemudian hari, R.Z. Leirissa dan Ong Hok Ham menjadi sejawaran beken Indonesia lewat karya-karya mereka.
Plonco di Mapala
Pada waktunya, Soe Hok Gie pun naik tingkat menjadi senior. Meski demikian, dia tidak ikutan memplonco anak baru. Dalam catatan hariannya tanggal 4 Oktober 1962, dia sebenarnya mengakui punya ketertarikan untuk ikut sebagai senior dalam masa perkelanan. Tujuannya semata-mata ingin mengetahui perangai mahasiswa baru dan memberikan pandangan postif bagi mereka. Tapi pada akhirnya, dia lebih memilih bergumul dengan alam dengan membentuk komunitas Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala).
Mapala UI didirikan pada 1964 sebagai organisasi internal mahasiswa UI. Kegiatannya berupa perkemahan, perjalanan, dan pendakian gunung, termasuk konservasi alam. Mapala juga menjadi penampungan bagi mahasiswa yang jenuh dari hiruk pikuk politik kampus yang melibatkan organisasi kampus dengan partai politik tertentu. Soe Hok Gie merupakan salah satu perintisnya di Fakultas Sastra. Sudah jadi tradisi pula jika calon anggota Mapala mesti “ditatar” terlebih dahulu sebelum resmi diterima sebagai anggota.
Pada Desember 1969, Mapala melakukan pendakian ke Gunung Semeru, Jawa Timur. Dalam daftar rombongan, tercatat beberapa nama pentolan pencinta alam. Soe Hok Gie salah satu di antaranya. Saat itu, dia telah menjadi dosen muda di kampusnya. Selain itu, dia juga dikenal sebagai penulis, aktivis, dan tokoh pergerakan mahasiswa di zaman awal Orde Baru.
Dalam kumpulan tulisan Soe Hok Gie Sekali Lagi, Rudy Badil mengenang waktu itu masih mahasiswa tingkat persiapan jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI. Seingat Badil, Maman (ketua Mapala) dan Soe Hok Gie kemungkinan besar akan melantiknya dan diberi nomor anggota Mapala FS-UI kalau dirinya yang perilakunya dianggap pembangkang bisa perform lumayan.
“Ingat, elo kami plonco di hutan gunung supaya lebih dewasa dan tidak ngotot dan melawan senior-senior, ya,” kira-kira begitu kata Soe Hok Gie sebagaimana dikisahkan Badil dalam artike “Antar Hok-Gie dan Idhan ke Atas”.
Soe Hok Gie menasihati Badil supaya mengurangi sedikit perilaku hura-hura. Beberapa senior Mapala Fakultas Sastra kurang begitu menyukai Badil. Saat itu dia tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Djakarta yang kerap diplesetkan Ikatan Mahasiswa Dansa yang katanya borjuis.
Di sela-sela perjalanan, Soe Hok Gie pernah berujar, “Ingat Dil, elo harus punya kepribadian ya.” Wejangan Soe Hok Gie itu begitu membekas bagi Rudy Badil. Lelaki yang kemudian menjadi jurnalis itu tak menyangka jika pendakian itu menjadi kebersamaan terakhir mereka.*
Comments