- M.F. Mukhti
- 15 Okt 2020
- 4 menit membaca
USAI aksi menolak UU Cipta Kerja yang berujung bentrok pada Selasa (6/10/20), nama Tan Malaka kembali menjadi pembicaraan. Bermula dari Banten. Aparat kepolisian daerah menangkap 14 orang peserta aksi di mana delapan di antaranya merupakan mahasiswa.
Dari salah seorang mahasiswa, aparat menyita buku Merdeka 100 Persen karya Tan Malaka.
“Buku [Tan Malaka] kita dapatkan saat kita melakukan penggeledahan tersangka OA. Kita kembangkan, yang bersangkutan kita kenakan pasal 212 (KUHP), menyembunyikan buku itu, salah satu objek penelitian,” kata Wakil Direkture (Wadir) Reserse dan Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Banten AKBP Dedi Supriadi sebagaimana diberitakan suara.com, Minggu (11/10/20).
Tindakan aparat Polda Banten itu menuai kritik dari berbagai pihak. Sejarawan Bonnie Triyana, salah satunya. Menurutnya, sebagaimana diberitakan suara.com, “Sebaiknya polisi baca juga buku Tan Malaka yang mereka sita. Orang bisa dihukum karena melakukan tindak kejahatan. Membaca buku bukanlah sebuah kejahatan, apalagi baca buku Tan Malaka.”
Meski sudah lebih dari 70 tahun meninggal dunia, Tan Malaka masih jadi tokoh yang kerap diperbincangkan. Situasinya mungkin mirip dengan ketika Tan Malaka memulai perjuangannya di masa kolonial. Meski tulisan-tulisannya saat itu telah dibaca banyak orang termasuk Sukarno, fisik Tan Malaka masih tak diketahui keberadaannya. Nama Tan Makaka begitu melegenda sampai kisahnya diromankan Hasbullah Parinduri dalam Pacar Merah Indonesia di samping banyak orang mengaku sebagai Tan Malaka.
Pengalaman membaca karya-karya Tan Malaka tanpa mengetahui orangnya itu juga dialami Kolonel Laut (Purn.) A. Hamzah Tuppu, salah satu perintis Angkatan Laut Republik Indonesia. Jauh sebelum mengetahui karya-karya Tan Malaka apalagi sosoknya, Hamzah sudah mendengar nama Tan Malaka. Buku pertama Tan Malaka yang dibacanya adalah Naar de Republiek Indonesie.
“Itulah buku pertama Tan Malaka yang saya baca, kendatipun saya sudah mendengar namanya diperbincangkan orang, didewa-dewakan orang,” kata Hamzah dalam testimoninya, “Bersama Bung Karni di Balik Kawat Berduri di Kamp Garut”, yang termuat di buku Sukarni dalam Kenangan Teman-Temannya.
Hamzah pertamakali membaca karya Tan Malaka saat ditahan aparat Hindia Belanda di Garut menjelang pendudukan Jepang. Di sana dia berkenalan dengan Sukarni, tokoh pemuda 1945 yang menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, yang juga ditahan di tempat yang sama. Sukarnilah yang rajin meminjaminya buku-buku karya Tan Malaka.
“Setiap kali datang ke tempat saya Bung Karni selalu membawa ‘sesuatu yang baru’,” sambungnya.
Buku-buku Tan Malaka membuka kesadaran Hamzah akan perjuangan kemerdekaan. “Dari sinilah saya baru sadar bahwa tujuan perjuangan akhir bangsa Indonesia ialah menuju kemerdekaan, suatu negara berbentuk Republik. Dulu hal itu kan belum ada yang memikirkan, orang hanya mau merdeka saja. Inilah pertama kali saya mendengar perkataan Republik, dari buku yang dibawa oleh Bung Karni ke kamar saya,” kata Hamzah.
Meski hanya bisa membaca buku-buku itu dengan mencicil saat Sukarni datang kepadanya, toh Hamzah dapat menamatkan beberapa buku karena Sukarni rajin mendatanginya.
Jauh setelah meminjami buku-buku Tan Malaka, Sukarni -yang menjadi orang kepercayaan Tan Malaka- memperkenalkan Hamzah kepada Tan Malaka. Perkenalan itu terjadi setelah proklamasi, ketika para pemuda Menteng 31 tak lagi meragukan sosok Tan Malaka lantaran banyaknya Tan Malaka palsu di masa Jepang. Dalam pertemuan di rumah lama Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta itu, hadir beberapa pemuda.
“Hamzah Tuppu menyebut pertemuan itu bersama Abidin Effendi, kakak Roestam Effendi, anggota Tweede Kamer Belanda sebagai wakil kaum komunis, Nurut, Pandoe Kartawigoena, Tjeq Mamad, Sjamsu Harja Udaja, dan Abdul Djalil Muluk. Maka mungkin sekali peristiwa kenal-mengenal itu terjadi dalam masa sekitar tanggal 8 sampai 15 Semptember, setelah Tan Malaka kembali dari perjalanannya ke Banten dan bersama para pemuda diserap dalam pengorganisasian sebuah demonstrasi besar,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Hamzah agak kaget begitu bertemu Tan Malaka lantaran tampilan fisiknya jauh dari yang dia bayangkan. “Kok rambutnya kelihatannya keras, kupingnya sebelah kecil, lehernya kelihatan keras. Itu selalu saya perhatikan,” kata Hamzah.
Namun, perhatian Hamzah pada fisik Tan Malaka hanya sesaat karena obrolan segera mengalir dan banyak orang yang hadir. Tan Malaka segera mengajak bicara semua tamunya dengan akrab. Kepada Hamzah, Tan Malaka langsung mengajak bicara serius dengan pembukaan berupa pertanyaan soal kekuatan perjuangan di Makassar.
“Tan Malaka kemudian tanyakan juga kekuatan divisi saya dan hal-hal lain. Saya memang aktif di Peta jurusan Angkatan Laut ketika itu,” kata Hamzah.
Obrolan lalu mengerucut pada soal perang gerilya. Dari mulai teori dasar hingga taktik dan strategi Tan Malaka beberkan kepada Hamzah yang hanya bisa terpukau mendengarkan.
“’Wah, hebat cara ini,’ pikir saya. ‘Itulah tuntunan Tan Malaka yang tidak pernah saya lupakan,’” kenang Hamzah yang mengaku mulai mengagumi Tan Malaka setelah membaca Naar de Republiek Indonesie.
Tak lama setelah pertemuan itu, Hamzah berangkat ke Surabaya. Menurut Poeze, Sukarni yang mengirimnya. “Soekarni mengirim Hamzah Tuppu bersama Sjamsu, Abidin Effendi, dan kakaknya Deibel Effendi ke Surabaya untuk melakukan aksi politik, khususnya dengan para pelaut di sana,” kata Poeze.
Di Surabaya, Hamzah dan kawan-kawan mengorganisir pemuda-pelaut dari Djawa Unko Kaisha, Akatsuki Butai, Heiho Laut, pelajar sekolah pelayaran, buruh pelabuhan, dan bekas anggota Koninklijke Marine ke dalam sebuah pasukan yang kemudian menjadi BKR Laut.
“Ada dua orang opsir Peta bagian laut yang berasal dari Sulawesi Selatan, yang pertama bernama M. Aris dan Hamzah Tuppu, seorang keturunan Karaeng Galesong. Keduanya ini bersama-sama dengan J. Tamboto, Tuege, J. Bolang, Luntungan, Sutrisno, Muchtar dan lain-lain membentuk BKR laut yang kemudian menjadi TKR laut, di samping organisasi PRIAL (Pemuda Republik Indonesia Angkatan Laut) di Surabaya,” tulis Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan2nya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.*
Comentários