- Petrik Matanasi
- 7 Feb
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Feb
Sejumlah orang Samin menghadiri acara 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer di Pendopo Bupati Blora. (Riyono Rusli/Historia.ID).
SETELAH menyelesaikan perjalanan panjang dengan sebuah mobil berisi 12 orang, mereka turun di parkiran Pendopo Bupati Blora. Pakaian mereka, baik yang laki-laki maupun perempuan, semua hitam. Tak hanya tampil sederhana, mereka juga berlalu dengan sangat sopan. Selama menuju pendopo, mereka menyalami orang-orang yang menyambut. Mereka adalah pengikut Samin Surosentiko (1859-1914).
Mereka datang untuk menghadiri pembukaan “Festival Blora Seabad Pram” untuk memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang diadakan di Pendopo Bupati Blora. Pramoedya Ananta Toer yang disapa Pram itu merupakan sastrawan berpengaruh di Indonesia meski belum dikenal banyak orang, termasuk di Blora sendiri.
“Lebih banyak yang tidak tahu daripada yang tahu,” kata Arif Jadmiko, salah satu warga Blora yang tinggal tidak jauh dari rumah keluarga Pram di Blora.
Pram sendiri punya memori tentang orang Samin. Dia bahkan menyinggung orang Samin dalam salah satu novelnya yang legendaris, Jejak Langkah.
Dalam novel salah satu dari Tetralogi Buru itu, Pram menyinggung perlawanan Samin dengan dialog antara Wardi dengan Douwager. Dialog antara Wardi dan Douwager akan membuat pembaca sejarah membayangkan Eugene Fracois Ernest Douwes Dekker (1879-1950) dengan Raden Suwardi Suryaningrat (1889-1959) sedang berbincang.
“Memang ada satu-dua terpelajar Eropa yang mengagumi mereka, tapi tanpa pimpinan terpelajar mereka takkan mencapai sesuatu apa pun. Mereka merupakan golongan terakhir dari perkembangan,” kata Douwager kepada Wardi.
Disampaikan dalam dialog itu, Samin diperkirakan bisa menjadi sebuah agama jika pemimpinnya tak segera dipisahkan dari pengikutnya.
Samin Surosentiko yang bernama asli Raden Kohar adalah pemuka ajaran Samin. Pria kelahiran Desa Ploso Khediren pada 1859 ini adalah anak dari Raden Surowijoyo, priyayi rendahan dari Bojonegoro dan dianggap punya pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumaningayu. Sejak muda, Samin bertani di tanahnya yang empat bau (sawah tiga bau dan ladang satu bau) dengan enam ekor sapinya.
Sejak 1890, Samin menyiarkan ajarannya di Desa Klopodhuwur. Gelar radennya sudah dia buang, digantikannya dengan Samin.
Ajaran Samin diterima rakyat di desa-desa sekitar Randublatung. Menurut Saripan Sadi Hutomo dalam “Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya” di Majalah Basis edisi Januari, 1985, berdasarkan Laporan Residen Rembang Januari 1903, terdapat sekitar 772 pengikut Samin di 34 desa di Kabupaten Blora. Pada 1907, jumlah pengikut Samin sudah mencapai 5.000 orang.
Pada Maret 1907, muncul isu mereka akan memberontak. Tak jelas siapa yang memulai dan apa motifnya. Yang pasti, pada acara syukuran di Desa Kedhung, Tuban, mereka ditangkapi. Kecurigaan aparat kolonial kian bertambah setelah Samin dijadikan ratu adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam pada 8 November 1907. Samin akhirnya ditangkap lalu dibuang sampai ke Padang. Dipisahkan dari keluarganya.
Kendati tanpa Samin, pengikutnya terus berkembang. Mereka terus menjalankan hidup sederhana kendati sikap mereka tetap tidak mau tunduk dan dieksploitasi pemerintah kolonial.
“Bagi orang Blora yang telah terpengaruh oleh ajaran Samin memiliki falsafah ora kepingin kaya nanging kepingin mulya (tidak ingin kaya tapi ingin mulia). Selain itu mereka memandang dunia sebagai sesuatu yang maya. Hal ini terungkap pada ungkapan menyang donya mung mampir ngombé (hidup di dunia hanya singgah minum). Akibatnya, orang segan bekerja keras untuk membangun, atau untuk meraih hari depan,” tulis Slamet Mangundiharja dalam Pesona Budaya Blora: Suatu Kajian Foklor.
Lepas dari plus-minus yang dimilikinya, orang Samin tak mengeksploitasi alam secara berlebihan hingga menimbulkan kerusakan. Orang Samin, yang seperti kebanyakan orang Jawa, sejatinya mencintai kesederhanan. Setidaknya terlihat dari cara berpakaian mereka.
“Cuma yang menjadi kesukaan sedulur sikep itu cara berpakaian,” terang Sutejo, cicit Samin Surosentiko, kepada Historia.ID.
Kesederhanaan cara berpakaian itu ditunjukkan dari pakaian kaum laki-lakinya yang hanya celana tidak panjang dan baju tradisional yang berwarna hitam polos. Kepala mereka juga hanya dihiasi ikat tradisional mirip yang digunakan orang Jawa pada umumnya. Sementara, perempuannya memakai kain jarik sebagai bawahan dan kebaya hitam sebagai atasan ditambah selendang yang tidak hitam polos.
Menurut Sutejo, orang Samin hidup dari bertani. Pilihan itu agaknya berangkat dari kesederhanaan dan keyakinan mereka pada alam. Orang Samin amat menghargai alam, yang mereka yakini sebagai pemberi hidup. Maka, mereka tak mau merusak alam.
Sebagai orang merdeka, orang Samin pernah terganggu dengan adanya paksaan pencantuman agama yang sejatinya hanya urusan administratif kependudukan milik negara alias tak ada dalam “kamus” kehidupan Samin. Ada masa mereka diklaim pemerintah sebagai Islam. Meski mereka tak mau. Sejatinya orang Samin tak suka dipaksa namun juga tak mau memaksa.
Kini, keadaannya sudah membaik. Orang Samin masih dihargai dan tidak diganggu masyarakat lain di Blora. Mereka hanya berusaha menjaga tradisi mereka. Mereka berusaha mendidik anak mereka untuk menjadi seorang Samin. Namun jika pada akhirnya anak mereka memilih jalan lain, mereka berpasrah diri.*
Comments