top of page
Politik

Banyak Negara Afrika Merdeka Pasca-KAA

Beberapa negara Afrika yang merdeka pada 1950-an terlecut "Bandung spirit" usai KAA. Indonesia ikut aktif membantu sebagian di antaranya.

18 April 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kojo Botsio, Menteri Negara sekaligus anggota Legislative Assembly of the Gold Coast (kini Ghana), saat memimpin delegasi negerinya di KAA 1955. (Repro Asian-African Conference Bulletin).

GAUNG perjuangan bangsa-bangsa Asia-Afrika masih kencang setahun setelah Konferensi Asia Afrika dihelat di Bandung tahun 1955. Di kota yang sama, pada 1956 diadakan Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika. Muhamad Benyahya dan Lakhdar Brahimi datang mewakili organisasi bernama Front de Liberation Nationale (FLN) alias Front Pembebasan Nasional dari Aljazair, yang masih bagian dari Republik Perancis.


Alih-alih langsung pulang setelah menghadiri konferensi tersebut, keduanya malah ingin mendirikan kantor perwakilan FLN di Indonesia. Perjuangan keduanya tak sia-sia. Pertemuannya dengan politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI) bernama Hamid Algadri (1912-1998) amat membantu keduanya. Salah satu hasilnya, kantor Panitia Pembantu Kemerdekaan Aljazair berdiri di Jakarta.


Hamid, kakek Nadiem Makarim, amat serius dalam membantu. Dia pula yang mencarikan tenaga muda urusan propaganda untuk perwakilan FLN tadi.


“Siapa tahu nanti kalau Aljazair sudah merdeka, kamu bisa dikasih bintang,” kata Hamid Algadri kepada seorang pemuda bernama Hamid Al Hadad, mahasiswa Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) Jakarta berusia 23 tahun, dikutip Hamid Al Hadad dalam Kenangan Diplomat.


Hamid Al Hadad yang aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu pun mengiyakan ajakan Hamid Algadri. Ia hanya perlu mengatur waktu agar kuliahnya tidak terganggu pekerjaan paruh waktunya di Buletin Aljazair yang hanya mempekerjakannya dari sore hingga malam.


Upaya membantu bangsa Arab untuk merdeka macam Aljazair itu sudah bukan hal baru bagi Hamid Algadri. Sebelumnya dia juga ikut mengupayakan perjuangan kemerdekaan Tunisia, tetangga Aljazair di sebelah utara.  


“Di Indonesia, Jakarta, pada saat itu sudah berdiri Panitia Pembantu Kemerdekaan Tunisia, yang dipimpin antara lain oleh Muhammad Natsir (Ketua), Hamid Algadri (Sekretaris), Arudji Kartawinata, AM Tambunan (Wakil-wakil Ketua) dan IJ Kasimo (Bendahara), pemimpin-pemimpin nasional dari berbagai partai politik yang terpandang,” kenang Hamid Al Hadad.


Upaya kemerdekaan Tunisia menjadi perbincangan kalangan elite di Jakarta pada 1950-an. Kesadaran akan pentingnya kemerdekaan Tunisia pun diupayakan Panitia Pembantu Kemerdekaan Tunisia yang berisi mantan orang-orang pergerakan nasional yang dulu melawan kolonialisme Belanda: Mohamad Natsir (1908-1993), mantan perdana menteri; Arudji Kartawinan (1905-1970), mantan menteri pertahanan. Keduanya Muslim, sama seperti kebanyakan rakyat Tunisia. Sementara, Albert Mangaratua Tambunan (1911-1970) adalah pemuka Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986) pemuka Partai Katolik di Indonesia. Meski bukan Islam, keduanya mantan menteri itu ada di sana karena solidaritas kemerdekaan.


Kantor Panitia Pembantu Kemerdekaan Aljazair di Jalan Teungku Cik di Tiro 60 Jakarta  sebelumnya adalah kantor Panitia Pembantu Kemerdekaan Tunisia. Kantor tersebut sempat sepi karena pada 20 Maret 1956 Tunisia merdeka dari Perancis.


Jalan Cik di Tiro 60 itu terus membawa masalah bagi Kedutaan Besar Perancis di Jakarta selama Aljazair belum merdeka. Sebab, kantor yang memperjuangkan kemerdekaan Aljazair dari Perancis itu terkadang ikut serta dalam demonstrasi di Kedutaan Perancis, menonton film tentang keterjajahan Aljazair sebagai ajang penggalangan dana dan lain-lain.


“Setiap tahun, pada hari revolusi Aljazair, pemuda dan mahasiswa Indonesia bergabung mengadakan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta,” kenang Hamid Al Hadad dalam Kenangan Diplomat II.


Selain kegiatan-kegiatan tadi, yang rutin dikerjakan kantor tersebut tentu saja menerbitkan Buletin Aljazair. Di tempat Hamid Al Hadad kerja paruh waktu itu, ada pula rekannya dari HMI, yakni Ismail Hasan Metareum (1929-2005). Ismail –kelak menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP)– pernah pula memimpun demonstrasi untuk perjuangan kemerdekaan Aljazair.


Pendukung kemerdekaan Aljazair namun tak terbatas dari mahasiswa Islam macam HMI saja. Nugroho Notosusanto (1930-1985), salah satunya. Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) yang lalu mengajar di almamaternya dan kelak menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan itu juga bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Aljazair.


“Dia tokoh terkemuka dalam unjuk rasa mahasiswa yang menentang perang di Aljazair karena kolonialis Perancis menolak kemerdekaan mereka,” catat David Reeve dalam Tetap Jadi Onghokham.


Namun, pada Desember 1957 Hamid Al Hadad tak bisa lagi di kantor tersebut. Kuliahnya telah selesai. Dia mesti menyambung hidup dengan bekerja di Departemen Luar Negeri. Dia menjadi diplomat.


Lima tahun pasca-kepergian Al Hadad itu, Aljazair menggapai kemerdekaannya pada 5 Juli 1962. Negeri itu terus bergerak maju dengan spirit Bandung hingga ditunjuk menjadi tuan rumah KAA kedua. Namun, KAA kedua batal dilaksanakan karena kudeta Kolonel Houari Boumediene terhadap Presiden Ahmed Ben Bella. Kelak 29 tahun setelah Aljazair merdeka, Al Hadad dipercaya mewakili negerinya menjadi perwakilan tertinggi di negeri itu (duta besar).

Aljazair bukan satu-satunya negara di Afrika yang menggapai kemerdekaan setelah KAA Bandung. Sebelumnya, pada 1 Januari 1956, Sudan merdeka dari Inggris. Ketika KAA berlangsung tahun 1955, perwakilan Sudan datang menghadiri juga. 


“Rupanya karena Sudan belum merdeka penuh, maka mereka belum mempunyai bendera nasional. Akhirnya kita putuskan saja untuk mengibarkan bendera putih dengan tulisan Sudan warna merah di tengah-tengahnya,” terang Ruslan Abdulgani yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal KAA dalam Bandung Connection.


Setelah Sudan, giliran Ghana –kala itu masih bernama Gold Coast– merdeka dari Inggris pada 6 Maret 1957. Kesamaan pandangan antikolonialisme dan antiimperialisme yang dimiliki pemimpin Ghana Kwame Nkrumah dan Presiden Sukarno membuat hubungan kedua negara kian erat. Namun, kemesraan itu hanya berlangsung sepanjang kepemimpinan Nkrumah dan Sukarno di negeri masing-masing. Setelah keduanya jatuh di tahun yang sama, yakni 1966, kepemimpinan di masing-masing kedua negara berganti haluan.


“Kedutaan Besar Indonesia di Ghana berdiri antara tahun 1962 dan 1967 sebelum ditutup. Jatuhnya Sukarno dan Nkrumah sangat mematikan,” tulis Christophe Dorigne-Thomson dalam Indonesia’s Engagement with Africa.


Setelah Ghana, giliran Gabon, Niger, dan Gunea menyusul bebas dari kolonialisme. Era akhir 1950-an hingga awal 1960-an disebut Wildan Sena Utama, sejarawan yang menggeluti KAA Bandung dan penulis Konferensi Asia-Afrika, 1955: Asal-Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme, sebagai “The year of Africa”.


“Ada 20-an negara Afrika merdeka pasca-1955,” ujar Wildan.


KAA yang menjadi fondasi berdirinya Gerakan Non Blok (GNB) bukan sekadar politik mercusuar daripada Sukarno, ia juga merupakan sikap politik antikolonialisme dan antiimperialisme yang dipupuk sejak muda. KAA berdampak besar pada bangsa-bangsa Asia dan Afrika, termasuk bangsa-bangsa yang belum merdeka di kedua benua yang mengalami kolonialisme bangsa-bangsa Eropa amat lama.


“Semangat KAA Bandung inilah yang kemudian mempercepat kemerdekaan sejumlah negara Asia dan Afrika,” catat Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page