top of page
Politik

Gagalnya Konferensi Asia-Afrika Kedua

Sukses sebagai tuan rumah, Indonesia menyerukan penyelenggaraan KAA kedua. Namun, KAA kedua gagal karena konflik Cina-India dan Cina-Soviet.

21 April 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para delegasi hadir dalam rapat yang membahas tentang seksi ekonomi selama Konferensi Asia-Afrika 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. (UNESCO/Wikimedia Commons).

KONFERENSI Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada 18–24 April 1955 dipandang sebagai pertemuan besar pertama yang berhasil digelar setelah Perang Dunia II. Sebanyak 29 delegasi dari Asia dan Afrika hadir dalam kongres internasional tersebut. Perhatian publik dunia pun tertuju kepada Indonesia yang sukses menjadi tuan rumah. Konferensi yang disponsori oleh pemerintah Indonesia, Burma (kini Myanmar), Ceylon (kini Sri Lanka), India, dan Pakistan itu menjadi ajang bagi negara-negara baru atau gerakan nasionalis di Asia dan Afrika untuk mengupayakan sebuah aktivisme Dunia Ketiga yang menyerukan kebebasan, kemerdekaan, dan perdamaian di tengah perebutan hegemoni antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memicu Perang Dingin.


Sejarawan Wildan Sena Utama mencatat dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, KAA adalah momen menentukan dalam perkembangan kesadaran Dunia Ketiga, yang menetapkan tujuan luas dan menggerakan aktivisme “Third Worldism” beberapa dekade ke depan, yakni dekolonisasi, antirasisme, pelucutan senjata nuklir global, pembangunan ekonomi, dan perlindungan terhadap budaya lokal.


“KAA menyusun panggung bagi agen sejarah baru, untuk membayangkan dan membuat sebuah dunia baru. Setelah KAA, banyak konferensi diadakan antara tahun 1956 hingga 1965 yang melanjutkan ‘semangat Bandung’ dengan menekankan pada pertukaran profesi, hubungan kebudayaan, koalisi perempuan, dan partisipasi anak muda,” tulis Wildan.


Di sisi lain, menurut sejarawan India, Vijay Prashad dalam The Darker Nations, para delegasi yang beberapa di antaranya merupakan perwakilan dari negara bekas jajahan atau gerakan nasional yang tengah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya menunjukkan kemampuan mereka untuk mendiskusikan masalah-masalah internasional dan menawarkan sebuah pandangan kolektif terkait masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini, Bandung telah menciptakan format yang pada akhirnya menjadi kelompok Afrika-Asia, dan kemudian Afrika-Asia-Amerika Latin di Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Penolakan terhadap kolonialisme dan dukungan bagi perjuangan mewujudkan kemerdekaan yang disuarakan para delegasi dalam KAA berdampak pada komposisi keanggotaan PBB yang menjadi lebih beragam dan tidak rentan terhadap dominasi Amerika. Bila pada 1955 hanya 25 negara Asia-Afrika yang menjadi anggota PBB, seiring dengan meningkatnya gelombang kemerdekaan di wilayah Afrika setelah KAA, jumlah negara Asia-Afrika di PBB bertambah menjadi 53 negara.


“Pembentukan blok PBB ini dari waktu ke waktu akan menjadi pencapaian paling penting dari Konferensi Bandung –terutama karena blok ini, bersama dengan blok sosialis, akan menjadi benteng melawan imperialisme dan menawarkan model alternatif untuk pembangunan,” tulis Prashad.


Kesuksesan penyelenggaraan KAA semakin membakar semangat sejumlah negara, terutama Indonesia, untuk segera merencanakan KAA kedua. Kairo ditetapkan sebagai lokasi pertemuan KAA kedua yang akan digelar pada 1956. Namun, situasi genting di Timur Tengah membuat KAA kedua ditunda hingga musim panas tahun 1957. Dua tahun berlalu, KAA kedua gagal diselenggarakan karena Mesir sulit mencari waktu yang tepat.


“Sesudah itu, alasan ‘waktu tidak tepat’ menjadi ciri khas untuk menolak mengadakan konferensi yang kedua. Meskipun ketegangan global sedang memanas dan perpecahan negara-negara Asia-Afrika merupakan tanda-tanda bahwa konferensi kedua dibutuhkan, namun pada akhirnya banyak orang yakin bahwa KAA kedua belum terlalu dibutuhkan. Sampai akhir 1960, hanya seruan sporadis, terutama dari Indonesia, yang terdengar menuntut diadakannya KAA kedua,” tulis Wildan.


Di lain pihak, KAA justru memantik pembentukan Gerakan Non-Blok. Dipandu oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, konferensi pertama negara-negara Non-Blok diadakan di Beograd pada September 1961. Setelah penyelenggaraan konferensi ini, Indonesia kembali mengangkat ide untuk menyelenggarakan KAA kedua kepada India. Namun, gagasan ini ditanggapi dingin, bahkan cenderung tidak suportif, karena India tengah bersitegang dengan Cina terkait wilayah perbatasan.


Konflik perbatasan antara Cina dan India berdampak pada perpecahan Cina-Soviet yang semakin mengeraskan garis faksi di antara negara-negara Asia dan Afrika. Beberapa negara seperti Pakistan, Sri Lanka, dan Iran, yang memiliki hubungan tidak bersahabat dengan India dan Soviet memutuskan bersatu dengan Cina. Sementara Lebanon, Republik Asia Bersatu dan Siprus berada di kubu Soviet-India. Pada akhirnya, menurut Mark T. Berger dalam The Battle for Asia: From Decolonization to Globalization, kepentingan yang rumit dan saling bertentangan dari pemerintah negara-negara baru di Asia dan Afrika semakin melemahkan pembentukan koalisi yang kuat dari negara-negara yang sebelumnya ambil bagian dalam KAA.


Selain itu, ketegangan antara Cina dan India berdampak pada dukungan negara tersebut terhadap penyelenggaraan pertemuan internasional yang melibatkan negara Asia dan Afrika. Cina, misalnya, mendukung penuh rencana Indonesia menyelenggarakan KAA kedua dan gagasan New Emerging Forces (NEFO). Bagi Cina, hal ini dapat menjadi upaya untuk menangkis tuduhan Soviet kepada mereka sebagai “penghasut perang yang sembrono”.


“Pada pertengahan 1963, konflik Cina-Soviet semakin memburuk. KAA pun menjadi semakin menjanjikan sebagai forum bagi Cina untuk bisa membangun posisi yang kuat –tanpa hambatan kehadiran Soviet– sebagai pemimpin yang cinta damai dan bertanggungjawab bagi komunitas Asia-Afrika,” tulis Wildan.


Sikap Cina yang mendukung gagasan Indonesia terkait penyelenggaraan KAA kedua dan NEFO membuat sikap India terhadap KAA berbalik menentang. India yang tak ingin satu meja dengan Cina, lebih memilih Konferensi Non-Blok yang dilanjutkan daripada KAA.


Upaya mewujudkan KAA kedua juga mendapat tantangan dari Mesir. Walaupun tidak menentang penyelenggaraan KAA kedua, Mesir lebih bersemangat menggelar konferensi Non-Blok kedua. Sementara itu, sebagai tuan rumah Konferensi Non-Blok 1961, Yugoslavia berpandangan bahwa KAA akan mengeksklusi mereka sebagai peserta, mengingat negara tersebut bukan bagian dari Asia maupun Afrika. Hubungan yang kurang bersahabat dengan Cina juga membuat Yugoslavia lebih fokus pada Konferensi Non-Blok.


Wildan mencatat, Bandung verus Beogard “telah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar preferensi atas satu pilihan atau kelompok negara di atas lainnya. Ada beberapa alasan mengapa Konferensi Non-Blok kedua tampak lebih menjanjikan bagi negara Asia dan Afrika daripada Konferensi Asia-Afrika kedua. Konferensi Non-Blok menandai prinsip yang luas bahwa antikolonialisme kini adalah gagasan sekunder, bahwa bagi beberapa negara Asia-Afrika masalah senjata nuklir dan ketimpangan ekonomi antara Utara dan Selatan terasa lebih relevan. Berbeda dengan Konferensi Non-Blok yang menitikberatkan pada perdamaian dunia, Konferensi Asia Afrika kedua masih menggaungkan dogma lama yakni antikolonialisme.”


“Di belakang kompetisi antar dua konferensi ini juga terdapat persaingan antara Soviet dan Cina untuk mendukung dan memanfaatkannya demi kepentingan politik mereka. Kondisi beberapa negara Asia-Afrika sendiri terancam hancur oleh perpecahan komunis di internal, ditambah Cina dan Soviet memutuskan untuk menggunakannya sebagai medan pertempuran mereka. Cina mendukung rencana Indonesia untuk menggelar KAA lagi dan Indonesia juga di saat yang sama membutuhkan bantuan Cina dalam perjuangannya mengisolasi Malaysia dari Afrika-Asia. Soviet kemudian berusaha menggunakan Konferensi Non-Blok untuk menangkal pengaruh Cina kepada kelompok Afrika-Asia,” tulis Wildan.


Sementara itu, menurut Katharine Mcgregor dan Vannessa Hearman dalam “Challenging the Lifeline of Imperialism: Reassessing Afro-Asian Solidarity and Related Activism in the Decade 1955–1965”, termuat di Bandung, Global History, and International Law, dinamika politik internasional yang terjadi pada 1960 melahirkan tekanan-tekanan yang menghambat penyelenggaraan ulang Konferensi Bandung. Konflik bersenjata antara India dan Cina, serta Pakistan dan India, dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Bandung yang mengupayakan resolusi konflik secara damai. Perpecahan Sino-Soviet, terbentuknya Gerakan Non-Blok di Beograd pada 1961, serta gagasan Sukarno tentang kemunculan New Emerging Forces (sebagai lawan dari Old Emerging Forces atau OLDEFO) pada akhirnya merongrong dasar pemikiran tentang solidaritas Afrika-Asia.


“Pendirian Gerakan Non-Blok menantang supremasi solidaritas Afrika-Asia dengan menggabungkan negara-negara di Amerika Latin, Karibia, dan Eropa di sekitar tujuan yang pada awalnya terlihat sangat mirip dengan yang disepakati dalam Dasa Sila Bandung. Beberapa negara, seperti Pakistan, tidak memiliki pandangan radikal yang sama dengan Indonesia dalam mengeluarkan Malaysia dari payung Afrika-Asia, atau dalam sikap kritisnya terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa,” tulis McGregor dan Hearman.


Di samping tantangan yang menggoyang solidaritas negara-negara Asia-Afrika di tahun 1960-an, KAA kedua pada akhirnya dijadwalkan pada Juni 1965 di Aljazair. Namun, seperti halnya rencana di Kairo pada 1956-1957, rencana KAA kedua ini lagi-lagi gagal diselenggarakan setelah pemerintahan Ben Bella jatuh akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Houari Boumedienne pada Juni 1965.


“Di Indonesia, perebutan kekuasaan oleh militer pada akhir tahun 1965, penumpasan Partai Komunis Indonesia, dan berakhirnya era Sukarno juga menutup babak baru dalam solidaritas Afrika-Asia dan penekanan pada anti-imperialisme bagi Indonesia. Pemerintah-pemerintah yang telah menjadi pendukung paling aktif dari solidaritas Afrika-Asia mengalami kekalahan yang serupa. Presiden Ghana Kwame Nkrumah menjadi korban kudeta pada 1965,” jelas McGregor dan Hearman.


Berbeda dengan KAA, Konferensi Non-Blok justru berlangsung selama beberapa kali setelah digelar perdana di Beograd pada 1961. Meski begitu, Berger berpandangan bahwa Gerakan Negara-Negara Non-Blok tidak terlalu signifikan. Pada 1990-an, ketika pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto berperan sebagai ketua, Gerakan Non-Blok secara efektif telah mati suri.*

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación

TULISAN LAINNYA

bg-gray.jpg

...

...

KEGIATAN

bottom of page