- Amanda Rachmadita
- 28 Apr
- 5 menit membaca
“HARI ini di aula ini berkumpul para pemimpin dari bangsa-bangsa yang memiliki nasib yang sama. Mereka tidak lagi menjadi korban kolonialisme. Mereka tidak lagi menjadi alat orang lain dan alat permainan kekuatan yang tidak dapat mereka hindari. Hari ini, Anda adalah perwakilan dari bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang memiliki kedudukan dan posisi yang berdaulat di dunia,” kata Presiden Sukarno dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika.
Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung pada 18 hingga 24 April 1955. Pertemuan internasional ini berhasil membangkitkan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk mengupayakan sebuah aktivisme Dunia Ketiga yang menyerukan kebebasan, kemerdekaan, dan perdamaian. Semangat Bandung yang direpresentasikan dalam sepuluh poin hasil Konferensi Asia-Afrika bahkan memantik api perjuangan kemerdekaan beberapa negara Afrika. Kini, setelah 70 tahun berlalu, Semangat Bandung masih relevan untuk mengatasi berbagai persoalan global.
Bonnie Triyana, Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI Perjuangan, mengungkapkan, peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika digelar bukan sekadar untuk mengenang masa lalu maupun meromantisasi sebuah peristiwa sejarah. Lebih dari itu, peringatan ini diadakan sebagai upaya untuk memetik nilai penting dari spirit pembebasan bangsa-bangsa di Asia-Afrika yang ketika itu diorganisasi oleh bangsa-bangsa yang baru merdeka.
“Konferensi Asia-Afrika tidak terjadi seketika. Peristiwa ini merupakan rangkaian yang panjang yang meliputi proses dari usaha bangsa-bangsa terjajah untuk menjadi bangsa yang merdeka... Banyak tema penting yang dapat didiskusikan dari Konferensi Asia-Afrika, bukan hanya dari sudut pandang historis tetapi juga isu-isu yang relevan di masa kini,” kata Bonnie dalam sambutan pembukaan diskusi bertajuk “Dari Bandung untuk Dunia: Warisan Bung Karno untuk Asia-Afrika dan Keadilan Sosial Global” yang diselenggarakan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 26 April 2025.
Warisan Sejarah dan Ideologi
Sementara itu, menurut Ahmad Basarah, Ketua Bidang Luar Negeri DPP PDI Perjuangan, sebagai warisan sejarah dan ideologis yang menjadi fondasi perjuangan bangsa Indonesia dalam diplomasi internasional, kebijakan luar negeri, maupun kehidupan politik nasional, Konferensi Asia-Afrika merupakan buah dari visi geopolitik, strategi diplomasi, dan komitmen ideologis yang mendalam yang dirancang dengan penuh kesadaran jauh sebelum pertemuan internasional itu diselenggarakan di Bandung pada April 1955.
Sebagai sebuah rangkaian proses yang panjang, ada banyak faktor yang mendorong diadakannya Konferensi Asia-Afrika. Dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika, Presiden Sukarno menyampaikan bahwa “badai kebangkitan nasional” telah melanda bangsa-bangsa dunia, khususnya mereka yang sekian lama terbelenggu dalam penjajahan. Perasaan senasib sepenanggungan inilah yang melahirkan kesadaran untuk bersatu, alih-alih terpecah belah karena perbedaan bahasa, budaya, maupun ideologi, demi mewujudkan kesetaraan dan perdamaian dunia.
“Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa Konferensi Asia-Afrika telah berhasil menggalang solidaritas Afro-Asia dan membangun pengaruh sebagai kekuatan ketiga, di tengah Perang Dingin yang melahirkan blok Barat dan Timur... Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika juga tidak langsung terjadi begitu saja. Prosesnya terjadi sejak akhir tahun 1940-an, kemudian di tahun 1950-an melalui pertemuan Colombo, The Colombo Five pada waktu itu berhasil menyuarakan keinginan dari negara-negara terjajah untuk lebih didengar oleh dunia,” kata I Gusti Agung Wesaka Puja, Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconcilliation, dalam diskusi panel pertama bertema “Semangat Bandung dan Tantangan Asia-Afrika Kini”.
Konferensi Colombo tahun 1954 yang dihadiri perwakilan dari Indonesia, Burma (kini Myanmar), India, Ceylon (kini Sri Lanka), dan Pakistan dikembangkan dan diperluas partisipasinya dengan mengajak perwakilan dari berbagai negara.
“Dari Colombo kemudian lanjut ke Bogor (Konferensi Bogor pada 28-29 Desember 1954, red.). Di Bogorlah kemudian disiapkan segala sesuatunya untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Pertemuan yang berlangsung selama enam hari itu memiliki drama tersendiri, mulai dari menentukan tanggal penyelenggaraan yang memicu perdebatan luar biasa di Bogor hingga proses negosiasi untuk ‘menggolkan’ hasil konferensi yang diwarnai dengan perdebatan pendapat yang begitu tajam di antara peserta delegasi. Pada akhirnya mereka mampu membuat keputusan dalam Dasa Sila Bandung yang semangatnya terus digelorakan hingga saat ini,” tambah Puja.
Kontekstualisasi Semangat Bandung
Di sisi lain, sejarawan Wildan Sena Utama berpendapat bahwa solidaritas yang ditunjukkan negara-negara Asia dan Afrika selama penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika membuat Bandung dianggap sebagai landmark, sebuah tonggak dekolonial dalam sejarah dunia. Sebab, negara-negara Asia dan Afrika yang dianggap kumpulan negara-negara lemah berani mengambil sikap untuk menyuarakan aspirasinya dan meminta dunia untuk mendengar aspirasi mereka. Atas dasar ini, sudah sepatutnya pembahasan mengenai Konferensi Asia-Afrika tak hanya berkutat pada sejarah penyelenggaraan peristiwa bersejarah ini di masa lalu, tetapi juga mengkontekstualisasikan relevansi warisan Bandung dalam kondisi politik internasional hari ini.
“Dalam dunia multipolar hari ini, di mana kita seharusnya bisa hidup berdampingan dengan damai dan sama-sama membentuk tatanan dunia yang lebih adil, persaingan memperebutkan hegemoni dan menjadi penguasa bagi negara lain masih terjadi. Bila dulu Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur merupakan kontestasi ideologis. Perang Dingin baru hari ini adalah kontestasi ekonomi lewat perang dagang dan tarif,” jelas Wildan.
Dalam konteks perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, misalnya, bukan Negeri Tirai Bambu yang menjadi pihak terdampak perseteruan itu. Korban utama justru negara-negara Dunia Selatan, termasuk Indonesia.
“Banyak negara-negara Dunia Selatan itu kewalahan dan bersikap permisif. Hanya Cina yang berdiri tegak, berani menghadapi keangkuhan Amerika Serikat. Pertanyaannya, kenapa Dunia Selatan kewalahan? Karena dalam dunia multipolar hari ini tidak ada representasi utuh dari Dunia Selatan sebagai kerjasama kolektif Selatan-Selatan yang bisa dijadikan kendaraan untuk menyuarakan aspirasi Dunia Selatan untuk menghadapi kebijakan-kebijakan ekonomi yang memberatkan dan menyulitkan. Ketiadaan platform kerjasama Dunia Selatan hari ini membuat posisi AS dan negara-negara Dunia Selatan yang berjalan sendiri-sendiri menjadi semakin timpang. Semakin negara-negara Dunia Selatan itu berjalan sendiri-sendiri dan tidak membangun satu blok kolektif, semakin posisinya dalam politik internasional termarginalisasi dan dipinggirkan. Dan inilah pentingnya refleksi kritis terhadap Semangat Bandung,” tambah Wildan.
Internasionalisme Sukarno
Merefleksikan Semangat Bandung juga berarti menyelami gagasan Presiden Sukarno terkait internasionalisme. Menurut Ita Fatia Nadia, sejarawan dan aktivis gerakan perempuan, internasionalisme merupakan ideologi politik perjuangan yang menjadi dasar pemikiran sang proklamator.
“Sejak tahun 1931, Sukarno selalu mengatakan internasionalisme dan solidaritas antarbangsa. Internasionalisme berupaya untuk melampaui batas-batas nasional. Tidak hanya Indonesia, tetapi melampaui dan ini adalah nyawa dari Konferensi Asia-Afrika 1955... Kesetiaan terhadap negara bangsa sebagai gantinya mendukung persatuan dan kerjasama yang lebih besar di antara berbagai bangsa dan negara... Tujuan internasionalisme adalah menciptakan dunia yang lebih damai, adil, dan sejahtera. Internasionalisme percaya bahwa bangsa-bangsa dapat mencapai tujuan ini dengan bekerjasama untuk mengatasi masalah-masalah global,” kata Ita.
Melihat kondisi dunia saat ini, di mana negara dibagi dan terpecah menjadi Selatan-Selatan, Utara-Selatan, refleksi terhadap gagasan internasionalisme yang dahulu selalu digaungkan Sukarno menjadi penting.
“Oleh karena itu, bila kita bicara Bandung untuk dunia, maka dunia siapa? Saya kira yang dibutuhkan adalah Bandung untuk Gaza, Bandung untuk Sudan, Bandung untuk negara-negara yang sekarang sedang dalam posisi perang. Ini yang harus dipikirkan kembali saat kita hendak mengkontekstualisasikan gagasan internasionalisme Sukarno dalam global politik sekarang,” tambah Ita.
Pada akhirnya, merefleksikan kembali Semangat Bandung bukan sekadar mengenang keberhasilan negara-negara yang baru merdeka dalam mendiskusikan masalah-masalah internasional dan menawarkan sebuah pandangan kolektif terkait masalah-masalah tersebut, tetapi juga meneruskan perjuangan mewujudkan cita-cita yang termuat dalam Dasa Sila Bandung.
“Kita meyakini bahwa tatanan dunia baru yang lebih setara dan adil bukanlah gagasan yang utopis. Itu adalah keniscayaan yang hanya bisa dicapai dengan persatuan, keberanian, dan solidaritas. Seperti yang diajarkan Sukarno, kita tidak boleh puas hanya dengan kemerdekaan formal, kita harus terus memperjuangkan kemerdekaan sejati, yaitu merdeka dari ketergantungan, merdeka dari dominasi asing, dan merdeka dalam berpikir maupun bertindak,” kata Ahmad Basarah.*
Comments