- Martin Sitompul
- 31 Jan
- 4 menit membaca
Emilia Contessa (1957-2025), penyanyi pop Indonesia yang terkenal dekade 1970-1980-an. (Majalah Aktuil No. 88, 1971).
KABAR duka mewarnai dunia musik Indonesia. Penyanyi kondang Emilia Contessa tutup usia pada hari Senin, 27 Januari 2025, lalu. Dia wafat dalam usia 67 tahun setelah menjalani perawatan medis di RSUD Blambangan, Banyuwangi. Sebelum meninggal dunia, Emilia diketahui memiliki riyawat penyakit diabetes. Sepanjang hidupnya, Emilia sangat mencintai dunia musik dan tarik suara.
“Bagi saya tak mungkin ada pernyataan pisah dengan dunia musik dan tarik suara. Kalau pun usia tak memungkinkan saya bertahan sebagai vokalis, saya akan tetap menggeluti bidang musik dari sisi lain. Pokoknya semua aktivitas saya kelak pasti berhubungan dengan musik,” kata Emil ketika diwawancarai Bali Post, 10 Februari 1992.
Dunia musik memang telah memberikan segalanya bagi Emilia Contessa yang lahir pada 27 September 1957 dengan nama asli Nur Indah Dewi Citra Sukmahati. Nama yang indah itu, menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, kemudian diubah menjadi Zahara Nurul Hazan atas kemauan kakeknya, orang Pakistan. Pada 1969, putri sulung Hasan Ali ini menyabet predikat juara umum kategori penyanyi pop ketika PON VII diselenggarakan di Surabaya. Ajang tersebut membuka jalan baginya menjadi penyanyi profesional. Nama Emilia Contessa pun melekat sebagai nama panggungnya usai menyelesaikan rekaman di Singapura pada 1970.
“Dalam perjalanan karir namanya diubah menjadi Emilia Contessa dengan nama akhir yang dipungut dari film yang dibintangi Ava Gardner (“Barefoot Contessa” -red),” ulas Majalah Pertiwi No. 141, September 1991.
Emilia Contessa memiliki warna suara khas, merdu namun menggelegar. Namanya kian melejit setelah tampil di acara pertunjukan TVRI. Panggilan untuk tampil bernyanyi dari panggung ke panggung datang silih berganti. Tembang-tembang yang dinyanyikan Emil pun kerap menembus tangga lagu teratas dalam industri musik Indonesia. Sebut saja seperti “Angin November”, “Flamboyan”, “Biarlah Sendiri”, “Bunga Mawar”, “Melati”, “Rindu”, “Bunga Anggrek”, “Penasaran”, “Kehancuran”, “Layu Sebelum Berkembang”, “Angin Malam”, dan Mungkinkah”. Kebanyakan lagu-lagu yang dipopulerkan Emilia Contessa diciptakan musisi pencipta lagu Aloysius Riyanto. Selain bernyanyi, Emil juga membintangi sejumlah film antara 1971 hingga 1986.
Warsa 1970-an adalah tahun-tahun kejayaan Emilia Contessa. Namanya termasuk dalam satu deretan artis Indonesia terkemuka. Sastrawan dan peneliti LIPI Mochtar Pabotinggi dalam memoarnya Burung-burung Cakrawala menyebut, Jakarta pada hari-hari sebelum atau setelah 1974 itu adalah Lilies Suryani, Koes Plus, Emilia Contessa, dan Benjamin-Ida Royani. Sejumlah julukan dan pengakuan melekat pada diri Emilia. Mulai dari “Queen of TVRI”, “The Best Foto Model”, hingga “Ratu Blambangan '75”. Profil Emil bahkan pernah diulas dalam Majalah Asia Newsweek yang menyebutnya sebagai “Singa Panggung dari Asia”.
Setelah menikah dengan Rio Tambunan, seorang pejabat teras di lembaga indoktrinasi BP 7 DKI Jakarta, Emil menepi sebentar dari panggung hiburan. Dari pernikahan beda agama pada 1976 itu, pasangan Emil-Rio dikaruniai dua orang anak, Denada dan Enrico. Namun, biduk rumah mereka tak bertahan lama. Rio dan Emil berpisah pada 1983. Emil pun kembali ke dunia musik.
Pada 1982, musisi Rinto Harahap menggandeng Emilia Contessa rekaman di bahwa label mayor Musica Studio. Album rekaman itu diberi judul “Salam Rindu” yang dikuatkan oleh musik pengiring dari grup Lolypop. “Emilia Contessa muncul lagi,” demikian diberitakan Berita Yudha, 21 November 1981. Tidak hanya lagu Indonesia, Emilia Contessa juga dikenal dengan lagu-lagu pop Batak yang dipopulerkannya.
“Unik juga bahwa ketika tahun lalu Emil menyajikan sebuah album rekaman yang berisi lagu-lagu Tapanuli atau yang dikenal sebagai Pop Batak, salah satu lagu diantaranya yang berjudul 'Inang' (Ibu, red.) berhasil menjadi hits dan terkenal bukan saja di kalangan masyarakat Tapanuli. Soalnya semua orang tahu bahwa Emilia Contessa adalah anak Banyuwangi tulen. Toh dia mampu,” ulas Berita Yudha, 26 Juni 1983.
Menurut Emilia, kembalinya dirinya ke dunia musik memasuki dekade 1980-an butuh perjuangan keras. Emil mengaku sempat minder dengan kemunculan penyanyi-penyanyi pendatang baru. “Rasanya tak mungkin mengejar mereka,” seperti diungkapkan Emil dalam Berita Yudha, 15 November 1983, “Karena banyak faktor yang tidak memungkinkan, mungkin karena umur, suara, keluarga dan terutama bentuk badan yang umumnya sudah bertambah besar alias gemuk.”
Kendati demikian reputasi Emilia Contessa rupanya masih diakui publik dan industri musik. Setidaknya penampilan Emil saban kali manggung dihargai pada angka tertinggi di masa itu. Ya, Emilia Contesaa menjadi salah satu penyanyi dengan bayaran termahal.
Amir Pasaribu, manajer PR Hotel Indonesia dalam Suara Karya Minggu, 13 April 1980, mengatakan honor kontrak penyanyi yang sudah punya nama lebih tinggi malah gila-gilaan, “Misalnya sampai Rp1 juta seperti Emilia Contessa per bulannya,” katanya. Sementara itu, dalam Harian Neraca, 23 September 1989, nama Emilia Contessa masuk kategori penyanyi dengan tingkat tarif pertunjukan deret atas, yaitu Rp 4 juta/show, bersanding dengan Andi Meriem Matalatta, Harvey Malaiholo, dan Chrisye. Angka segitu merupakan tarif pertunjukan biasa, kalau memasuki periode natal dan tahun baru harga paket pertunjukan bisa lebih tinggi lagi.
Selain bernyanyi dan rekaman, Emilia Contessa mendirikan sekolah musik Yayasan Evita di bilangan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Sekolah musik ini terdiri dari jurusan aransemen, partitur, instrumen, penampilan, namun yang paling diutamakan adalah les vokal. Di luar kegiatan berkesenian, Emil diisukan sempat dekat dengan penyanyi dan aktor Mark Sungkar. Namun, ayah Emil disebut-sebut tak merestui hubungan itu. Emil kemudian menikah lagi dengan Abdullah Sidik Sukarty (1988—1992) dan untuk ketiga kalinya dengan Ussama Muhammad Al Hadar.
Era Emilia Contessa mulai redup memasuki dekade 1990-an. Namun, dia tak serta merta meninggalkan dunia musik. Dari panggung utama, dia kemudian lebih banyak berkecimpung dibalik layar. Di masa ini, Emilia Contessa membesut sejumlah penyanyi muda sebagai manajer. Salah satunya putri sulungnya sendiri, Denada, yang dikenal sebagai pionir penyanyi rap wanita Indonesia. Emil juga membina grup vokal (boyband) Cool Colours yang beranggotakan Ari Sihasale, Surya Saputra, dan Teuku Ryan. Setelah Teuku Ryan keluar pada 1997, dua personel baru masuk, yaitu Ari Wibowo dan Johandi Jahja. Hampir semua personel Cool Colours kemudian menjadi aktor film dan sinetron ternama Indonesia.
Setelah meninggalkan panggung hiburan, Emilia Contessa mencoba peruntungan di dunia politik. Sempat mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah sebagai calon bupati Banyuwangi pada 2010, namun gagal. Pada gelaran pemilu berikutnya, Emil kemudian maju sebagai senator mewakili Jawa Timur dan berhasil. Emilia Contessa terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari dapil Jawa Timur untuk periode 2014—2019 dengan torehan 1.660.542 suara.
Penyanyi sopran bersuara indah dengan aksi panggung yang memukau itu meninggalkan panggung untuk selamanya pada tahun ini. Emilia Contessa wafat pada 27 Januari 2025. Dari empat anaknya, hanya Denada, sang putra sulung, yang meneruskan jejaknya di bidang seni sebagai penyanyi.*
Comentarios