- Hendri F. Isnaeni
- 14 Apr 2020
- 3 menit membaca
Panglima pasukan Mataram yang baru, Tumenggung Sura Agul-Agul tiba di Batavia untuk menggantikan Tumenggung Baureksa yang mati bersama dua putranya dalam pertempuran pada 21 Oktober 1628.
Tumenggung Sura Agul-Agul didampingi dua bersaudara panglima lapangan, Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Mereka datang dengan harapan besar Batavia telah ditaklukan sehingga tinggal mengumpulkan harta rampasan. Mereka tercengang melihat keadaan yang sebenarnya.
"Apa yang akan saya bawa untuk raja saya, raja Mataram," kata Mandurareja.
Karena tidak mungkin merebut Batavia dengan penyerangan mendadak, Mandurareja menggunakan cara yang berhasil mengalahkan Surabaya, yaitu membendung sungai. Ribuan prajurit dikerahkan, namun VOC telah mengantisipasinya sehingga cara itu gagal.
Pasukan Mataram kemudian melakukan usaha terakhir untuk merebut benteng Hollandia pada malam 28 November 1628. Namun, serangan 100–300 prajurit itu tepergok serdadu VOC. Beberapa prajurit ditembak mati, sisanya melarikan diri.
Oleh karena itu, menurut ahli sejarah Jawa, H.J. de Graaf, pada 1 Desember 1628, Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan mengikat Mandurareja dan Upa Santa berikut anak buahnya. Melalui pengadilan dan atas perintah raja Mataram, ia menjatuhkan hukuman mati karena Mandurareja dan Upa Santa tidak bertempur mati-matian dan Batavia tidak ditaklukan. Beberapa dipenggal kepalanya, kebanyakan ditusuk dengan tombak dan keris.
"Mungkin panglima-panglima inilah yang dipenggal kepalanya, sedangkan yang rendahan ditusuk mati dengan tombak dan keris," tulis De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram.
Ketika pasukan Mataram meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628, ratusan mayat dibiarkan berserakan di tanah.
"VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala," tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.
Eksekusi Mandurareja dan Upa Santa menimbulkan keresahan di istana Mataram. Pasalnya, kedua panglima itu adalah keturunan dari patih Adipati Mandaraka yang termasyhur, pembantu utama Panembahan Senapati, pendiri Mataram dan kakek Sultan Agung. Bahkan, keturunannya menjadi juru kunci pemakaman penguasa dan keluarga Mataram di Imogiri.
Sultan Agung menolak bertanggung jawab atas eksekusi itu. Ia berkata kapada Tumenggung Sura Agul-Agul bahwa yang dimaksud bukan membunuh Mandurareja dan Upa Santa melainkan pengikutnya. Tumenggung Sura Agul-Agul pun harus menebus kekeliruan yang fatal itu. Ia bersama banyak bangsawan dihukum mati atas kegagalannya merebut Batavia.
Lolos dari Hukuman Mati
Serangan kedua Mataram ke Batavia pada 1629 kembali gagal. Baik setelah serangan pertama maupun kedua, Sultan Agung memerintahkan untuk menghukum semua orang yang pulang dengan kegagalan. Untuk itu, semua jalan dan pintu gerbang tol dijaga agar tidak seorang pun dapat kembali pada keluarganya.
Tumenggung Singaranu, panglima pasukan Mataram pada serangan kedua, telah mengetahui gelagat itu. Ia menahan sisa pasukannya yang menurut perkiraan masih sekitar 10.000–14.000 orang. Sebagian besar dari prajurit-prajurit ini adalah rakyat Mataram sendiri yang dikumpulkan dari berbagai daerah.
"Dengan pengikut-pengikutnya," tulis De Graaf, "ia menarik diri di antara tembok-tembok yang luas dan mengambil sikap mengancam karena melihat kekerasan yang terjadi sebelumnya terhadap panglima-panglima yang dianggap gagal."
Namun, untuk mendapatkan pengampunan Sultan Agung, Singaranu mengirimkan istri, selir, dan anak-anaknya. Ia juga mengirimkan senjatanya sebagai tanda akan tunduk terhadap keputusan raja.
"Raja memperlihatkan kemurahan hatinya, lebih-lebih karena putri Singaranu adalah yang paling cantik dan manis dari istri-istri raja, dan istri ini dapat mengetuk hati raja," tulis De Graaf.
Sultan Agung pun menyuruh istri, selir, dan anak-anak Singaranu untuk pulang kembali. Ia mengampuni Singaranu dengan syarat selama tiga tahun tidak diperbolehkan berhadapan muka dengan raja. Kemungkinan Singaranu tidak menempati posisinya lagi, karena sejak tahun 1630 Tumenggung Danupaya disebut sebagai orang yang mewakili kedudukan raja.
Teman sejawat Singaranu, Raden Aria Wira Nata Pada juga lolos dari segala hukuman. Namun, tidak ada keterangan mengenai nasib Kiai Adipati Singenep.
Apakah sikap lunak Sultan Agung terhadap para panglimanya itu karena sikap berani Singaranu?
"Menurut saya," kata De Graaf, "masuk akal bahwa Sultan Agung setelah dua kali gagal mulai insaf bahwa hukuman-hukuman [kejam] semacam itu tidak ada gunanya, bahkan membahayakan."
Comments