top of page
...

Kaa Bikin Gerah Amerika

_

Oleh :
...
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

KEBERHASILAN Amerika Serikat mengajak Kanada dan 10 negara Eropa Barat membentuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, tak menjamin negeri berjuluk “Paman Sam” itu sukses di wilayah-wilayah lain. Di Asia Tenggara, Amerika yang khawatir hegemoninya disaingi Uni Soviet usai Perang Dunia II, gagal melakukan hal serupa dalam membendung penetrasi komunisme. Itu antara lain dibuktikan dengan munculnya pemberontakan komunis di Burma (Myanmar).


Kendati telah memiliki Thailand sebagai sekutu di Asia Tenggara, Amerika mengganggap ancaman penetrasi komunisme masih tetap tinggi. Menambah kawan di kawasan tersebut maka dianggap amat perlu.


Indonesia dianggap potensial untuk dijadikan kawan. Selain merupakan negara terbesar di kawasan dengan kekayaan tinggi dan letak amat strategis, Indonesia pada awal 1950-an sedang dilanda konflik internal yang dapat memicu perpecahan. Perampingan dan rasionalisasi TNI yang dilakukan pada akhir dekade 1940-an turut memicu munculnya Peristiwa 17 Oktober 1952, sebuah gerakan protes militer pada pemerintah yang dipimpin KSAD Kolonel AH Nasution. Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, Peristiwa 17 Oktober memantik perpecahan politik antara kelompok komunis, nasionalis, dan kelompok militer pusat. 


“Situasi di atas membuat pemerintahan Eisenhower sadar betul akan pentingnya Indonesia bagi A.S. dan negara-negara non-komunis lain. Nilai penting Indonesia erat terkait dengan letaknya yang strategis dan besarnya sumber alam,” tulis Baskara.


Mulanya, Amerika menaruh harapan besar agar Indonesia berkenan berada di barisan Blok Barat. Toh Amerika turut aktif jadi “penengah” dalam diplomasi terkait sengketa Irian Barat (1950-1962) antara Indonesia dengan Belanda. Belum lagi pada 5 Januari 1952 Kabinet Sukiman-Suwirjo meneken perjanjian paket bantuan ekonomi dalam Mutual Security Act (MSA) meski kemudian itu dianggap mencederai politik bebas-aktif yang diusung Indonesia. 


“Kabinet Sukiman menandatangani perjanjian MSA. MSA secara jelas menyebut klausul bahwa paket bantuan ekonomi harus dikaitkan dengan kepentingan Amerika. Akibatnya fatal, kabinet Sukiman harus demisioner pada Februari 1952 karena dianggap pengkhianatan terhadap prinsip politik luar negeri ‘Bebas dan Aktif’. Wapres Mohammad Hatta dalam suratnya kepada Dubes Indonesia di Washington Ali Sastroamidjojo menyebut tindakan Menlu Ahmad Soebardjo (yang meneken MSA, red.) dianggap diplomasi rahasia tanpa membicarakan dengan menteri-meteri lainnya,” ungkap Sigit Aris Prasetyo dalam Go to Hell with Your Aid! Pasang-Surut Hubungan Sukarno dengan Amerika Serikat.


Bung Karno Menolak SEATO

Beberapa bulan berselang usai lahirnya NATO pada 4 April 1949 untuk membentengi Eropa dari komunisme Soviet, Republik Rakyat China (RRC) berdiri pada 1 Oktober 1949. Ancaman komunis pun meluas tak hanya dari Soviet, khususnya di Asia Tenggara.

Ancaman komunisme yang berangkat dari China begitu terasa saat Beijing memberi sokongan senjata dan pasukan pada Korea Utara dalam Perang Korea (1950-1953).


Maka pemerintahan Presiden Truman ingin Amerika turut hadir “mengawal” kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dengan lebih dulu merangkul sekutunya di kawasan Oseania, Australia dan Selandia Baru, pada 1951. Menurut Men Honghua dalam Order of East Asia: Regional Transformation, Competition Among Main Powers and China’s Strategy, langkah itu jadi landasan Amerika untuk kemudian mengundang sejumlah negara melalui pertemuan setingkat menteri luar negeri di Manila pada medio September 1954. 


“Pertemuan antar-menteri luar negeri itu dihadiri (wakil) Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Selandia Baru, Filipina, Thailand, dan Pakistan untuk kemudian sama-sama menandatangani Asia Collective Defense Treaty yang mendorong setiap pihak secara bersama-sama menjaga dan mengembangkan kapabilitas kolektif melalui kemitraan yang sustainable untuk menangkal serangan-serangan dan mencegah aktivitas-aktivitas subversif dari pihak ketiga terhadap integritas teritorial dan stabilitas politik,” tulis Men Honghua.


Persetujuan yang kemudian dikenal sebagai Traktat Manila itu lantas jadi pijakan Amerika –yang mulai dipimpin Presiden Eisenhower– membentuk organisasi keamanan transnasional Southeast Asia Treaty Organization (SEATO). Secara resmi, persekutuan regional ala NATO di kawasan Asia Tenggara untuk membendung komunisme itu dibentuk di Bangkok pada 19 Februari 1955. 


Persekutuan antikomunis “aneh” di Asia Tenggara –dengan hanya dua dari delapan anggotanya yang negara Asia Tenggara, yakni Thailand dan Filipina– itu jelas tak sejalan dengan sikap politik internasional Indonesia. Presiden Sukarno menolak ajakan Amerika agar Indonesia bergabung ke SEATO dengan alasan yang sama: politik bebas dan aktif. Dengan mencermati arah politik dunia Bung Karno justru mengarahkan kebijakan Indonesia cenderung merapat ke negara-negara yang dianggap netral tapi punya kepentingan terhadap isu-isu perdamaian, anti-kolonialisme, dan solidaritas negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika seperti ikut serta dalam Konferensi Kolombo pada 28 April-1 Mei 1954. 


“Selain kurang antusias bergabung SEATO, Sukarno dan beberapa tokoh nasional tidak sepenuhnya percaya agenda perang Presiden Eisenhower menghadapi komunisme. Kelompok nasionalis menganggap Amerika munafik atau bermuka dua terhadap gerakan nasionalisme di Asia. Washington tidak mendukung penuh gerakan nasionalisme negara-negara yang menuntut kemerdekaan dari kolonialisme Eropa. Kelompok komunis (PKI) lebih keras menentang SEATO,” sambung Sigit. 


Penolakan Indonesia jadi pukulan besar bagi SEATO. Sikap Indonesia itu dianggap membuat strategi SEATO membendung komunisme di Asia Tenggara menjadi kurang efektif. 


Indonesia sendiri justru menggalang sebuah “kekuatan” baru yang menimbulkan anxiety Amerika dengan menjadikan Konferensi Kolombo sebagai pijakan bagi agenda global yang lebih besar, yakni Konferensi Asia Afrika (KAA). Dihelat di Bandung pada 18-24 April 1955, pertemuan akbar negara-negara dunia ketiga itu dihadiri 29 negara asal Asia dan Afrika. Karena sifatnya terbuka, netral, dan non-militer, KAA juga mengundang Pakistan, Thailand, dan Filipina yang notabene anggota SEATO. 


“Sewaktu Perang Dingin menjalar ke Asia Tenggara, maka di kawasan itu nampak dua konsepsi kerja sama regional yaitu persekutuan militer (SEATO) dan kerja sama regional non-militer yang dirintis di New Delhi (Konferensi Hubungan Asia 1947, red.), dilanjutkan di Konferensi Kolombo dan Bogor (Konferensi Panca Negara/KNP pada Desember 1954) yang kemudian memuncak dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung,” ungkap A. Kardiyat Wiharyanto dalam Sejarah Asia Tenggara: Dari Awal Tumbuhnya Nasionalisme sampai Terbangunnya Kerja Sama ASEAN.


Kecemasan Menerpa "Paman Sam"

Sudah semenjak Konferensi Kolombo Amerika dilanda kecemasan berlebih. Maka ketika kabar KAA tengah dipersiapkan, kecemasannya berlebihnya kian menjadi-jadi. Pasalnya, KAA juga akan mengundang negara-negara “kiri” seperti Vietnam Utara dan RRC yang juga seteru Amerika –selain juga Uni Soviet– dalam era Perang Dingin itu. Kegelisahan Amerika juga disebabkan adanya potensi Uni Soviet dan China untuk mengikuti konferensi.


Amerika begitu curiga Uni Soviet dan China akan “menunggangi” KAA untuk mengkomuniskan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain. Itu antara lain disampaikan Menlu Dulles di National Security Council pada Desember 1954. Menlu Dulles bahkan menyatakan siap berkoordinasi dengan sekutu “Paman Sam” di kawasan itu, yakni Australia dan Selandia Baru, untuk mengerahkan pasukan. 


“Presiden Eisenhower yang hadir dalam pertemuan itu, menyatakan persetujuan atas usulan Dulles. Jika perlu mengirimkan kekuatan militernya untuk mencegah Indonesia tidak bergabung dengan Blok Komunis. Di akhir diskusi, antara serius dan bercanda, Eisenhower mengatakan: ‘Ngomong-omong, dengan uang berapa juta dolar, kira-kira huru-hara macam apa yang kita bisa timbulkan di Indonesia sekiranya negara itu makin condong ke kubu Komunis?’,” sambung Baskara. 


Adanya info bahwa Perdana Menteri (PM) China Zou Enlai akan menghadiri KAA di Bandung memunculkan dugaan CIA, badan intelijen Amerika, merencanakan sabotase dan percobaan pembunuhan terhadap petinggi China tersebut di pesawat sewaan Air India AI300 “Kashmir Princess” pada 11 April 1955. Pesawat komersial berjenis Lockheed L-749A Constellation itu punya rute Bombay-Jakarta dan rombongan PM Zhou mulanya dijadwalkan akan menaikinya saat pesawat transit di Hong Kong. 


Menurut Mayumi Itoh dalam The Making of China’s Peace with Japan: What Xi Jinping Should Learn from Zhou Enlai, PM Zhou akhirnya urung naik pesawat itu. Hanya kelompok pertama rombongan serta seorang sopir pribadi PM Zhou yang naik pesawat itu. Ketika pesawat sedang mengudara di atas perairan Kepulauan Natuna, sekira pukul 4.25 petang pada 11 April pesawat itu meledak dan jatuh ke laut. 


“Lima jam setelah pesawat Kashmir Princess berangkat dari Hong Kong, pesawatnya meledak akibat bom waktu, menewaskan 16 penumpang, termasuk 11 wartawan China dan sopir Zhou. Hanya tiga kru yang selamat. Kementerian Luar Negeri China menuding insiden itu merupakan konspirasi dari Partai Nasionalis China (KMT) dan CIA,” tulis Itoh. 


Tudingan itu bukan tanpa alasan. Beberapa sumber menyebutkan, PM Zhou batal naik pesawat itu disebabkan penyakit usus buntunya kambuh. Namun, lanjut Itoh, Kemenlu China menyatakan bahwa mereka sudah mengendus percobaan pembunuhan PM Zhou sejak 9 April. Kemenlu China lantas pada 10 April memanggil perwakilan Inggris untuk China, John Mansfield Addis, untuk meminta konsulat Inggris di Hong Kong itu memperingati otoritas Hong Kong. 


Kepolisian Hong Kong akhirnya menciduk Chow Tse-ming alias Zhou Ju, petugas kebersihan perusahaan Hong Kong Aircraft Engineering Co. yang ditengarai menerima suap dari agen-agen KMT untuk menanam bom waktu di pesawat Kashmir Princess. Alasan kuat lainnya adalah ditemukannya sisa-sisa detonator bom waktu MK-7 buatan Amerika di lokasi jatuhnya pesawat. 


CIA dan pemerintah Amerika tentu membantah. Namun pada medio 1975, dalam investigasi Senat Amerika melalui Komite Church, CIA mengakui bahwa pihaknya mendapat info akan ada upaya pembunuhan terhadap PM Zhou oleh agen-agen KMT. 


“Direktur CIA William Colby tidak membantah bahwa agennya mengetahui ada dua percobaan pembunuhan terhadap Zhou. Kala itu Kantor Kolonial Inggris menyampaikan informasi bahwa Nasionalis China menyuap seorang pegawai bandara setelah mengetahui bahwa Zhou akan berangkat dengan pesawat itu. Setelah percobaan pertama itu gagal, Nasionalis China menotifikasi CIA bahwa mereka berencana membunuh pemimpin China itu lagi dalam perjalanannya ke Kamboja walau batal pula karena agen mereka kadung tertangkap. Colby mengakui bahwa ada relasi dalam kepentingan keamanan dan intelijen antara CIA dengan intelijen Nasionalis China, namun dalam kasus (percobaan pembunuhan Zhou), Colby menyatakan pihak Nasionalis China bertindak sendiri,” terang Luca Trenta dalam President’s Kill List: Assasination and US Foreign Polcy since 1945.


PM Zhou yang selamat baru benar-benar berangkat pada 14 April bersama kelompok kedua rombongannya, termasuk di dalamnya Wakil PM Chen Yi, menggunakan maskapai Air India dari Kunming. Dalam perjalanan, Zhou menyempatkan diri mampir ke Rangoon untuk memenuhi undangan PM Myanmar U Nu selain juga bertemu rombongan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan PM India Jawaharlal Nehru yang sama-sama transit di Rangoon sebelum menghadiri KAA di Bandung. 


Dalam hampir sepekan penyelengaraan KAA (18-24 April 1955), faktanya apa saja yang dikhawatirkan Amerika tidak terjadi. Dalam pembahasan isu-isu anti-imperialisme dan gejolak dunia, kecaman negara-negara dunia ketiga tidak secara langsung ditujukan kepada Amerika dan Soviet sebagai pentolan dua kubu yang berseteru di Perang Dingin hingga menyebabkan ketegangan internasional. 


Menurut Baskara, Nehru dan pemimpin-pemimpin non-blok dalam konferensi tersebut berhasil meyakinkan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk tetap tidak berpihak dalam Perang Dingin. PM Zhou juga menekankan kesiapan China untuk meredakan tensi dengan Amerika, terutama menyangkut Taiwan, dalam perundingan diplomatik. 


“Pemerintahan Eisenhouwer merasa senang dengan hasil konferensi. Evaluasi Departemen Luar Negeri A.S. menyatakan bahwa KAA telah ‘menghasilkan prinsip-prinsip penting yang menguntungkan Blok Barat dan secara umum tidak mengandung pernyataan anti-Barat atau pro-Komunis.’ Eisenhower merasa puas bahwa KAA tidak mengusik ‘keseimbangan’ antara Blok Barat dan Blok Timur dalam kontestasi Perang Dingin. Media massa Amerika menggemakan reaksi positif ini, menandakan betapa pentingnya pernyataan Zhou bagi Amerika,” tandas Baskara.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page