“Madilog” karya Tan Malaka tidak hanya menularkan cara berpikir dan paradigma dalam melihat realitas tapi juga bergerak menjemput perubahan.

Tan Malaka pernah dipercaya menjadi pengawas sekolah di Senembah Maatschappij, perkebunan yang dibangun orang Jerman dan Swiss.

Tan Malaka sering dibahas dan didiskusikan di berbagai media dan tempat tetapi tidak dengan partai terakhir yang didirikannya, Partai Murba.

Jatuh bangun Partai Murba yang didirikan Tan Malaka. Partai ini gagal menjadi partai massa.

Tugu Romusha di Bayah jadi pengingat bab sejarah getir romusha. Ironisnya kini sudah roboh.

Dua Indonesianis asal Belanda meluncurkan buku “Merdeka”. Mengkaji banyak sengkarut krisis di balik perjuangan mempertahankan kedaulatan.

Perjuangan butuh badan sehat dan uang cukup. Tan Malaka pun pernah meminta izin pulang kepada gubernur jenderal Hindia Belanda karena sakit dan kekurangan uang.

Ulama kakak beradik Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam memimpin Gerakan Baso di Sumatra Barat. Pengikut Tan Malaka ini ditumpas tentara.

Sanggabuana tempat ditemukannya ular naga punya banyak bukti peninggalan historis. Ada juga perlawanan gerilya saat Perang Kemerdekaan.

Sukarno bertemu tamu misterius bernama Abdulrajak dari Kalimantan di malam Lebaran. Dia menunjuknya sebagai penggantinya.

Laporan CIA menyebut penyandang dana Tan Malaka. Berasal dari jualan mobil bekas.

Kerap dibayangi ancaman penangkapan dan pembunuhan, Tan Malaka sering berlaku bukan sebagai dirinya sendiri.

Lama tidak bersua dengan Tan Malaka, Ahmad Subardjo pada akhirnya membantu tokoh komunis Indonesia itu bertemu dengan Bung Karno dan Bung Hatta.

Tan Malaka menulis tentang sistem pemerintahan, bentuk negara hingga tahapan-tahapan revolusi. Menggambarkan tentang Indonesia yang diimpikannya.

Meski pengaruhnya cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan jauh dari jemawa. Selalu menghormati lawan bicara tanpa peduli status sosial.