- M. Fazil Pamungkas
- 10 Sep 2020
- 4 menit membaca
Diterapkannya aturan sakoku (politik isolasi dari bangsa asing) selama kurun 1639-1853 pada era Tokugawa (1603-1867) berdampak besar pada perkembangan ilmu pengatahuan dan kebudayaan di Jepang. Selama lebih dari 200 tahun, sangat sedikit informasi tentang dunia Barat yang bisa diterima publik Negeri Sakura. Segala akses diatur penguasa militer (shogun) Jepang yang begitu kuat bekuasa.
Politik isolasi membuat Jepang tidak bisa sembarang dikunjungi bangsa asing. Pengajar Program Studi Jepang Universitas Indonesia Bambang Wibawarta dalam “Dejima: VOC dan Rangaku” dimuat Wacana Oktober 2008, mencatat hanya ada dua bangsa yang bisa menjalin hubungan dengan pemerintahan Tokugawa: Cina dan Belanda.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Belanda diketahui masuk ke Jepang sekitar tahun 1600 –sebelum Tokugawa Ieyasu mendirikan dinasti Tokugawa dan sakoku diterapkan. Ketika itu, kapal Belanda De Liefde yang mengangkut 24 orang awaknya dihantam badai. Kapal terdampar di sekitar Teluk Usuki, Kyushu. Mereka lalu diselamatkan dan diterima oleh daimyo (tuan tanah) Kyushu Otomo Yoshimune. Sebagian dari mereka bahkan dijadikan penasihat perdagangan luar negeri, serta penasihat pembuatan peta dan kapal.
“Sebenarnya tujuan kedatangan mereka adalah untuk mengadakan hubungan dagang dengan Asia Timur setelah mendengar keberhasilan ekspedisi Cornelis de Houtman ke Jawa dan Sumatera,” tulis Wibawarta.

Selama era isolasi itu Belanda diberi kebebasan berdagang dan berinteraksi dengan rakyat Jepang. Hal itu menyebabkan rasa ingin tahu rakyat akan dunia luar semakin besar. Belanda pun menjadi jembatan pengetahuan Barat bagi Jepang. Orang-orang Jepang lantas menyebutnya Oranda gaku (disingkat rangaku). Oranda artinya Belanda, dan gaku bermakna ilmu pengetahuan. Jadi rangaku adalah ilmu pengetahuan dari Belanda.
Pada masa itu sebenarnya pengetahuan Barat yang masuk ke Jepang tidak hanya berasal dari Belanda saja. Menurut Bambang Wibawarta ada juga nambangaku, yakni ilmu pengetahuan Barat yang disebarkan melalui Siam, Luzon, dan Jawa oleh orang-orang Portugis, Spanyol, dan Italia ke Jepang.
Baca juga: Kiprah VOC di Pulau Dejima
“Namun karena perdagangan selama era sakoku hanya diizinkan dengan Belanda, semua pengatahuan dan tekniknya berasal dari sana. Sehingga tidak mengherankan jika rangaku menjadi sebutan umum untuk semua pembelajaran Barat,” tulis de Theodore dalam Sources of Japanese Tradition, Abridged: 1600 to 1868.
Meski istilah rangaku mengacu pada bangsa Belanda, pengetahuan yang dibagikan orang-orang Negeri Kincir Angin itu adalah pengetahuan Barat secara umum. Menurut Grant K. Goodman dalam Japan and the Dutch 1600-1853, bidang-bidang keilmuan seperti kedokteran, farmasi, fisika, kimia, astronomi, geografi, dan kesenian, berperan besar dalam perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan alam di Jepang.
“Sedangkan penelitian di bidang lain seperti hukum, sejarah, sastra, dan agama pada awalnya dilarang karena dikhawatirkan akan menjadi media masuknya kembali agama Kristen yang dianggap dapat mengganggu otoritas penguasa,” tulis Wibawarta.
Pusat pengetahuan Barat di Jepang berada di Pulau Dejima. Sejak ditempati orang-orang Belanda pada 1641, untuk keperluan perdagangan, pulau di Nagasaki itu ramai dikunjungi orang-orang Jepang yang ditunjuk penguasa untuk mempelajari berbagai macam bidang pengetahuan. Mereka dikenal sebagai rangakusha.
Baca juga: Nasib Orang Indonesia di Jepang Pasca Perang
Diceritakan Jean Piere Lehmann dalam The Roots of Modern Japan, para intelektual baru Jepang itu datang dari berbagai daerah, seperti Sendai, Kagoshima, Edo, Osaka, Kanazawa, Nagasaki, dan sebagainya. Mereka belajar bersama dan muncul sebagai elit intelektual yang dikenal di seluruh penjuru negeri. Para rangakusha merupakan kelompok campuran, termasuk di dalamnya para dokter, ahli astronomi, ronin (samurai tak bertuan), kelompok intelektual lama, dan beberapa daimyo (penguasa tanah).
“Dengan cara ini, hubungan kebudayaan dan kecendekiaan antar orang Jepang dan orang Belanda lebih menarik perhatian dan penting daripada pertukaran perdagangan yang rada sederhana di Nagasaki,” tulis sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799.

Para pengajar rangaku datang dari kalangan pejabat VOC. Nama-nama seperti Engelbert Kaempfer (penulis The History of Japan), Carl Peter Thunberg (penulis Flora Japanica), dan Issac Titsingh, bukan pejabat VOC biasa. Mereka dikenal sebagai intelektual Barat, yang memang ikut di kapal VOC sebagai ilmuwan. Selain ketiga orang itu masih banyak pejabat VOC yang sejak di Barat telah berprofesi sebagai tenaga pendidikan.
Sistem rangaku mencapai puncaknya pada era pemerintahan Shogun Tokugawa Yoshimune (1684-1751). Dia berperan besar dalam perkembangan elit intelektual di Jepang. Baginya keberadaan rangaku dapat memberi kontribusi pada kemajuan negerinya di masa mendatang. Shogun Yoshimune mendukung pembukaan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Dia juga berperan dalam menghapus larangan pembatasan penerjemahan buku-buku berbahasa Belanda.

Dari sistem rangaku ini lahir sejumlah tokoh besar, yang perannya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di Jepang selama abad ke-18. Bambang Wibawarta mencatat beberapa di antaranya: Asada Goryu (1743-1799), ahli astronomi yang membuat sistem penanggalan kalender zaman Kansei; Aoki Konyo (1698-1769), menerbitkan kamus Jepang-Belanda; Ajima Naonobu (1739-1798), ahli matematika yang memperkenalkan penggunaan integral, logaritma, dan kalkulus; Hiraga Gennai (1728-1779), peneliti bidang listrik dan botani; dan Shiba Kokan (1747-1818), pelopor bidang etsa lempeng tembaga, serta mempopulerkan astronomi Copernicus dan Kepler, serta kartografi Eropa.
Salah seorang rangakusha di bidang ilmu kedokteran yang amat tersohor adalah Sugita Genpaku (1733-1817). Dia menjadi pelopor bidang kedokteran Barat di Jepang. Gempaku mempelajari ilmu bedah melalui dokter-dokter Belanda di Dejima. Dia menulis sebuah buku berjudul Yoyka Taisei, yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang ilmu kedokteran Barat, antara lain cara penghentian pendarahan, pengangkatan tumor di dada, dan sebagainya. Dia berambisi menciptakan ilmu bedah yang memadukan metode pengobatan Jepang, Cina, dan Belanda.
“… rangaku yang masuk bersama pedagang VOC ke Jepang lambat laun menyebar luas, baik secara bidang ilmu maupun daerah penyebaran, khususnya di kalangan cendekiawan … rangaku menjadi kekuatan bagi VOC agar dapat diterima dan eksis, juga merupakan alat untuk mengurangi tekanan dan penyeimbang kekuasaan pemerintah bakufu (pemerintahan militer),” tulis Wibawarta.
Comments