top of page
Ekonomi

Perang Koncang di Rangkasbitung

Di Sumatra Barat ada Perang Kamang, di Rangkasbitung ada Perang Koncang. Perlawanan rakyat karena menolak bayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda.

Oleh :
7 Oktober 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

KAMPUNG Koncang terletak di Desa Sumurbandung, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pada masa Hindia Belanda, dalam pembagian wilayah Karesidenan Banten tahun 1828, Onderdistrict Koncang merupakan bagian dari District Lebak Parahiang.


Pada zaman penjajahan Belanda itu pernah terjadi peristiwa penting yang tak banyak diketahui orang, yaitu Perang Koncang. Peristiwa ini terekam dalam sastra lisan sebagaimana disebut Yetty Kusmiyati Hadish, dkk., dalam Sastra Lisan Sunda: Mite, Fabel, dan Legende (Proyek Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1979).


"Di Banten terdapat tempat-tempat, gunung, sungai yang melahirkan berbagai cerita lisan, baik yang berlatar belakang perkembangan sejarah Banten maupun yang berdasarkan kepercayaan penduduk. Di antaranya … yang bertalian dengan penjajahan seperti 'Perang Koncang' di Rangkasbitung," tulis Yetty.


Sayangnya, buku Yetty itu tidak memuat sastra lisan Perang Koncang tersebut, yaitu perlawanan rakyat karena menolak bayar pajak. Dalam sejarah, perlawanan yang terkenal karena menolak membayar pajak adalah Perang Kamang atau Perang Belasting di Sumatra Barat pada 1908.


Sumber Perang Koncang masih minim, sehingga perlu penelitian lebih lanjut, baik melalui sejarah lisan maupun penggalian arsip, laporan pejabat kolonial, dan berita pada masanya.Sedikit keterangan Perang Koncang diceritakan Misbach Yusa Birandalam memoarnya, Kenang-Kenangan Orang Bandel.


Misbach lahir di Rangkasbitung pada 11 September 1933. Dia seorang penulis drama, cerpen, kolom, skenario film dan televisi, serta pelopor dokumentasi film dengan mendirikan Sinematek.Dia kemungkinan mendapat cerita Perang Koncang dari keluarganya, yaitu Uwa Ape, seorang jawara yang memiliki istri dari Koncang.


"Saya disayang oleh jawara itu (Uwa Ape, red.) karena anak beliau sudah besar-besar dan isterinya yang terakhir tidak punya anak," kata Misbach. "Saya sering main di kebunnya, bergaul dengan jawara-jawara yang kerja di kebunnya. Saya dipanggul-panggul oleh Mang Gatot, jawara dari Koncang, adik isteri Uwa Ape."


Menurut Misbach, jawara adalah jagoan. Orang yang memiliki ilmu kabedasan, tidak mempan senjata dan sebagainya, serta pemberani. Semua jawara bertindak sebatang kara saja, tidak mempunyai kelompok. Jawara yang sebetulnya tidak pernah bekerja.


"Uwa Ape di masa mudanya berkeliling saja ke mana-mana. Mungkin orang beginimenunjang hidupnya dari 'uang jago' dari orang-orang yang menganggapnya sebagai godfather yang akan menjamin mereka dari gangguan siapa saja yang sok jago," kata Misbach.


Misbach mencatat bahwa Koncang sangat terkenal di Banten karena di sana lahir banyak jawara andal (kedot menurut istilah Banten), berani, dan ampuh. Pernah penduduk desa ini membangkang tidak mau bayar pajak. Tidak bisa dihadapi oleh polisi biasa, pemerintah kolonial Belanda kemudian mengirim banyak Marsose (Brimob-nya Belanda) ke Koncang.


"Terjadi pertempuran antara penduduk Koncang dengan marsose. Banyak marsose yang tewas dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Koncang itu," kata Misbach. Sayangnya, Misbach tidak menyebut tahun peristiwa Perang Koncang itu.


Maka itu, lanjut Misbach, pemungut pajaknya harus lurah, atau di Banten disebut jaro, yang dipilih oleh rakyat. Yang dipilih jadi jaro adalah jawara yang paling kedot di daerah itu. Sehingga kalau rakyat membangkang, jaro berani mendesak dengan kekerasan. Kalau jaro kurang jago, dia akan segera mati terkapar.

"Maka, jaro untuk Koncang harus jawara yang betul-betul tangguh karena di situ gudangnya jawara," kata Misbach.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page