top of page
Urban

Kaum Papa Tionghoa dari Benteng Tangerang

Tak sengaja terdampar di muara Sungai Cisadane, orang Tionghoa kemudian bersama Tionghoa dari Batavia membentuk komunitas di Tangerang. Mereka disebut Tionghoa Benteng.

Oleh :
21 Juli 2024
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Koh Bun Tin dan Cik Kaka adalah keturunan komunitas Tionghoa Benteng, Tangerang. Mereka tinggal di rumah sederhana di Pasar Lama, Tangerang yang difungsikan menjadi warung teh dan kopi. (Ichwan Susanto/Historia.ID).

KAPAL rombongan Tjen Tjie Lung, saudagar Tionghoa, hampir sampai di pelabuhan Jayakarta pada 1407. Sayangnya, kapal mereka rusak sehingga harus berlabuh di muara Sungai Cisadane (sekarang Teluk Naga). Tjen, ditemani sembilan gadis dalam rombongan, lantas menghadap penguasa setempat, Sanghyang Anggalarang, untuk meminta bantuan.


Gadis-gadis itu menarik perhatian para pembesar kerajaan. Mereka pun menikahinya. Sebagai imbalan, rombongan Tjen diberi sebidang tanah di sebelah timur Sungai Cisadane. Ini menjadi gelombang awal pemukim Tionghoa di Tangerang.


Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menduduki wilayah itupada abad ke-16. Sebuah benteng –dinamakan Benteng Makassar– dibangun untuk melindungi wilayah itu dari serangan musuh. Karena tak suka dengan aturan VOC, beberapa orang Tionghoa keluar dari Benteng Makassar dan mendirikan permukiman.



Di Batavia, orang Tionghoa juga menerima tekanan VOC. Mereka dibantai pada 1740. Akibatnya, sebagian yang masih hidup harus keluar tembok kota, mencari permukiman baru. Salah satu yang dituju adalah wilayah di sekitar muara Sungai Cisadane. Mereka bergabung dengan orang Tionghoa yang bermukim di luar Benteng Makassar. Kelak mereka disebut sebagai Cina Benteng.


Di sana mereka bekerja sebagai petani, nelayan, dan peternak. Kondisi ekonomi mereka pas-pasan seperti kebanyakan penduduk setempat. Banyak dari mereka mengawini perempuan setempat. Akulturasi budaya pun tercipta. Baju pengantin mereka perpaduan budaya Tionghoa dan Betawi. Keturunan mereka berbahasa Melayu Pasar, bukan Tiongkok.


Mona Lohanda, sejarawan sekaligus keturunan Tionghoa Benteng, mengatakan, hubungan mereka dengan penduduk setempat sangat harmonis. Leluhurnya memberi hadiah Lebaran kepada orang Betawi muslim, pun sebaliknya saat Imlek. Dia masih ingat ketika ayahnya, yang membuka toko, diberi hadiah saat Imlek. “Ketika warga datang ke toko Papa, mereka memberi kami oleh-oleh makanan ringan.”



Sekarang, banyak Tionghoa Benteng hidup di bawah garis kemiskinan. Tak dipungkiri ada juga yang kaya. “Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan lebih banyak orang Tionghoa Benteng miskin daripada yang kaya,” tulis Edi Purwanto dalam disertasinya, “Kompleksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng”.


Hubungan harmonis itu sempat rusak karena Peristiwa Tangerang pada 23 Juni 1946. Akibat provokasi NICA, rumah-rumah Tionghoa dirusak dan dijarah. Para pemimpin Republik sampai harus turun tangan untuk meredakan konflik. Orang Tionghoa terpaksa mengungsi, dan ketika kembali harus menata hidup lagi dengan kondisi kian papa. 64 tahun kemudian, mereka nyaris terancam akibat ambisi pemerintah kota untuk apa yang disebut “penertiban”.*


Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

Comentários

Avaliado com 0 de 5 estrelas.
Ainda sem avaliações

Adicione uma avaliação

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page