- Petrik Matanasi
- 28 Jan
- 8 menit membaca
Dr. J. Leimena (kiri) di Bandara Schipol saat menjadi ketua Komisi Militer delegasi RI dalam Konferensi Meja Bundar. (Repro Dr. Johannes Leimena Negarawan Sejati).
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) Subianto resmi berjalan sejak 6 Januari lalu. Pemerintah memastikan akan tetap mendanai sendiri program tersebut menggunakan APBN meskipun beberapa pihak termasuk badan usaha berminat menyokong dengan CSR mereka.
“CSR itu tidak akan digunakan untuk makan bergizi, tapi siapkan infrastruktur yang akan jadi mitra bagi Badan Gizi. Seperti juga pemda-pemda. SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi, red.) tetap dari kita. Dipastikan dari APBN, ya,” kata Dadan, dikutip kompas.com, 22 Januari 2025.
Sebagaimana banyak diberitakan sebelumnya, beberapa badan usaha menyatakan dukungan terhadap MBG dengan cara akan menggunakan CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Tak hanya swasta, beberapa pemerintah daerah juga bertekad mendukung MBG. Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga.
“Kami siapkan juga bagaimana BI mendukung program MBG. Jadi kami dukung program ini. Ini sangat bagus karena membentuk ekosistem keuangan ekonomi inklusif. Kami sedang bicarakan bagaimana tidak hanya kantor pusat tapi 46 kantor-kantor cabang sukseskan ini,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, diberitakan CNBC Indonesia, 22 Januari 2025.
Pemikiran Perry sejalan dengan pemikiran banyak ahli gizi, seperti Profesor Soekirman. Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, masalah gizi tak bisa diatasi tanpa adanya kerjasama lintas-sektor.
“Nggak bisa gizi ditangani oleh satu sektor, kesehatan. Nggak mungkin. Jadi pebaikan gizi tidak hanya kasih makan kasih susu. Perbaikan gizi itu ya perbaikan ekonomi, lapangan kerja, penyediaan hasil pertanian,” terang Soekirman kepada Historia.ID.
Pemikiran Soekirman sejatinya bukan hal baru. “Bapak kesehatan” Johannes Leimena dan rekannya sesama alumni STOVIA, “Bapak Gizi Indonesia” Poorwo Soedarmo, sudah memikirkan, bahkan mengupayakannya sejak negeri ini masih belia. Pemikiran tersebut tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Leimena ketika dipercaya mengomando Kementerian Kesehatan.
“Di sini lingkaran berbahaya yang terkenal itu ialah: kemiskinan à penyakit à bertambah kemiskinan à bertambah penyakit, harus dipatahkan, agar supaya kita dapat memperoleh suatu keadaan yang sehat, ialah: makanan yang lebih baik à bertambah tenaga à bertambah kekuatan kerja à hasil-hasil ekonomi menjadi lebih baik à bertambah produksi makanan dan à bertambah kemakmuran. Kita pun di Indonesia berhadapan dengan soal-soal produksi, distribusi, persediaan, cara mengerjakan dan menyediakan, dalam hal mana adat dan kebiasaan memegang peranan yang penting. Soal-soal produksi dan distribusi termasuk dalam lapangan pertanian dan perekonomian. Soal-soal penyimpanan, cara mengerjakan dan persediaan tidaklah semata-mata soal makanan belaka tetapi termasuk pula dalam lapangan industri, pertanian, dan pendidikan,” tulis Leimena dalam Kesehatan Rakjat di Indonesia: Pandangan dan Planning.
Leimena merupakan seorang dokter-nasionalis yang berjuang sedari muda. Kendati lebih dikenal sebagai politikus, kiprah pria kelahiran Ambon, 6 Maret 1905 itu dalam bidang kesehatan amat besar. Semua dimulai Leimena sejak lulus dari STOVIA pada 1930.
Sewaktu bekerja di Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ, kini RS Cipto Mangunkusumo), Leimena sempat ditugaskan ke Keresidenan Kedu untuk menangani korban usai Gunung Merapi meletus. Setelah pindah ke RS Immanuel di Bandung, bertanggung jawab dalam pelatihan perawat-perawat baru.
Terobosan penting lalu dibuatnya di Bandung. Kala itu masyarakat, yang mayoritas Muslim, enggan berobat ke RS Immanuel dan beberapa klinik yang didirikannya. Leimena yang tergerak lalu membuat sistem pengumpan. Sistem tersebut menggerakkan para bidan, tenaga kesehatan, dan klinik-klinik desa yang dijalankan mantri untuk menyediakan layanan kesehatan, terutama pencegahan penyakit, kepada masyarakat setempat. Dengan begitu, masyarakat jadi mau berobat. Upaya tersebut berjalan baik.
Kiprah Leimena berlanjut ketika Jepang berkuasa. Kendati sempat ditahan dan disiksa karena dianggap dekat Belanda, keberhasilannya mengobati seorang perwira Kenpeitai yang sakit malaria di Purwakarta membuatnya dibebaskan dan dipercaya menjadi Dokter Kepala RSU Tangerang hingga Jepang hengkang.
Tak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, Leimena dipercaya menjadi menteri muda kesehatan –menteri kesehatan dijabat dr. Boentaran Martoatmojo– di Kabinet Sjahrir II hingga kabinet-kabinet berikutnya. Namun kondisi perang tak memungkinkannya –dan menteri-menteri lain– bekerja efektif. Terlebih, kondisi negara yang masih “bayi” serba kekurangan, baik jumlah tenaga kesehatan, fasilitas, anggaran kesehatan maupun pengetahuan masyarakat.
Anggaran kesehatan sendiri, menururt Warren Katterer dalam “Village Polyclinics in Middle Java” seperti dikutip Hans Pols dalam Merawat Indonesia, 90 persen terpakai untuk perawatan kuratif. Hanya sedikit yang dipakai untuk mempromosikan pentingnya kesehatan di masyarakat (preventif). Leimena jelas tak mungkin bisa menangani semua hal secara bersamaan. Pemilahan kebutuhan berdasarkan urgensi mau tak mau dilakukannya.
“Dari kebutuhan multipel yang harus dipenuhi adalah hal-hal yang perlu dan penting sekali, dan yang seharusnyalah diselenggarakan dalam tahun-tahun yang akan datang,” kata Leimena.
Leimena dan para menteri baru bisa fokus bekerja setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949. Namun kala itu beban yang mesti dihadapi jelas lebih berat karena empat tahun sebelumnya praktis masalah-masalah lama ditambah masalah yang baru, tak tuntas atau bahkan sama sekali tak tertangani. Beban itu masih ditambah dengan banyak tenaga ahli kesehatan orang Belanda pulang ke negerinya. Dalam kondisi seperti itulah Leimena mesti membenahi dan membangun sektor gizi dan kesehatan secara umum.
Toh kondisi serba kekurangan dan luasnya cakupan bidang yang mesti ditanganinya tak membuat Leimena patah arang. Baginya, solusi terpenting untuk menangani semua problem sekaligus membangun urusan gizi dan sektor kesehatan secara umum adalah pembangunan fondasi, yakni dengan membuat semacam blue print.
“Dr. Leimena mencetuskan satu gagasan sistem pelayanan kesehatan di tingkat primer yang terkenal dengan Bandung Plan (1951). Gagasan ini diadopsi oleh WHO sebagaimana dapat dibaca dalam salah satu WHO Reports Series pada era 1950-an. Gagasan inilah yang kemudian diadopsi sebagai gagasan pengembangan sistem pelayanan kesehatan tingkat primer dengan membentuk unit-unit organisasi fungsional dari Dinas Kesehatan Kabupaten di tiap kecamatannya, yang mulai dikembangkan sejak tahun 1969/1970 dan disebut PUSKESMAS, yang dipimpin oleh dokter,” tulis Gottlieb Sihombing dalam “Kesehatan Masyarakat bagi Peningkatan Kesehatan untuk Rakyat”, termuat dalam Dr. Johannes Leimena Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani.
Bandung Plan, sering juga disebut Leimena Plan, mengadopsi sistem pengumpan yang pernah dibuat Leimena di Bandung semasa kolonial dan bertopang pada dua pilar: kuratif dan preventif. Dengan melibatkan masyarakat, Bandung Plan akan lebih memudahkan kerja penanganan gizi dan sektor kesehatan yang lebih umum.
“Dengan pendek kata, prinsip daripada apa yang lazim disebutkan ‘Bandung-plan’ ini ialah: suatu integrasi daripada upaya preventip dan kuratip. Usaha ini diselenggarakan oleh Pemerintah (pusat dan daerah) dengan bekerja sama yang erat dengan masyarakat setempat. Pada hakekatnya tiap-tiap usaha di lapangan kesehatan, terutama di lapangan preventip tidak akan mencapai hasil yang besar jika masyarakat tidak turut serta dalam memperjuangkan dan penyelenggaraannya,” jelas Leimena.
Bandung Plan dimulai pada 1954 dengan mengambil Bandung sebagai proyek percontohan. Dalam rencananya, setelah Bandung berhasil maka daerah-daerah lain akan mengikutinya.
“Rencana Bandung tidak dapat dilaksanakan serentak di seluruh kabupaten di Indonesia, sehingga perlu dilaksanakan pemilihan kabupaten yang akaan dimasukkan dalam program tersebut. Rencana Leimena tersebut (1954-1960) akhirnya tersusun sebagai berikut: dalam tahun pertama, setiap kabupaten yang telah terpilih akan mendapatu suatu pusat kesehatan di suatu kecamatannya. Kemudian, setiap dua tahun sekali ditambah lagi dengan sebuah pusat kesehatan lain di kecamatan lain pula. Di ibu kota kabupaten, pada awal tahun akan dibangun sebuah rumah sakit pembantu dan lima tahun sekali ditambahkan dengan sebuah lagi. Rencana Leimena juga merencanakan pemberantasan penyakit menular dan penyakit rakyat. Rencana Leimena lainnya yang menarik ialah ‘kesehatan lingkungan hidup’, yaitu usaha untuk mengawasi faktor-faktor di alam sekeliling manusi yang mempengaruhi kehidupan, agar tidak membahayakan kesehatan,” tulis Profesor Sujudi, menteri kesehatan di Kabinet Pembangunan VI, dalam “Dr. Leimena, Seorang Perencana Kesehatan Masyarakat Sepanjang Masa”.
Dalam kaitan itu, Leimena memberi perhatian besar terhadap soal kesehatan ibu dan anak. Pada 1950-an, kondisi kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih memprihatinkan. Angka kematian keduanya amat tinggi. Penyebab terpentingnya lantaran buruknya gizi yang ada pada mereka.
“Tingginya angka kematian ibu, selain daripada suatu economic loss, berarti pula suatu ‘sociologische breuk, oleh karena ibulah yang mengasuh dan turut mendidik anak-anaknya,” tulis Leimena.
Salah satu langkah yang diambilnya guna memperbaiki gizi dan pada akhirnya kesehatan ga ibu dan anak, yakni mendirikan Balai Kesehatan Ibu dan Anak pada 1951. Tanpa kesehatan baik ibu dan anak sebagai generasi penerus, baginya mustahil pembangunan negara-bangsa bisa berjalan baik.
“Usaha ini disebutkan juga ‘mother and child health care’. Dalam perkataan ‘health-care’ ini tersimpul suatu integrasi daripada usaha kuratip dan preventip, ialah memberikan perawatan kepada ibu dan anak yang sakit, berusaha supaya mereka terhindar dari serangan penyakit dan menjaga supaya mereka menjadi lebih sehat. Usaha-usaha mencapai maksud ini, sudah jelas, tidak terbatas pada urusan kesehatan saja, tetapi harus digandengkan dengan usaha-usaha lain di lapangan sosial-ekonomis. Juga di sini aktivitet-aktivitet medis harus sejalan bersama-sama dengan aktivitet-aktivitet sosial-ekonomis, dan sebaliknya,” tulis Leimena.
Namun, gizi tak hanya menyasar ibu dan anak, tetapi lebih luas yakni seluruh rakyat Indonesia. Untuk menangani gizi yang masih buruk itu, Leimena berperan dalam pendirian Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada 1950. Leimena pula yang menunjuk Poorwo Soedarmo, seniornya di STOVIA yang ahli gizi, menjadi kepala LMR.
Di bawah payung LMR, Poorwo “tancap gas” mengatasi kondisi gizi rakyat yang buruk. Apa yang akan dilakukan Poorwo mencakup: Survey keadaan gizi, membuat pemerintah, dokter-dokter, dan masyarakat soal nutrition minded (sadar gizi), memperbaiki pelayanan makanan di rumah-rumah sakit, dokter diajak mempelajari up to date nutrition (gizi masa kini) dan secara konsekuen memasukkan nutrisi di dalam diagnosis dan terapi, mengembangkan dietetika, membentuk kader dan mengarahkan pemerintah kepada suatu National Food Policy. Demi ketersediaan ahli gizi, sejak era 1950-an sekolah dan akademi gizi pun diadakan.
Poorwo gencar menekankan masalah kekurangan gizi di Indonesia dalam banyak pertemuan. Harian Indisch Courant voor Nederland (30 Januari 1957) menyebut, dalam pertemuan di Semarang bersama Profesor Werthem dan Profesor Iso Reksohadiprodjo, Poorwo menyampaikan tentang kekurangan bahan pangan di Indonesia dan keadaan itu rawan penyakit macam busung lapar di daerah yang kurang sejahtera dan penduduknya miskin.
Untuk memperbaiki gizi, Poorwo berkeyakinan mesti dimulai dari perubahan pola makan dan apa yang dimakan oleh masyarakat. Untuk mempermudah penyampaian pandangannya sehingga bisa dipahami masyarakat, Poorwo merumuskan pola makan yang dinamainya 4 Sehat 5 Sempurna.
“Untuk usaha pendidikan gizi diperlukan suatu poster/slogan. Dikerjakan dengan usaha diskusi dengan tenaga-tenaga yang ada di LMR (Belanda dan Indonesia). Poster berhasal dari berbagai negeri seperti Basic 5, Basic 6, Basic 7 dan lain-lain. Semua didiskusikan dan akhirnya ditemukan poster/slogan 4 Sehat 5 Sempurna,” ujar Poorwo dalam Gizi dan Saya.
Slogam 4 Sehat 5 Sempurna merupakan penggambaran komposisi menu sehat yang ideal, terdiri dari makanan pokok berikut komponen pendukung seperti lauk-pauk dan disempurnakan dengan susu sebagai sumber protein hewani dan vitamin.
Setelah LMR, pemerintah membuat Panitia Negara Perbaikan Makanan (PNPM) pada 1952. PNPM berkembang menjadi Dewan Bahan Makanan pada 1958.
“Lembaga makanan Rakjat yang sebenarnya menjadi tulang-punggung dari PNPM akan turut serta dalam pemecahan soal-soal yang kompleks yang berhubungan rapat dengan masalah perbaikan makanan rakyat di Indonesia, termasuk soal penerangan kepada rakyat,” tulis Leimena.
Namun, situasi politik era 1950-an yang tidak stabil di samping minimnya anggaran yang dimiliki negara membuat kiprah Leimena dalam menangani dan membangun gizi serta bidang-bidang kesehatan lain di Indonesia tak bisa terus berlanjut. Bandung Plan sendiri baru berjalan sedikit namun harus ditinggal sang penggagas karena jatuh-bangunnya kabinet membuat Leimena tak lagi menjadi pejabat yang mengurusi kesehatan. Setelah Demokrasi Terpimpin dijalankan Sukarno dan Leimena diangkat menjadi wakil perdana menteri, praktis fokus Leimena pada urusan gizi dan kesehatan mesti ditinggalkan karena dia menangani urusan yang lebih besar. Upaya perbaikan gizi dan bidang-bidang kesehatan lain dipegang para penggantinya. Dengan “politik sebagai panglima” yang diusung pemerintahan Sukarno, praktis upaya perbaikan gizi pun “terabaikan”.
Jauh setelah Leimena tak memegang langsung urusan gizi dan kesehatan, urusan gizi baru mulai serius dibenahi pemerintahan Orde Baru. Orde Baru yang berorientasi ekonomi dan berdiri di atas modal asing, sangat terbantu dengan kehadiran perusahaan-perusahaan asing maupun perusahaan-perusahaan konglomerat Indonesia. Kehadiran mereka menjadikan banyak tenaga kerja terserap. Penghasilan yang baik dari tiap tulang punggung keluarga berpangaruh penting pada perbaikan gizi masyarakat, di mana masing-masing kepala keluarga membenahi pola makan keluarga masing-masing.
“Pola dasar pembinaan kesehatan masyarakat yang disusun oleh Dr. Leimena, atau ‘Rencana Leimena’ dipakai pula sebagai pola dasar pengembangan kesehatan Orde Baru. Adanya ‘Rencana Leimena’ tersebut sangat mempermudah Orde Baru, baik dalam penyusunan program lima tahunnya maupun dalam hal melaksanakannya,” tulis Sujudi.
Dalam memperbaiki gizi bangsa, Orde Baru juga melanjutkan banyak program pemerintahan sebelumnya. Selain diversifikasi pangan, 4 Sehat 5 Sempurna juga dilanjutkan. Hingga akhir zaman Orde Baru, 4 Sehat 5 Sempurna masih mendengung kuat. Namun perkembangan zaman akhirnya mengharuskan 4 Sehat 5 Sempurna memberikan tempatnya pada Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
“Empat Sehat Lima Sempurna itu kan hanya mencerminkan keberagaman makanan: nasi, sayur, lauk, buah dan susu. Pedoman Gizi Seimbang itu memberi gizi yang lebih kompleks,” ujar Profesor Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Khomsan kepada Historia.ID, yang menjelaskan bahwa PGS lebih dari cerminan keberagaman makanan, tapi juga mengarahkan masyarakat untuk mengukur makanan sesuai kebutuhan tubuh.
Kondisi gizi masyarakat Indonesia terus membaik setelah Orde Baru. Kendati hingga kini masalah gizi buruk masih tetap ada, yang coba diatasi Prabowo dengan MBG, secara umum kondisi gizi masyarakat telah lebih baik dibanding ketika Leimena merintis upaya penanganannya. Bila dulu masalah gizi buruk akibat malnutrisi maupun kelaparan yang menjadi tantantang utama para ahli gizi, saat ini ahli gizi lebih disibukkan menangani bahaya baru yang timbul dari makanan seperti obesitas dan bermacam penyakit lain.
Pendek kata, kendati tak berhasil menuntaskan pembuatan fondasi pembangunan kesehatan dan perbaikan gizi, gagasan brilian dan langkah-langkah Leimena menjadi warisan berharga bagi bangsa hingga kini. Tak hanya lembaga-lembaga dan sekolah-sekolah untuk peningkatan gizi masyarakat yang didirikan di zamannya, sistem, pemikiran, dan spirit Leimena juga merupakan warisan berharga yang tak ternilai. Semua jadi pijakan bagi berbagai upaya perbaikan gizi generasi-generasi setelahnya.*
Comments